Kamis, 05 Januari 2012

Pilkada dan Demokrasi

Pilkada dan Demokrasi
Janedjri M. Gaffar, SEKRETARIS JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Sumber : SINDO, 5 Januari 2012



Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung. Selain sebagai sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah, pilkada juga memiliki fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pertama,memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapatmemahamidanmewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi,program,serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Ketiga, pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Karena itu, pilkada sebagai bagian dari pemilu harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan yang dapat menyesatkan atau membiaskan esensi demokrasi dalam pilkada harus diperbaiki dan dicegah.

Sengketa Pilkada

Sejak menerima pengalihan wewenang memutus perselisihan hasil pilkada dari MA pada Oktober 2008 hingga saat ini, tercatat 392 perkara diregistrasi di MK. Putusan MK terhadap perkara perselisihan hasil pilkada terdiri atas 45 dikabulkan, 256 ditolak, 78 tidak dapat diterima, 6 perkara ditarik kembali, dan 7 perkara sedang dalam proses persidangan.

Putusan-putusan tersebut diambil berdasarkan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum yang tidak hanya membuktikan penghitungan hasil mana yang benar, tetapi juga selalu ada dalil dan pembuktian pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada. Semua persidangan perkara perselisihan hasil pilkada menunjukkan ada pelanggaran dan kelemahan dalam penyelenggaraan pilkada dalam derajat yang berbeda-beda.

Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pilkada tentu memengaruhi kualitas demokrasi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpilih dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal yang terjadi dalam persidangan di MK telah mendorong perkembangan ruang lingkup wewenang dan putusan MK. Dihadapkan pada perkara- perkara yang di dalamnya menyuguhkan berbagai bentuk pelanggaran, MK sebagai pengawal konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak melanggar asas konstitusional pemilu yaitu ‘luber’ dan ‘jurdil’.

Karena itu,MK tidak hanya memeriksa perbedaan penghitungan hasil pilkada, tapi juga memeriksa dan mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Pada saat pelanggaran sudah diyakini merusak asas luber dan jurdil, MK memiliki kewajiban konstitusional untuk meluruskannya. Hal inilah yang mendasari perkembangan putusan MK untuk perkara perselisihan hasil pilkada.

MK tidak lagi hanya memutuskan penghitungan siapa yang benar, tetapi juga melahirkan amar putusan penyelenggaraan pemungutan suara ulang, memasukkan bakal calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos, mendiskualifikasi calon tertentu, melakukan penghitungan suara ulang, bahkan menetapkan pemohon sebagai pemenang pilkada.

Bentuk Pelanggaran

Setidaknya terdapat tujuh bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada. Pertama, pada tahap pendaftaran pemilih acapkali terjadi data pemilih tetap tidak valid karena ada sebagian warga yang memiliki hak pilih tidak terdaftar, ada nama yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak ada orangnya, serta ada pemilih yang terdaftar lebih dari satu.

Hal ini dapat terjadi, baik karena kelemahan sistem administrasi kependudukan dan sistem pendaftaran pemilih maupun karena unsur kesengajaan. Kedua,pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan bakal calon yang menentukan pasangan mana yang lolos menjadi pasangan calon peserta pilkada. Ketiga,politik uang merupakan bentuk pelanggaran paling banyak didalilkan dan menjadi materi pemeriksaan persidangan di MK.

Pelanggaran ini dapat terjadi di semua tahap,bahkan sebelum dimulai tahap pendaftaran pasangan bakal calon.Politik uang terjadi setidaknyadengan memanfaatkan programprogram, hibah, atau bentuk lainnya yang dibiayai anggaran negara (APBD) untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Keempat, pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Mobilisasi dalam hal ini dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah di kelurahan atau desa maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu. Kelima, pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih pasangan calon tertentu.

Intimidasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak. Intimidasi dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan. Keenam, pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, baik di tempat pemungutan suara maupun di luar tempat pemungutan suara.

Ketujuh, pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara. Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan keterbukaan dan saling kontrol antarpasangan calon.

Perbaikan Sistem

Berbagai bentuk pelanggaran tersebut pasti memengaruhi kualitas demokrasi di daerah. Akibatnya,kepala daerah yang terpilih sesungguhnya bukan merupakan kehendak rakyat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, yang diperoleh justru kepala daerah yang hanya haus kekuasaan dan akan menyalahgunakan kekuasaan.Hal ini pasti berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Orientasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bukan untuk rakyat di daerah, melainkan untuk kekuasaan belaka. Namun,fakta tersebut tentu tidak perlu menjadi alasan untuk bersurut langkah, meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi.

Yang perlu dilakukan adalah perbaikan di masa mendatang, baik dari sisi electoral system maupun electoral process. Selain itu juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran peserta pilkada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang merugikan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar