Desakralisasi
Gedung DPR
Wasisto Raharjo Jati, ANALIS
POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGM
Sumber
: SINAR HARAPAN, 18 Januari 2012
Perbincangan mengenai ketidakpekaaan nurani
sosial DPR tidak pernah habisnya.
Setelah pada Mei 2011 Badan Urusan Rumah
Tangga DPR telah menganggarkan Rp 1,8 triliun untuk pembangunan konstruksi
gedung dewan yang baru, dengan alasan konstruksi gedung yang lama mengalami
kemiringan tujuh derajat, dan mengakomodasi penambahan jumlah staf ahli anggota
DPR dari tiga staf menjadi lima staf.
Kini, awal 2012 ini publik kembali tersentak
dengan anggaran Rp 20 miliar untuk perbaikan sarana dan prasarana fasilitas
sanitasi toilet lengkap dengan perluasan lahan parkirnya, serta tampilan mewah
ruang rapat Badan Anggaran DPR lengkap dengan multimedia serbacanggih.
Adanya fasilitas yang serbamewah dan
serbamodern tersebut akan menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih
lebar antara wakil rakyat dan rakyatnya sendiri.
Gedung DPR bukan lagi disebut sebagai rumah
rakyat, tetapi lebih tepat sebagai rumah sakral. Adanya pagar yang cukup
tinggi mengelilingi kompleks gedung DPR adalah satu indikasi kesakralan
tersebut bahwa rakyat Indonesia tidak bisa sembarangan masuk dan beraktivitas
di sana.
Indikasi sakral lainnya penjagaan esktra
ketat yang diberlakukan untuk menghalau para demonstran yang notabene adalah
rakyat. Kesan itulah yang kemudian membentuk opini bahwa gedung DPR menjaga
jarak dengan masyarakat luas sebagai konstituennya. DPR menjadi semakin angkuh
dengan gemerlapnya fasilitas tersebut.
Perilaku bermewah diri dan menjaga jarak yang
dilakukan anggota DPR tentu amatlah kontras bilamana mengamati dan
mengomparasikan dengan perilaku anggota DPR Australia di mana menjaga jarak dan
bermewah diri adalah hal yang tabu mereka lakukan.
Dalam hal ini, penulis ingin berbagi
pengalaman mengenai suasana berparlemen anggota DPR Australia yang diharapkan
bisa menjadi perenungan untuk menyikapi perilaku anggota DPR di negeri kita.
Refleksi DiriSecara sekilas, Gedung DPR
Australia atau lebih dikenal Parliament House of Australia tidaklah berbeda dan
mencolok dibandingkan dengan gedung perkantoran dan hotel lainnya yang berada
di kawasan Capital Hill, ACT (Australian Capital Territory) Canberra.
Gedung ini luasnya hanya kurang dari 24
hektare, setengahnya dari luas kompleks gedung DPR Indonesia yang luasnya 48
hektare. Apabila gedung DPR di Indonesia belomba-lomba untuk menampilkan
kemewahan dan modernitas, gedung DPR Australia justru menampilkan kesederhanaan
dan kesejarahan.
Dalam bangunan gedung DPR Australia terpatri
sejarah perjalanan bangsa tersebut sejak masa Aborigin hingga era persemakmuran
Inggris sekarang ini. Hal ini dimaksudkan agar anggota DPR tidak lupa mengenai
rakyatnya yang diwakilinya.
Seperti ingin memahami sebagai rumah rakyat,
gedung DPR Australia tidak dirintangi pagar tinggi yang mengelilingi kompleks
maupun penjagaan ekstra ketat sebagaimana yang terjadi di DPR Indonesia. Para
anggota DPR Australia ini mempersilakan rakyatnya mengunjungi gedung parlemen
setiap hari dan waktu.
Bahkan gedung parlemen menjadi tempat wisata
menarik dengan disediakan free guided tours oleh parlemen yang dimulai pada
pukul 09.00 pagi dan berlangsung setiap 30 menit secara berkelanjutan hingga
batas akhir waktu pada pukul 04.00 sore hari (Faiz, 2011).
DPR Australia mewajibkan para anggota DPR-nya
seintens mungkin bertemu dan bertatap muka untuk mengetahui apa yang sedang
terjadi pada konstituen mereka guna menjaga pandangan buruk dari orang-orang
yang mereka wakilkan.
Oleh karena itulah, jarang didapati anggota
DPR Australia bermewah-mewahan seperti menggunakan mobil mahal maupun pakaian
gemerlap. Mereka justru menghindari hal tersebut untuk menghindari stigma
negatif dari masyarakat, terlebih lagi pada masa krisis sekarang ini.
Untuk menuju gedung parlemen cukup
menggunakan transportasi umum membaur dengan rakyatnya. Menjaga hubungan mereka
dengan masyarakat dapat menjadi pembelajaran atas kebijakan pemerintah yang
sudah digulirkan. Pada poin inilah letak mendasar perbedaan sikap
berperilaku anggota DPR kita dengan anggota DPR Australia.
Anggota DPR kita hanya bertemu dengan
masyarakatnya hanya pada masa reses sidang kabinet. Itu pun sering kali hanya
terbatas dan waktu singkat, karena terpotong dengan kunjungan kerja/studi
banding ke luar negeri maupun agenda rapat mendesak partai politiknya.
Yang menarik dan patut dicontoh ialah ruang
sidang DPR Australia yang agak menjorok ke bawah tanah sehingga terkesan mereka
bersidang di bawah telapak para pejalan kaki yang lalu lalang berjalan di
kompleks parlemen tersebut.
Makna filosofinya ialah anggota DPR adalah
pelayan dan abdi rakyat sehingga dengan adanya pejalan kaki yang melintas di
atas kepala mereka dimaksudkan bahwa kepentingan masyarakat di atas
segala-galanya dibandingkan dengan dirinya maupun partainya.
Adanya fasilitas mewah dalam gedung DPR
sebagaimana yang terdapat dalam kasus Indonesia justru akan membebani pola
pikir dan kinerja para anggota DPR Australia ini.
Fasilitas mewah diartikan sebagai setumpuk
beban moral dan etika dari masyarakat kepada anggota DPR Australia ini.
Bandingkan dengan fasilitas mewah DPR Indonesia yang lebih diartikan sebagai
beban pemenuhan citra dan egoisme pemimpin kepada rakyatnya.
Pelajaran dari kasus gedung DPR Australia
setidaknya dapat dijadikan refleksi diri untuk mendeskralisasi dan
menghilangkan stigma angkuh yang sering kali dipertontonkan anggota DPR kita
kepada rakyatnya. Sudah saatnya anggota DPR kita bersikap sederhana dan membumi
seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya.
Oleh karena itulah diperlukan sikap terobosan
yang dilakukan pemimpin DPR untuk bersikap sederhana supaya dijadikan contoh bagi
para anggotanya sehingga citra DPR yang tidak peka dan tidak berempati sosial
akan tereduksi secara bertahap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar