Kamis, 19 Januari 2012

Dicari Capres yang Bukan “Bukan”


Dicari Capres yang Bukan “Bukan”
Jannus T.H.Siahaan, MANTAN WARTAWAN, KINI KONSULTAN KOMUNIKASI,
KANDIDAT DOKTOR SOSIOLOGI DI FISIP UNIVERSITAS PADJAJARAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 19 Januari 2012


Hingga 2011 berakhir dan 2012 tiba, belum ada arus besar yang bisa dibuat sebagai pendulum politik, ke mana arus akan bermuara. Bahkan, partai sebesar Partai Demokrat (PD) tak berani memetakan kekuatan sendiri.
Situasi ini amat berbeda dengan Pemilu 1998 di mana masing-masing OPP (Organisasi Peserta Pemilu), berani mengusung calon dan menjualnya secara bebas ke tengah-tengah masyarakat.

Saat itu, seiring berkecambahnya partai politik baru, muncul pula tokoh-tokoh sebagai ikonnya. Sebutlah Megawati Soekarnoputri sebagai ikon “wong cilik” melalui PDI-Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dengan PKB, HM Amien Rais dengan PAN, BJ Habibie melalui Partai Golkar, atau Partai Keadilan yang lalu bermetamorfosis menjadi PKS terang-terangan mengajukan nama Nurmahmudi Ismail.

Bahkan partai gurem semacam PARI (Partai Rakyat Indonesia) tidak canggung menawarkan tokoh internalnya, Agus Miftach, aktivis flamboyan. Tapi, beberapa ikon kecil berguguran jauh sebelum menjadi peserta pemilu karena tak lolos verifikasi faktual di KPU.

Euforia politik di awal era reformasi semakin riuh karena melibatkan emosi rakyat pemilih yang gempita dengan suasana baru. Namun, setelah satu dekade berlalu, keriuhan berubah menjadi kejenuhan. Rakyat, pada titik tertentu, mulai antipati terhadap partai politik karena perilaku para politikus yang cenderung tidak jujur dan korup.

Bahkan, sejakmenjelang berakhirnya era Megawati hingga senja kala kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini, beberapa menteri, puluhan anggota DPR, gubernur, DPRD I, bupati, dan wali kota, serta anggota DPRD II, menjadi pesakitan di penjara.

Karena situasi inilah maka berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) 2014 benar-benar belum bisa diprediksi ujungnya. Lihatlah betapa keras badai menghantam biduknya sehingga SBY sebagai ketua Majelis Tinggi terkesan tak berani mencari tokoh yang sepadan dengan dirinya untuk diusung PD.

Ia dengan keras pula menepis kemungkinan memunculkan istrinya, “The First Lady” Ani Yudhoyono. “Dalam kapasitas saya sebagai ketua Majelis TinggiPartai, setelah berkomunikasi dengan ketua umum partai, saya ingin sampaikan bahwa saat ini PD belum tentukan Capres 2014,” ujar SBY saat memberikan pidato di acara “Sarasehan Partai Demokrat” di PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat, di penghujung akhir 2011.

Begitulah “titah” SBY yang pasti menjadi pegangan kader-kader PD. Jangan harap ada yang berani berbeda apalagi menentangnya. Kalau istrinya saja tidak, apalagi yang lain. Kini tinggal rakyat yang menimbang.

Bahkan, jenderal yang paling “jago” berhitung ini seolah tampak menyerah sehingga mulai menyebut-nyebut nama Tuhan, sesuatu yang sulit ditemukan dalam kamus SBY. “Untuk jadi presiden, sesungguhnya perlu dapat dukunganrakyat yang kuat dan berkah Allah SWT,” katanya.

Meskibegitu, kalau masih mungkin memilih, SBY menginginkan yang muda. Karena tak muda lagi, jelas ia tak menginginkan istrinya. Bukan Ani Yudhoyono, lalu siapa?  Anas Urbaningrum? Hampir mustahil. Ketua Umum DPP-PD ini kabarnya hanya kuat di inner circle-nya. Di kalangan senior, ia kabarnya sudah habis. Kekuatan di luar PD setali tiga uang. 

ARB Tak Diinginkan Partai Golkar telah menegaskan pencapresan Aburizal Bakrie. Tapi itu tak akan mudah. Selain masih adanya resistensi internal, di mata rakyat ARB—begitu Aburizal minta namanya disingkat, bukanlah tokoh yang diinginkan.

Dari sisi internal, Jusuf Kalla (JK), mantan Ketua Umum Partai Golkar dan mantan wapres, jelas tidak mungkin diabaikan. Kekuatannya melimpah, popularitasnya jelas di atas ARB. JK amat pintar menabung kekuatan politiknya. Partai Nasdem pun tak akan berat hati menawarkan jasanya. Nasdem plus sisa-sisa “laskar pajangnya” di Beringin akan sangat berarti bagi JK.

Jadi, yang diinginkan bukan ARB. Namun, jika ukurannya usia, JK juga bukan yang diinginkan, tapi ia cerdik.  Belakangan muncul wacana kongsi dua kekuatan: Beringin dan Banteng. Melalui rakernasnya di Bandung, Banteng tetap istiqamah untuk tak melepas ikonnya, Megawati.

Bahkan suaminya, M Taufiq Kiemas,  tak suka Megawati “mentas” lagi. Di kandang banteng, pengaruh Kiemas tak bisa diabaikan. Yang jelas, dari beberapa kekuatan internalnya saja, yang diinginkan bukan Megawati. Lalu siapa? Bagaimana dengan Puan Maharani? Dia jelas anak ideologis ”Banteng” sekaligus anak kandung Megawati.

Tapi aura politik Puan belum sejajar dengan tokoh-tokoh lain. Kiprahnya belum kelihatan, kecuali di dalam partainya sendiri. Di DPR, nama Puan berada di bawah bayang-bayang rekan separtai, Ganjar Pranowo atau Maruarar Sirait, misalnya. Apalagi dengan Pramono Anung yang kepak sayapnya sudah merentang jauh. Jadi, Puan juga bukan calon yang diinginkan.

Partai Menengah Bingung Beginilah gambaran sesungguhnya internal di tiga partai terbesar, PD, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan, dua tahun menjelang Pilpres 2014. Di luar ketiganya, masih ada kelompok menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

Dalam kancah perpolitikannasional dan peta pertarungan memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2, mereka tidak berada dalam posisi determinan. Kehadiran mereka hanya untuk memperkuat fungsi dan posisi yang sudah dimiliki ketiga partai besar di atas. Kenapa? Karena partai kelas menengah ini tidak memiliki figur yang benar-benar melebihi kapasitas partai. 

Tidak ada tokoh semacam Gus Dur di PKB atau Amien Rais di PAN.  Muhaimin Iskandar jelas tak sekelas dengan Gus Dur. Meski begitu, Ketua Umum DPP-PKB itu berdiri berseberangan jalan dengan pamannya itu, hingga Gus Dur dijemput maut. Begitu pula M Hatta Radjasa. Saat partai matahari itudilahirkan, dia bukan siapa-siapa.

Hatta ada di bawah bayang-bayang tokoh lain, semisal Faisal Basri, sekjen pertama PAN. Apalagi dengan Goenawan Mohamad, AM Fatwa, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya. PAN menyodorkan nama Hatta. Seriuskah ? Bahkan, sebagai mahagurunya, Amien Rais tampak kurang “pede”.

Urusan akan kian berat, karena lumbung PAN, PP Muhammadiyah, menampik terlibat dalam urusan politik praktis. Bos Muhammadiyah, Din Syamsuddin, belum-belum sudah berteriak. Yang sejatinya berani mengusung nama Hatta Radjasa adalah para demonstran.

Mereka membawa gambar Hatta terkaitan kasus hibah 60 gerbong KA eks Jepang saat masih menjadi Menteri Perhubungan. Jadi, bukan Hatta yang diinginkan. Lalu siapa? Selain PAN, masih ada PKS. Tapi partai yang dikenal mempunyai sistem pangkaderan paling militan ini tengah dirundung masalah. Konflik internalnya sampai mencuat ke ranah publik.

Sekjen PKS HM Anis Matta dipaksa diam oleh tarik-menariknya kekuasaan. Sikap Anis yang mengendur adalah buah dari perombakan kabinet pertama KIB II. Sayang sekali PKSterlambat, kalau cerdik, tentu jatah kursi mereka di KIB IItak akan berkurang.

Kini, jangankan ikut meneriakkan kandidat presiden, mengurus diri sendiri bukan perkara mudah bagi partai yang lahir sebagai berkah reformasi itu. Praktis, PKS tidak memiliki tokoh sekuat HidayatNurwahid, sang mantan presiden. Tifatul Sembiring? Dia kalah kelas, sementara Didin Hafidhudin sudah lama mengundurkan diri.

Nur Mahmudi kelasnya turun menjadi Wali Kota Depok, Jawa Barat. Praktis PKS hanya mempunyai Hidayat. Nama-nama lain dari partai lain tinggal PPP dengan Suryadharma Ali-nya, Partai Gerindra yang masih setia dengan Prabowo Subianto-nya, dan Partai Hanura yang nyata-nyata sudah kehilangan gairah.

Bahkan, nama Wiranto, pendiri Hanura, sudah mulai lamat-lamat terdengar, berdiam di alam bawah sadar dunia politik. Khusus Hanura, performanya amat bergantung kepada kadernya di DPR, Akbar Faisal. Belakangan, Faisal yang merasa kesepian agak tenang setelah mentasnya Syarifuddin Sudding. Tapi Faisal pasti akan bersiap mencari kendaraan baru.

Praktis, tidak ada kandidat yang benar-benar menarik. Ternyata capres yang dicari bukan Ani, Anas, ARB, JK, Megawati, Puan, apalagi Hatta dan Prabowo, terlebih Wiranto. Mereka masuk kelompok “Bukan”. Yang dicari adalah calon yang bukan “Bukan”. Siapa mereka? Mungkinkah Sri Mulyani Indrawati, Moh Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, Jimly Asshiddiqie? Entahlah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar