Selasa, 03 Januari 2012

Mutu Para Dai Kita

Mutu Para Dai Kita
Abdul Moqsith Ghazali, EDITORIAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 2 Januari 2012


“Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.”

Setiap agama meniscayakan para pengkotbah. Tak terkecuali Islam. Dalam Islam, pengkotbah itu disebut dai, muballigh, atau khatib. Dai berarti sang penyeru, muballigh bermakna sang penyampai, dan khatib biasanya ditujukan pada pengkotbah pada ibadah Jum’at. Semuanya berpidato di depan publik untuk menyeru pada kebaikan dan menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam. Karena itu, posisi para dai amat strategis. Di tangan para pengkotbah itu nasib suatu agama ditentukan. Jika satu agama menghimpun para dai yang mumpuni-andal, maka agama itu akan tampak mumpuni. Tapi, sebaliknya, di tangan para pengkotbah yang berilmu dangkal, berwawasan sempit, maka agama itu akan tampak tak relevan, kuno, dan terbelakang.

Pada tahun 80-an hingga 90-an, umat Islam Indonesia memiliki dai-dai nasional yang cakap dan memukau. Di antaranya adalah KH Syukron Makmun, KH Manarul Hidayat, KH Zainuddin MZ. Penguasaan mereka terhadap sejarah pemikiran dan peradaban Islam cukup luas. Mereka tak hanya bisa membaca al-Qur’an dengan baik, melainkan juga sanggup menafsirkannya secara lebih kontekstual. Ini mungkin karena pengetahuan bahasa Arab mereka memadai sehingga dimungkinkan untuk melahap tumpukan referensi utama Islam. Dengan ilmu yang cukup, ditunjang suara bariton yang menggelegar dan kemampuan menyelipkan humor-humor cerdas menyebabkan para dai itu memiliki kemampuan pengendalian massa, yang besar sekalipun. Ribuan orang seperti terhipnotis. Orang-orang yang mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ dibuat tak kuasa untuk tak memperhatikannya walau hanya beberapa menit. Zainuddin MZ dikenal memiliki kecakapan bertutur yang sistematis, berbahasa indah dengan retorika yang tak biasa.

Lain dulu, lain juga sekarang. Para dai yang muncul di akhir tahun 90-an atau 2000-an beda. Tak banyak dari mereka yang memiliki pengetahuan sejarah Islam, fikih Islam, dan tafsir al-Qur’an yang tangguh. Bahkan, ilmu-ilmu keislaman yang dimiliki sebagian dari mereka jauh di bawah standar sebagai seorang dai. Dai yang sempat kondang lalu menguap, Abdullah Gymanstiar, sering keliru dalam membaca panjang-pendek ayat al-Qur’an. Jefry al-Bukhari tak jauh beda. Kepercayaan diri dan kemampuan olah vokal yang coba ditunjukkannya di depan pemirsa televisi tak bisa menyembunyikan keterbatasannya dalam soal membaca al-Qur’an. Kemampuan Soleh Mahmud alias Solmed pun tak lebih baik dari seniornya, Jefry al-Bukhari. Dari lisan para dai yang bermutu rendah ini tak ayal kalau kita mendengar pernyataan dan pendapat keislaman yang naif, banal, dan musykil.

Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.

Kedua, jadwal “manggung” dan “tayang” yang padat menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk belajar, meningkatkan mutu diri. Waktunya dihabiskan di jalan untuk berdakwah, dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi lain. Duduk untuk membaca buku-buku keislaman tak mudah dilakukan. Itu sebabnya, kita akan disuguhi materi dakwah yang memutar. Satu materi yang sudah diputar di satu tempat akan diputar kembali di tempat lain, tak ubahnya seorang penyanyi yang menyanyikan lagu sama di berbagai tempat dengan kostum yang berbeda. Hanya untuk menghindari rasa bosan dan mengusir kantuk yang mendera para jemaah, para produser televisi biasanya mensiasatinya dengan menghadirkan para bintang tamu seperti artis-selebritis. 

Bagaimana menghadapi kenyataan itu? Kita tahu, para dai yang muncul di era digital ini pada umumnya masih belia. Lahir rata-rata tahun 70-an bahkan 80-an. Sehingga kita masih bisa berharap agar mereka bisa memperbaiki kualitas diri. Yang tak bisa baca al-Qur’an, segera belajar baca al-Qur’an. Yang tak menguasai bahasa Arab, cepat belajar bahasa Arab. Yang tak mengerti detail-detail hukum Islam, buruan mengaji pada para ahli hukum Islam.  Jadual yang penuh tak boleh dijadikan alasan para dai untuk berhenti membaca buku dan belajar pada ulama yang shalih nan arif. Dengan cara belajar yang tanpa henti itu, kita akan menyaksikan para dai yang tak hanya menenangkan secara spiritual tapi juga mencerahkan secara intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar