Mutu
Para Dai Kita
Abdul Moqsith Ghazali, EDITORIAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 2 Januari 2012
“Banyak
orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita
awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai
setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada
pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah
memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman
a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri
sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon
tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan
meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan
tangis yang mencekam.”
Setiap agama meniscayakan para pengkotbah.
Tak terkecuali Islam. Dalam Islam, pengkotbah itu disebut dai, muballigh, atau
khatib. Dai berarti sang penyeru, muballigh bermakna sang penyampai, dan khatib
biasanya ditujukan pada pengkotbah pada ibadah Jum’at. Semuanya berpidato di
depan publik untuk menyeru pada kebaikan dan menyampaikan pokok-pokok ajaran
Islam. Karena itu, posisi para dai amat strategis. Di tangan para pengkotbah
itu nasib suatu agama ditentukan. Jika satu agama menghimpun para dai yang
mumpuni-andal, maka agama itu akan tampak mumpuni. Tapi, sebaliknya, di tangan
para pengkotbah yang berilmu dangkal, berwawasan sempit, maka agama itu akan
tampak tak relevan, kuno, dan terbelakang.
Pada tahun 80-an hingga 90-an, umat Islam
Indonesia memiliki dai-dai nasional yang cakap dan memukau. Di antaranya adalah
KH Syukron Makmun, KH Manarul Hidayat, KH Zainuddin MZ. Penguasaan mereka
terhadap sejarah pemikiran dan peradaban Islam cukup luas. Mereka tak hanya
bisa membaca al-Qur’an dengan baik, melainkan juga sanggup menafsirkannya
secara lebih kontekstual. Ini mungkin karena pengetahuan bahasa Arab mereka
memadai sehingga dimungkinkan untuk melahap tumpukan referensi utama Islam.
Dengan ilmu yang cukup, ditunjang suara bariton yang menggelegar dan kemampuan
menyelipkan humor-humor cerdas menyebabkan para dai itu memiliki kemampuan
pengendalian massa, yang besar sekalipun. Ribuan orang seperti terhipnotis.
Orang-orang yang mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ dibuat tak kuasa untuk
tak memperhatikannya walau hanya beberapa menit. Zainuddin MZ dikenal memiliki
kecakapan bertutur yang sistematis, berbahasa indah dengan retorika yang tak
biasa.
Lain dulu, lain juga sekarang. Para dai yang
muncul di akhir tahun 90-an atau 2000-an beda. Tak banyak dari mereka yang
memiliki pengetahuan sejarah Islam, fikih Islam, dan tafsir al-Qur’an yang
tangguh. Bahkan, ilmu-ilmu keislaman yang dimiliki sebagian dari mereka jauh di
bawah standar sebagai seorang dai. Dai yang sempat kondang lalu menguap,
Abdullah Gymanstiar, sering keliru dalam membaca panjang-pendek ayat al-Qur’an.
Jefry al-Bukhari tak jauh beda. Kepercayaan diri dan kemampuan olah vokal yang
coba ditunjukkannya di depan pemirsa televisi tak bisa menyembunyikan
keterbatasannya dalam soal membaca al-Qur’an. Kemampuan Soleh Mahmud alias
Solmed pun tak lebih baik dari seniornya, Jefry al-Bukhari. Dari lisan para dai
yang bermutu rendah ini tak ayal kalau kita mendengar pernyataan dan pendapat
keislaman yang naif, banal, dan musykil.
Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu
rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai.
Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang,
ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan
sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan,
menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan
fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa
diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan
“mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang
tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.
Kedua, jadwal “manggung” dan “tayang” yang
padat menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk belajar, meningkatkan
mutu diri. Waktunya dihabiskan di jalan untuk berdakwah, dari satu stasiun
televisi ke stasiun televisi lain. Duduk untuk membaca buku-buku keislaman tak
mudah dilakukan. Itu sebabnya, kita akan disuguhi materi dakwah yang memutar.
Satu materi yang sudah diputar di satu tempat akan diputar kembali di tempat
lain, tak ubahnya seorang penyanyi yang menyanyikan lagu sama di berbagai
tempat dengan kostum yang berbeda. Hanya untuk menghindari rasa bosan dan
mengusir kantuk yang mendera para jemaah, para produser televisi biasanya
mensiasatinya dengan menghadirkan para bintang tamu seperti
artis-selebritis.
Bagaimana menghadapi kenyataan itu? Kita
tahu, para dai yang muncul di era digital ini pada umumnya masih belia. Lahir
rata-rata tahun 70-an bahkan 80-an. Sehingga kita masih bisa berharap agar
mereka bisa memperbaiki kualitas diri. Yang tak bisa baca al-Qur’an, segera
belajar baca al-Qur’an. Yang tak menguasai bahasa Arab, cepat belajar bahasa
Arab. Yang tak mengerti detail-detail hukum Islam, buruan mengaji pada para
ahli hukum Islam. Jadual yang penuh tak boleh dijadikan alasan para dai
untuk berhenti membaca buku dan belajar pada ulama yang shalih nan arif. Dengan
cara belajar yang tanpa henti itu, kita akan menyaksikan para dai yang tak
hanya menenangkan secara spiritual tapi juga mencerahkan secara intelektual. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar