Akankah
“Budaya” Korupsi Surut
Hamka Haq, GURU BESAR DAN PENGAJAR PASCASARJANA
UIN AKAUDDIN MAKASSAR
BIDANG FILSAFAT HUKUM ISLAM
Sumber
: REPUBLIKA, 5 Januari 2012
Pertanyaan pada judul di atas menyebut
korupsi sebagai 'budaya'. Apakah benar korupsi itu sudah membudaya di negeri
ini, dan bagaimana mewujudkan tahun 2012 sebagai tahun bebas 'budaya' korupsi,
atau setidaknya menurunkannya?
Suatu budaya tumbuh dari kebiasaan di tengah masyarakat. Hal-hal yang tadinya tabu akan jadi tidak tabu lagi setelah dibiasakan terus-menerus, atau dibiarkan mentradisi tanpa upaya menghentikannya. Belajar selintas dari pengalaman seorang vegetarian, yang baginya sangat tabu membunuh seekor binatang, ia tidak tega bahkan bulu romanya merinding jika menyaksikan seekor kerbau dijagal di tempat pemotongan hewan. Baginya hal itu merupakan kebiadaban, kezaliman terhadap sesama makhluk yang juga ingin menikmati hidup bersama kita.
Tapi, bagi kita yang nonvegetarian, memotong hewan bukan kebiadaban, melainkan hal yang wajar-wajar saja, sebab hal itu sudah merupakan tradisi lingkungan sejak kecil. Bahkan, kadang menjadi kebanggaan tersendiri memotong banyak hewan untuk perjamuan pernikahan, atau sebagai korban di hari Lebaran. Maka itu, sesuatu yang sifatnya tabu bagi sebagian orang dapat berubah jadi 'budaya' kebanggaan setelah melalui proses pembiasaan.
Mungkin analoginya tidak pas, tetapi perumpamaan tersebut sedikit banyak membantu kita memahami mengapa perilaku koruptor semakin menjadi-jadi di negara kita. Pernah di beberapa tahun silam, seorang koruptor baru saja bebas dari penjara di Jakarta, kemudian para keluarga dan sahabat-sahabatnya di pemerintahan daerah, melakukan penjemputan meriah di Bandara Hasanuddin Makassar. Dia diantar masuk ke ruang VIP milik pemda setempat di atas lapisan karpet merah, bak seorang menteri atau pahlawan yang dinanti-nantikan pengagumnya. Peristiwa ini terjadi sebagai bentuk pembiaran.
'Mental Miskin'
Untuk memberantas korupsi agar tidak menjadi salah satu jenis keragaman 'budaya' yang dibanggakan, banyak hal yang harus dilakukan terutama dilihat dari aspek moralitas bangsa kita sendiri. Sebut saja faktor kemiskinan atau mental kemiskinan. Seorang miskin, yang tidak tahu berbuat apa lagi untuk dapat makan di hari itu, rela atau tidak rela, terpaksa melanggar aturan, mencuri sebiji kakao, atau sebuah kapuk, ataukah sebuah semangka, yang menurut hukum, perbuatan itu kriminal. Jaksa pun menuntut di pengadilan agar yang bersangkutan dijatuhi hukuman penjara sekitar lima tahun.
Kedengarannya amat berat dan sangat tidak adil, tapi begitulah tuntutan jaksa harus sesuai aturan, dan hakim pun jika memutus perkara harus sesuai aturan. Prosedur hukumnya sesuai aturan karena saat jaksa mengajukan tuntutan, begitupun ketika hakim menjatuhkan putusannya, mereka tidak terpengaruh oleh situasi apa pun, atau mereka tidak bermental miskin. Saat itu, polisi, jaksa, dan hakim tidak memosisikan dirinya sebagai orang miskin yang mengharapkan imbalan agar hukumannya berkurang. Jadi, karena menghadapi orang miskin, biasanya aparat penegak hukum tidak 'bermental miskin'.
Berbeda pada kasus lain, yang di dalamnya 'mental kemiskinan' biasanya melanda sebagian orang yang sudah kaya-raya, termasuk aparat penegak hukum itu sendiri. Pejabat yang bertugas di tempat basah, yang sehari-harinya bergelimang dengan uang, atau disibukkan membuat kebijakan tentang keuangan, biasanya digoda oleh mental kemiskinan sehingga atas kesadaran sendiri, melakukan manipulasi dan korupsi.
Mental kemiskinan yang dapat melanda pejabat dalam posisi itu, antara lain, menggunakan kewenangannya membuat kebijakan yang menyimpang, untuk mengemis imbalan miliaran rupiah dari orang yang diuntungkannya. Atau membuat kalkulasi anggaran yang menyimpang dari harga sebenarnya di lapangan. Hal ini terjadi dalam hubungan pimpinan proyek dengan rekanannya dari kalangan kontraktor atau leveransir.
Semua bentuk korupsi dan pelanggaran hukum itu terjadi, yang melibatkan oknum aparat penegak hukum sendiri adalah karena, sekali lagi, adanya pembiaran sampai korupsi menjadi kebiasaan. Tahun 2011, Gayus yang sudah jelas-jelas terdakwa korupsi pajak, sempat pergi ke Bali, Makau, dan Singapura, misalnya, tidak lain karena adanya pembiaran itu.
Maka Gayus pun diberi keistimewaan, apalagi aparat yang bermental miskin di sekitarnya itu menerima 'sedekah' dari Gayus. Ibaratnya, mereka gembira diberi hadiah oleh sang 'majikan' yang bernama Gayus. Kita berharap pada 2012, para penegak hukum membuang 'mental miskin'-nya , agar korupsi yang memalukan itu tidak dibiarkan terjadi lagi.
Sejalan dengan itu, pokok persoalan yang kedua ialah belum maksimalnya negara menyejahterakan rakyat. Akibatnya, bukan hanya orang miskin yang tergoda mencuri demi sesuap nasi, melainkan aparat negara yang gajinya pun masih rendah tergoda melakukan korupsi.
Negara belum manjalankan sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara baru memberi kesejahteraan kepada segelintir konglomerat dalam negeri dan mancanegara. Maka itu, jangan heran jika aparat negara bahkan aparat penegak hukum pun berlomba mencari sumber nafkah baru yang bernama korupsi, terutama mereka yang sudah ketularan 'mental miskin'.
Hal tersebut akan terus berlangsung menggerogoti kekayaan negara, apalagi masyarakat melihat bahwa hukuman koruptor di Indonesia relatif ringan dibandingkan negara lain. Di sini, koruptor tidak merasa jera, ruang tahanannya bisa dilengkapi AC, kulkas, televisi dan seluler, bisa berwisata ke Bali, Makau, dan Singapura, bisa lepas dari penjara dalam waktu yang singkat karena alasan sakit, belum lagi setiap momen nasional mereka dapat remisi.
Berbeda dengan di mancanegara, misalnya, Cina yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor sehingga pejabat-pejabatnya berpikir seribu kali untuk korupsi. Dengan demikian, uang negara bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat, ibarat air yang mengalir tanpa kebocoran di mana-mana, mampu membasahi seluruh permukaan tanah Cina. Tak heran jika pertumbuhan ekonomi Cina semakin mantap, dan tak akan terkena dampak krisis ekonomi Amerika dan Eropa.
Langkah Pencegahan
Jadi, untuk membendung laju terjadinya korupsi tahun 2012, minimal ada empat langkah yang harus ditempuh, yakni pertama: menjatuhkan hukuman berat bagi koruptor. Tidak cukup dengan hukuman sekian tahun, apalagi diselingi remisi, tetapi harus dengan penjara seumur hidup, kalau bukan hukuman mati seperti di Cina.
Langkah yang kedua ialah KPK dengan kepemimpinan yang baru, bersama semua lembaga negara dan pemerintahan yang terkait, harus secara adil dan komprehensif, tidak tebang pilih dalam upaya menjerat para koruptor di negeri ini. Ketiga, para institusi penegakan hukum: KPK, polisi, kejaksaan, dan pengadilan, secara simultan bersama masyarakat menciptakan budaya malu melakukan korupsi, menghentikan pembiaran terjadinya korupsi berulang-ulang sehingga korupsi benar-benar tidak menjadi kebiasaan dan jenis budaya baru bangsa Indonesia.
Dan, yang keempat ialah memaksimalkan fungsi negara mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat, serta pendapatan pegawai negara yang memadai, korupsi akan berhenti, setidaknya dorongan melakukan korupsi akan berkurang. ●
Suatu budaya tumbuh dari kebiasaan di tengah masyarakat. Hal-hal yang tadinya tabu akan jadi tidak tabu lagi setelah dibiasakan terus-menerus, atau dibiarkan mentradisi tanpa upaya menghentikannya. Belajar selintas dari pengalaman seorang vegetarian, yang baginya sangat tabu membunuh seekor binatang, ia tidak tega bahkan bulu romanya merinding jika menyaksikan seekor kerbau dijagal di tempat pemotongan hewan. Baginya hal itu merupakan kebiadaban, kezaliman terhadap sesama makhluk yang juga ingin menikmati hidup bersama kita.
Tapi, bagi kita yang nonvegetarian, memotong hewan bukan kebiadaban, melainkan hal yang wajar-wajar saja, sebab hal itu sudah merupakan tradisi lingkungan sejak kecil. Bahkan, kadang menjadi kebanggaan tersendiri memotong banyak hewan untuk perjamuan pernikahan, atau sebagai korban di hari Lebaran. Maka itu, sesuatu yang sifatnya tabu bagi sebagian orang dapat berubah jadi 'budaya' kebanggaan setelah melalui proses pembiasaan.
Mungkin analoginya tidak pas, tetapi perumpamaan tersebut sedikit banyak membantu kita memahami mengapa perilaku koruptor semakin menjadi-jadi di negara kita. Pernah di beberapa tahun silam, seorang koruptor baru saja bebas dari penjara di Jakarta, kemudian para keluarga dan sahabat-sahabatnya di pemerintahan daerah, melakukan penjemputan meriah di Bandara Hasanuddin Makassar. Dia diantar masuk ke ruang VIP milik pemda setempat di atas lapisan karpet merah, bak seorang menteri atau pahlawan yang dinanti-nantikan pengagumnya. Peristiwa ini terjadi sebagai bentuk pembiaran.
'Mental Miskin'
Untuk memberantas korupsi agar tidak menjadi salah satu jenis keragaman 'budaya' yang dibanggakan, banyak hal yang harus dilakukan terutama dilihat dari aspek moralitas bangsa kita sendiri. Sebut saja faktor kemiskinan atau mental kemiskinan. Seorang miskin, yang tidak tahu berbuat apa lagi untuk dapat makan di hari itu, rela atau tidak rela, terpaksa melanggar aturan, mencuri sebiji kakao, atau sebuah kapuk, ataukah sebuah semangka, yang menurut hukum, perbuatan itu kriminal. Jaksa pun menuntut di pengadilan agar yang bersangkutan dijatuhi hukuman penjara sekitar lima tahun.
Kedengarannya amat berat dan sangat tidak adil, tapi begitulah tuntutan jaksa harus sesuai aturan, dan hakim pun jika memutus perkara harus sesuai aturan. Prosedur hukumnya sesuai aturan karena saat jaksa mengajukan tuntutan, begitupun ketika hakim menjatuhkan putusannya, mereka tidak terpengaruh oleh situasi apa pun, atau mereka tidak bermental miskin. Saat itu, polisi, jaksa, dan hakim tidak memosisikan dirinya sebagai orang miskin yang mengharapkan imbalan agar hukumannya berkurang. Jadi, karena menghadapi orang miskin, biasanya aparat penegak hukum tidak 'bermental miskin'.
Berbeda pada kasus lain, yang di dalamnya 'mental kemiskinan' biasanya melanda sebagian orang yang sudah kaya-raya, termasuk aparat penegak hukum itu sendiri. Pejabat yang bertugas di tempat basah, yang sehari-harinya bergelimang dengan uang, atau disibukkan membuat kebijakan tentang keuangan, biasanya digoda oleh mental kemiskinan sehingga atas kesadaran sendiri, melakukan manipulasi dan korupsi.
Mental kemiskinan yang dapat melanda pejabat dalam posisi itu, antara lain, menggunakan kewenangannya membuat kebijakan yang menyimpang, untuk mengemis imbalan miliaran rupiah dari orang yang diuntungkannya. Atau membuat kalkulasi anggaran yang menyimpang dari harga sebenarnya di lapangan. Hal ini terjadi dalam hubungan pimpinan proyek dengan rekanannya dari kalangan kontraktor atau leveransir.
Semua bentuk korupsi dan pelanggaran hukum itu terjadi, yang melibatkan oknum aparat penegak hukum sendiri adalah karena, sekali lagi, adanya pembiaran sampai korupsi menjadi kebiasaan. Tahun 2011, Gayus yang sudah jelas-jelas terdakwa korupsi pajak, sempat pergi ke Bali, Makau, dan Singapura, misalnya, tidak lain karena adanya pembiaran itu.
Maka Gayus pun diberi keistimewaan, apalagi aparat yang bermental miskin di sekitarnya itu menerima 'sedekah' dari Gayus. Ibaratnya, mereka gembira diberi hadiah oleh sang 'majikan' yang bernama Gayus. Kita berharap pada 2012, para penegak hukum membuang 'mental miskin'-nya , agar korupsi yang memalukan itu tidak dibiarkan terjadi lagi.
Sejalan dengan itu, pokok persoalan yang kedua ialah belum maksimalnya negara menyejahterakan rakyat. Akibatnya, bukan hanya orang miskin yang tergoda mencuri demi sesuap nasi, melainkan aparat negara yang gajinya pun masih rendah tergoda melakukan korupsi.
Negara belum manjalankan sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara baru memberi kesejahteraan kepada segelintir konglomerat dalam negeri dan mancanegara. Maka itu, jangan heran jika aparat negara bahkan aparat penegak hukum pun berlomba mencari sumber nafkah baru yang bernama korupsi, terutama mereka yang sudah ketularan 'mental miskin'.
Hal tersebut akan terus berlangsung menggerogoti kekayaan negara, apalagi masyarakat melihat bahwa hukuman koruptor di Indonesia relatif ringan dibandingkan negara lain. Di sini, koruptor tidak merasa jera, ruang tahanannya bisa dilengkapi AC, kulkas, televisi dan seluler, bisa berwisata ke Bali, Makau, dan Singapura, bisa lepas dari penjara dalam waktu yang singkat karena alasan sakit, belum lagi setiap momen nasional mereka dapat remisi.
Berbeda dengan di mancanegara, misalnya, Cina yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor sehingga pejabat-pejabatnya berpikir seribu kali untuk korupsi. Dengan demikian, uang negara bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat, ibarat air yang mengalir tanpa kebocoran di mana-mana, mampu membasahi seluruh permukaan tanah Cina. Tak heran jika pertumbuhan ekonomi Cina semakin mantap, dan tak akan terkena dampak krisis ekonomi Amerika dan Eropa.
Langkah Pencegahan
Jadi, untuk membendung laju terjadinya korupsi tahun 2012, minimal ada empat langkah yang harus ditempuh, yakni pertama: menjatuhkan hukuman berat bagi koruptor. Tidak cukup dengan hukuman sekian tahun, apalagi diselingi remisi, tetapi harus dengan penjara seumur hidup, kalau bukan hukuman mati seperti di Cina.
Langkah yang kedua ialah KPK dengan kepemimpinan yang baru, bersama semua lembaga negara dan pemerintahan yang terkait, harus secara adil dan komprehensif, tidak tebang pilih dalam upaya menjerat para koruptor di negeri ini. Ketiga, para institusi penegakan hukum: KPK, polisi, kejaksaan, dan pengadilan, secara simultan bersama masyarakat menciptakan budaya malu melakukan korupsi, menghentikan pembiaran terjadinya korupsi berulang-ulang sehingga korupsi benar-benar tidak menjadi kebiasaan dan jenis budaya baru bangsa Indonesia.
Dan, yang keempat ialah memaksimalkan fungsi negara mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat, serta pendapatan pegawai negara yang memadai, korupsi akan berhenti, setidaknya dorongan melakukan korupsi akan berkurang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar