“Kita”
dan “Kami” pada 2012
Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIAL
Sumber
: KOMPAS, 5 Januari 2012
Beberapa tahun belakangan saya cemas melihat,
mendengar, dan membaca media massa—elektronik atau cetak, juga media
sosial—serta percakapan sehari-hari yang mencampuradukkan saja pengertian dan
penggunaan kata ”kita” dan ”kami”.
Sekarang semua cenderung memakai kata ”kita”,
padahal yang dimaksudkan adalah ”kami”. Sepasang selebriti yang sedang pacaran
ketika ditanya media infotainment menjawab, ”Yah, kita jalani saja, sekarang
kita belum serius.” Menteri menjelaskan kepada wartawan, ”Masalah itu sedang
kita proses”; dan presenter stasiun televisi berkata, ”Kita menyiapkan sebuah
acara menarik untuk Anda.” Padahal, semua ”kita” itu, dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar, seharusnya ”kami”.
Lebih kaget lagi ketika saya bertanya kepada
mahasiswa saya (Psikologi, semester I): apa bedanya ”kita” dan ”kami”? Satu
kelas, sekitar 50 mahasiswa, bingung. Salah satu mencoba menjawab, ”Kita itu
kalau sedang berdua atau kelompok kecil. Kalau kelompoknya besar: kami.” Yang
lain diam seribu bahasa. Gubrak! (bahasa gaul). Hampir pingsan saya. Orang
Indonesia sudah tidak bisa lagi membedakan antara ”kita” dan ”kami”.
Fuad Hassan, dalam disertasinya yang kemudian
diterbitkan menjadi buku, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar
Kebersamaan, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1974 (dalam versi
bahasa Inggris: Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness, Winoka, 2005),
menyatakan bahwa ”kita” dan ”kami” bukan hanya merupakan ciri khas bahasa
Indonesia, melainkan punya makna budaya dan cara berpikir bangsa ini. Bahkan,
Fuad Hassan membuktikan tesisnya bahwa orang Indonesia menjadi neurosis (stres,
depresi, cemas, dan sebagainya) karena kehilangan kemampuannya ber- ”kita” dan
hanya bisa ber-”kami” saja.
Dalam bahasa Inggris (dan Belanda yang saya
pahami sedikit selain Inggris), tidak ada pengertian ”kita”. Yang ada hanya
”kami” (Inggris: we) sebagai jamak dari ”aku” (Inggris: I), sebagai lawan kata
dari ”kamu” atau ”kalian” (you). Adapun tentang pihak ketiga, bahasa Indonesia
ataupun Inggris sama-sama memilikinya: dia (he/she) untuk tunggal dan mereka
(they) untuk jamak.
”Kami” yang Melebur
Akan tetapi, bahasa Indonesia memiliki ”kita”
yang berarti ”aku/kami dan kamu/kalian sebagai bagian dari satu kebersamaan”.
Berbeda dari ”kami” yang berarti ”aku bersama teman-temanku atau kelompokku
atau kerabatku, sedangkan kamu/kalian bukan bersama aku”.
Ketika seseorang ber-”kita”, dia meleburkan
dirinya kepada diri-diri orang lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya
(ke-”kami”-annya). Kami orang Ambon-Kristen dan kami orang Ambon-Muslim bisa
saling berseteru, tetapi bisa saling bersatu, sebagai sesama orang Ambon. Kami
orang Ambon, kami orang Jawa, kami orang Sulawesi, bersama menjadi kita bangsa
Indonesia. Terjadilah Sumpah Pemuda (1928) yang berujung kemerdekaan Indonesia
(1945).
Namun sekarang, ketika bangsa ini kembali ke
ke-”kami”-an masing-masing (dengan salah sebut sebagai ”kita”), bisa diramalkan
akan berkeping-kepinglah jadinya bangsa ini. Kita LSM (kamu pemerintah), kita
rakyat (kamu polisi), kita Muslim (kamu Kristen, Syiah, Ahmadiyah), kita Madura
(kamu Dayak, Melayu), kita STM anu (kamu SMA itu), dan seterusnya.
Ujung-ujungnya bukan NKRI yang jaya dan rakyat sejahtera, melainkan jahit
mulut, rakyat ditembak polisi, polisi dibacok rakyat, bom, dan sebagainya.
Itulah keadaan bangsa ini pada tahun 2011.
Bagaimana 2012? Kita (bukan kami) harus
kembali ke semangat ke-”kita”-an untuk mencapai Indonesia bersatu, bersama,
damai, sejahtera, dan makin maju. Semua eksponen bangsa harus ber-”kita” bangsa
Indonesia untuk selesaikan semua masalah. Dari kasus Mesuji sampai Bank
Century, dari pilkada sampai pemilu, dari agama sampai etnik dan politik.
Pokoknya semua.
Semangat ke-”kita”-an itu ada pada saat
seluruh bangsa Indonesia bersorak ketika timnas sepak bola Indonesia mencetak
gol ke gawang lawan. Yang Muslim, yang Kristen, yang Papua, yang teroris, yang
Golkar, PDI-P, atau Demokrat, semua bersorak: ”Goool...!!!” Tak peduli apakah
yang mencetak gol Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Titus Bonai, Andik
Vermansyah, atau mungkin juga Markus Haris sekalipun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar