Kamis, 19 Januari 2012

Cahaya Seni pada 2012

Cahaya Seni pada 2012
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU
Sumber : KORAN TEMPO, 19 Januari 2012


Dalam sebuah wawancara khusus untuk acara Indonesia Lawyers Club di sebuah televisi swasta, Karni Ilyas bertanya kepada Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. “Mengapa Anda tidak bicara banyak mengenai kasus yang harus ditangani oleh KPK?” Atas pertanyaan itu, Abraham Samad menjawab: “Ketua KPK kan bukan pemain sinetron, yang ke sana-kemari boleh ngomong apa saja.” Dalam acara yang sama pada waktu berbeda, pengacara Hotman Paris mencerca pentolan Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Bunyi perkataan itu kira-kira begini : “Apa yang dikatakan itu badut, itu pemain sinetron, tidak benar!” Lalu, ketika berdebat dengan Ruhut Sitompul lewat telepon, Hotman Paris berteriak, “Hei pelawak...!”

Dalam peristiwa oral yang mengalir begitu saja, orang tidak mempedulikan obyek yang diucapkan para tokoh masyarakat itu. Namun, apabila dikaji dalam keadaan tenang, baru tercerna bahwa pemain sinetron dan pelawak telah menjadi predikat olok-olok bagi orang-orang yang bergelut di bidang hukum dan politik. Tentu banyak yang percaya bahwa para tokoh tersebut tidak bermaksud melecehkan pemain sinetron atau pelawak. 

Namun, ketika semua dilontarkan secara spontan, tak sedikit yang berkeyakinan bahwa ternyata profesi seni itu diam-diam terpersepsikan sebagai khazanah ledekan di dasar hati dan pikiran. Apabila keyakinan terakhir ini menjadi kenyataan, dunia kesenian Indonesia layak untuk berduka. Lantaran, sinetron dan lawak adalah anak-anak kesenian yang sah.

Kedukaan itu berubah menjadi kejengkelan ketika masyarakat nonkesenian Indonesia berucap ihwal kasta kesenian di tengah alam sosial. Ketika pemain sinetron Rieke Diah Pitaloka terpilih menjadi anggota DPR, sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa Rieke naik kelas. Begitu juga ketika Rano Karno jadi Wakil Gubernur Banten. Dan ketika Dedi “Miing” Gumelar terpilih lagi menjadi anggota DPR, ada surat kabar yang menyebutkan bahwa Miing naik kelas lagi. Dengan begitu, teman mainnya dalam grup lawak Bagito, Didin dan Unang, “lagi-lagi tinggal kelas.”

Dianggap Sepele

Melihat realitas itu, tampak bahwa di Indonesia kesenian itu dianggap sepele. Tidak seperti politik atau hukum yang konon hebat. Itu sebabnya, anggaran yang diberikan oleh pemerintah untuk kesenian termasuk sangat kecil dibanding anggaran untuk sektor-sektor lain. Apalagi ketika diingat bahwa yang dijatahkan itu adalah bagian dari anggaran kebudayaan. Sementara itu, kebudayaan, yang merupakan ibu kandung dari kesenian, hanya merupakan pelengkap dari departemen lain: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu juga kesenian, yang menempel di Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Padahal kesenian adalah sosok aksentuatif dalam perikehidupan sebuah bangsa. Karena seni lahir dari “sang keahlian”, selaras dengan asal mula pemahaman seni yang berasal dari kata Latin ars, yang artinya mumpuni, jago (dalam pemikiran estetik dan mempresentasikan ide estetik). Dan keahlian dalam menghasilkan sesuatu yang estetik itu memunculkan suasana sukacita. Rasa yang amat sangat dibutuhkan oleh segenap manusia, termasuk ahli hukum dan politikus.

Sepanjang sejarah, sangat sedikit manusia di bumi ini yang ditakdirkan menjadi penggagas seni serta pencipta seni. Sangat sedikit manusia yang berhasil tampil sebagai seniman, figur yang mampu menciptakan rasa senang dalam kehidupan. Itu sebabnya, penulis Inggris ternama Virginia Woolf sampai berkata, “ There are no teachers, saints, prophets, good people, but the artists.” Tidak ada guru, santo, nabi, orang baik, yang ada hanyalah seniman.

Minimnya pemahaman sebagian bangsa Indonesia nonkesenian atas seni menyebabkan predikat seniman serta hasil kesenian Indonesia sering dinistakan. Ingat contoh ini: pada September 2011 sejumlah patung kota di Purwakarta dibakar. Sikap tunaseni yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari vandalisme perusakan patung hiasan kota Nyoman Nuarta di Bekasi dan sebagainya.

Gemerlap Prestasinya

Di tengah penistaan dari segala sudut itu, apa boleh buat, kesenian Indonesia dengan tertatih berjalan sendiri. Dan alhamdulillah, dengan kaki yang lelah, kesenian Indonesia dapat melakukan tugasnya dengan bagus, dan bahkan sebagian istimewa. Reputasi yang diingat publik adalah seni pertunjukan, yang dalam 2011 sering menggoyang ketakjuban. 

Di antaranya adalah pergelaran sendratari Jawa klasik Matah Ati, opera Laskar Pelangi, drama Sie Djien Kwie Kena Fitnah, pergelaran Beta Cinta Indonesia, serta Opera Tan Malaka dan Karna. Juga Opera Lutung Kasarung. Kerja kompleks yang brilian dalam pementasan ini menerbitkan kepercayaan bahwa seni panggung Indonesia tidak lagi ala kadarnya. “Udeh dimodalin,” kata orang Betawi. Meski modal didapat dari saweran setengah mati oleh penyelenggara swasta.

Kesungguhan kerja ini memberi spirit positif dalam banyak aspek kepada berbagai konser musik Indonesia. Dari musik pop gaya Vina Panduwinata sampai yang semi-klasik dan klasik ala orkestra Addie M.S. atau Erwin Gutawa. Menarik dicatat, konser Ananda Sukarlan dan Avip Priatna dengan sejumlah penyanyi seriosa menumbuhkan rasa kangen penonton Indonesia.

Pada 2011 seni rupa Indonesia, terutama yang kontemporer, tumbuh dengan liar. Akibatnya, banyak karya buruk-rupa, yang pada ujungnya meremukkan citranya di tengah pergunjingan nilai dan pasar. Namun, di sela yang karut-marut itu muncul perupa-perupa bagus dengan karya yang mengusik ingatan. Nama Jompet Kuswidananto, Eko Nugroho, FX Harsono, dan Haris Purnomo adalah sebagian di antaranya. Kreativitas mereka pun menggugah minat promotor ternama luar negeri, seperti SH Contemporary (Shanghai), Saatchi Gallery (London), dan Louis Vuitton (Paris).

Di tengah sepinya prestasi besar sastra, muncul film-film bagus yang justru berangkat dari karya sastra. Film itu adalah Sang Penari (karya Ifa Isfansyah), yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hanny R. Saputra), yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Hamka. Dua film ini bersaing mutu dengan Catatan Harian Si Boy (Putrama Tuta) yang lancar dan wajar, The Raid (Gareth Evans) yang seru, ? (Hanung Bramantyo) yang menggetarkan, dan Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja) yang pilu. Film-film di atas, bersama setidaknya lima film lain, bolehlah meneduhkan hati pencinta film Indonesia yang selama ini diganggu ratusan hantu dan pocong yang berseliweran lewat cerita murahan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya punya hasrat memupuk kesenian agar tampil bak bunga besar bermekaran. Setidaknya sebagaimana ditunjukkan oleh antusiasme Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala menyambut Lomba Seni Pelajar se-Indonesia, yang pada 2011 sudah keenam kalinya diselenggarakan di Istana Kepresidenan. Namun, bukankah seni pelajar ini baru aktivitas di hulu, dan masih sangat jauh dari kreativitas bagian hilir?

Kesenian Indonesia telah memasuki 2012 dengan cahaya yang berpendar-pendar. Ada optimisme bahwa cahaya inilah yang bakal menyelamatkan Indonesia dari banjir bandang Naga Air, yang disebut-sebut sebagai “Tahun Kiamat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar