Negara
Predator
Syamsuddin Haris, KEPALA PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPI
Sumber
: KOMPAS, 5 Januari 2012
Ketika tragedi dugaan pembantaian rakyat di
Mesuji, Lampung, belum terungkap, aparat kepolisian kembali melakukan tindakan
brutal dengan menembaki pengunjuk rasa di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat.
Lalu, kapan mimpi kita akan hadirnya negara yang melindungi rakyat benar-benar
terwujud?
Sangat mencengangkan ketika layar kaca
mempertontonkan perilaku brutal aparat kepolisian; yang seharusnya melindungi
rakyat justru begitu bernafsu hendak ”menghabisinya”. Sebagai representasi
negara, aparat kepolisian jelas bertindak melampaui batas karena menembaki
massa yang tidak melawan dan bahkan tengah beristirahat karena kelelahan
menduduki kawasan Pelabuhan Sape sejak empat hari sebelumnya.
Tampak jelas, rakyat yang menolak wilayah
mereka sebagai area pertambangan diperlakukan sebagai musuh negara, suatu cara
pandang yang dianut oleh rezim otoriter Orde Baru.
Sulit dimungkiri tindakan brutal dan sangat
memalukan aparat negara yang digaji dari pajak rakyat ini berakar dari tak
adanya keberpihakan negara, baik di tingkat nasional maupun lokal, terhadap
kepentingan rakyat. Komitmen penyelenggara negara berhenti sebagai pidato dan
retorika serta dokumen visi dan misi yang dipersyaratkan secara administratif
dalam pemilu dan pemilu kepala daerah.
Seusai pemilu dan pilkada, para pejabat
publik terpilih yang memperoleh mandat rakyat, termasuk gubernur, bupati, dan
wali kota, justru ”berbisnis” izin usaha dengan pemodal yang sebagian besar
mengorbankan hidup rakyat yang telah memilih mereka.
Ideologi Pertumbuhan
Barangkali inilah risiko ketika orientasi dan
tolok ukur keberhasilan negara semata-mata hanya bertumpu pada pencapaian
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, cara pandang yang telah kita tolak pada
Orde Baru. Atas nama pertumbuhan ekonomi, juga atas nama otonomi daerah dan
daya saing lokal, kawasan konservasi dan lahan pertanian yang merupakan sumber
kehidupan rakyat diperjualbelikan kepada investor pertambangan. Para kepala
daerah, termasuk di Lampung dan Bima, hanya memikirkan keuntungan jangka pendek
bagi diri pribadi mereka tanpa memedulikan nasib rakyat dan kerusakan
lingkungan alam serta ekosistem sebagai akibatnya.
Orientasi pertumbuhan ekonomi adalah produk
dari penghambaan berlebihan terhadap rezim pasar bebas yang diusung oleh
neoliberalisme dalam era globalisasi dewasa ini. Tatkala sistem-sistem ekonomi
kapitalis-liberal di Amerika Serikat dan Eropa tengah mengalami krisis dan
bahkan menjemput kematian, para penyelenggara negara di negeri kita justru
memilih berselingkuh dengan para kapitalis ketimbang mencari kiat cerdas
mengelola sumber daya ekonomi lokal tanpa mengorbankan kepentingan rakyat.
Konstitusi kita tak hanya mengamanatkan kewajiban negara melindungi rakyat,
tetapi juga keniscayaan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.
Karena itu, kasus Mesuji di Lampung serta
Lambu dan Sape di Bima sebenarnya hanyalah dua contoh dari ratusan atau bahkan
ribuan bara api konflik agraria yang berpotensi muncul di Tanah Air jika tidak
ada upaya serius negara, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah untuk
mengantisipasinya. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad mencatat,
sepanjang 2011 saja terjadi 163 konflik agraria yang menelan korban jiwa.
Konflik yang sama dengan perilaku brutal serupa dari polisi ataupun tentara
juga terus akan mewarnai kehidupan negeri ini jika aparat negara lebih
cenderung jadi ”centeng” investor ketimbang pelindung rakyat.
Kecewa
Sistem demokrasi yang diraih pascarezim
otoriter Orde Baru semestinya menjadi arena bagi setiap warga negara untuk
mewujudkan kedaulatan mereka dalam kehidupan politik dan ekonomi. Namun,
alih-alih berdaulat, seusai pemilu, proses politik dan ekonomi sepenuhnya
dikendalikan oleh berbagai kekuatan oligarkis berselubung partai, etnik,
daerah, agama, dan golongan. Berbagai kekuatan oligarkis inilah yang akhirnya
membajak dan akhirnya menikmati demokrasi.
Ironisnya, para penyelenggara negara di pusat
dan daerah lebih memilih bersekutu dengan para oligarkis yang dibiayai oleh
kapitalis-investor ketimbang mengawal bangsa, memuliakan konstitusi, dan
menjaga hati nurani rakyat kita.
Berbagai konflik agraria seperti terjadi di
Mesuji, Lampung, dan Lambu-Sape, Bima, semestinya tidak perlu terjadi jika para
penyelenggara memiliki komitmen serius mengelola sumber daya ekonomi lokal
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kasus Kecamatan Lambu dan
Kecamatan Sape, sangat wajar masyarakat menolak wilayah mereka jadi areal
pertambangan emas karena lokasinya merupakan sumber mata air yang menghidupi
warga setempat sepanjang hayat.
Bagi umumnya masyarakat kita, hutan, tanah,
dan lahan pertanian adalah soal hidup-mati seluruh generasi pada setiap
komunitas lokal. Oleh karena itu, yang justru tidak wajar adalah penerbitan
izin pertambangan yang potensial merampas hak hidup masyarakat setempat di atas
nyawa ekonomi mereka sendiri. Dalam kasus Bima, masyarakat Kecamatan Lambu yang
memblokade Pelabuhan Sape tampaknya kecewa berat terhadap Bupati Bima Ferry
Zulkarnain yang menerbitkan izin pertambangan tanpa berkonsultasi dengan warga
setempat. Apalagi, Lambu (dan juga Sape) adalah basis utama Bupati Ferry ketika
memenangi Pilkada Bima, baik pada 2005 maupun untuk kedua kali pada 2010. Pada
Pilkada 2005, Ferry Zulkarnain-Usman AK meraih 52,3 persen suara di Lambu,
sedangkan pada Pilkada 2010 Ferry yang berganti pasangan dengan Syafrudin M Nur
merebut 66,4 persen suara di kecamatan yang sama.
Kasus Bima (dan Mesuji) sekali lagi memperlihatkan
betapa berisikonya kehidupan bangsa kita ketika para elite penyelenggara
negara, di pusat dan daerah, lebih memilih bersekutu dengan para pemodal
daripada rakyatnya sendiri. Pada tingkat ekstrem, kita tentu patut prihatin
jika pada akhirnya negara menjadi monster dan predator bagi rakyatnya sendiri.
Semoga tindak brutal aparat kepolisian menembaki pengunjuk rasa di Sape, Bima,
bukan pertanda awal hadirnya negara yang berlaku sebagai predator bagi
rakyatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar