Kamis, 19 Januari 2012

BUMD Transjakarta, Mengapa Tidak


BUMD Transjakarta, Mengapa Tidak
Yoga Adiwinarto, INDONESIA COUNTRY DIRECTOR,
INSTITUTE FOR TRANSPORTATION & DEVELOPMENT POLICY
Sumber : KORAN TEMPO, 19 Januari 2012


Seperti yang telah diberitakan oleh beberapa media, Pemerintah Provinsi DKI berencana mengubah manajemen organisasi Transjakarta dari badan layanan umum (BLU) menjadi badan usaha milik daerah (BUMD). Banyak pihak yang menginterpretasikan bahwa ini adalah upaya membuat Transjakarta mengejar profit dan menomorduakan pelayanan, yang jelas saja langsung dibantah oleh gubernurnya sendiri, karena tujuan beliau mengubah organisasi Transjakarta dilakukan semata-mata demi membuat manajemen lebih efisien dan lebih baik (Tempo Interaktif, 28 Desember 2011). Namun manajemen efisien seperti apa yang dimaksud?

Apa pun alasan Gubernur, ada beberapa alasan untuk mendasari mengapa langkah mengubah Transjakarta menjadi BUMD merupakan langkah jitu. Pertama, BUMD memungkinkan bagi organisasi Transjakarta untuk bergerak memenuhi target melayani kebutuhan pengguna (costumer oriented), ketimbang target penyerapan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang selama ini menjadi penilaian standar instansi dan satuan kerja di pemerintahan. Sebagai contoh, pimpinan Transjakarta tidak pernah diberi penghargaan atas prestasi mereka berhasil mengangkut lebih dari 100 juta penumpang per tahun. Namun, jika anggaran dari APBD berhasil mereka realisasikan seluruhnya, mereka akan diacungi jempol, meskipun jumlah penumpang yang diangkut tidak banyak-banyak amat.

Dengan pola pikir seperti ini, seharusnya siapa pun yang bekerja menjadi pemimpin Transjakarta cukup nyaman karena mereka tidak pernah diberi target untuk mengangkut jumlah penumpang tertentu, sedangkan sebagian biaya produksi sudah ditalangi oleh subsidi dari APBD, dan sisanya ditutupi oleh penjualan tiket penumpang. Sehingga, jika estimasi jumlah penjualan tiket tidak sesuai dengan target, yang dapat dilakukan adalah menekan biaya produksi, yang artinya jumlah kilometer bus yang ditempuh oleh Transjakarta dapat dikurangi. Imbasnya dapat berakibat kepada makin lamanya waktu tunggu penumpang di halte, karena bus yang beroperasi tidak banyak.

Karena itu, diharapkan, dengan adanya BUMD, target manajemen harus menjadi jelas, yaitu bertambahnya jumlah penumpang yang menggunakan Transjakarta. Perkara biaya produksi rendah atau tinggi, selama jumlah penumpang dapat melebih target, tidak ada salahnya itu dianggap prestasi. Sebab, semakin banyak orang yang menggunakan Transjakarta, semakin berkurang kendaraan pribadi yang digunakan, dan semakin berkurang energi serta bahan bakar yang terbuang karena kemacetan mulai berkurang. Dan hasil terakhir itu, menurut saya, adalah hasil yang diinginkan oleh Gubernur, anggota DPRD, maupun kita sebagai pelaku transportasi sehari-hari.

Praktis vs Birokratis

Alasan kedua mengapa BUMD diyakini dapat meningkatkan pelayanan Transjakarta erat kaitannya dengan upaya memotong proses birokrasi panjang yang biasanya terdapat di organisasi pemerintah. Organisasi tempat saya bekerja, ITDP, banyak membantu Transjakarta untuk mengatasi hal-hal teknis, dari bagaimana cara mengatasi kepadatan yang ada di halte pada jam sibuk hingga bagaimana mengatasi permasalahan untuk menjadwalkan bus secara optimal dan terencana dengan baik.

Pada awalnya, tantangan yang saya pikir dirasa paling berat adalah aspek teknis. Namun, setelah melihat contoh dari berbagai sistem BRT di negara-negara lain di dunia, semua masalah teknis pasti sudah ada solusinya di negara lain, sehingga lama-kelamaan ada rasa percaya diri bahwa Transjakarta dapat menjadi salah satu world-class BRT di dunia. Lima tahun berjalan membantu Transjakarta, ternyata makin sering dijumpai kondisi halte dan juga ramp untuk menuju halte Transjakarta dari jembatan penyeberangan dengan kondisi bolong-bolong dan fasilitas ala kadarnya.

Terkadang, dengan “kreativitas” tinggi, staf Transjakarta melakukan penyulapan untuk menambal ramp yang bolong atau kaca halte yang pecah dengan plat seng maupun tripleks, meskipun saya lebih menyukai jika mereka tidak menutup kaca yang bolong karena saya jadi dapat merasakan angin semilir di halte. Ketika ditanyakan kepada mereka mengapa tidak diperbaiki, ternyata prosedur yang harus dilalui cukup panjang dan birokratis, dan dari gaya bicara staf-staf Transjakarta, terkesan bahwa mereka lebih nyaman menambal dengan seng atau tripleks secara darurat ketimbang harus menghadapi prosedur yang birokratis dan melelahkan tersebut, mulai dari inventarisasi kerusakan, perencanaan anggaran dan kegiatan, lelang untuk perbaikan, berkontrak dengan kontraktor, hingga akhirnya, setelah 2-3 bulan sejak kerusakan timbul, barulah dimulai perbaikan tersebut. Bandingkan dengan kecepatan waktu pengelola perbelanjaan untuk melakukan perbaikan di gedung yang dikelolanya, mungkin 2 minggu semua yang rusak sudah selesai diperbaiki, tanpa diperlukan mekanisme yang berbelit-belit tersebut.

Inovasi staf Transjakarta untuk melakukan perbaikan patut diberi apresiasi. Namun bukan salah staf jika, dengan sistem yang terlalu birokratis, motivasi menjadi turun dan lama-kelamaan staf menjadi apatis tanpa memikirkan pentingnya memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi. Jika untuk memperbaiki lubang di halte saja dapat menimbulkan sikap apatis, bagaimana caranya memulai perbaikan untuk mengatur penjadwalan 550 bus secara lebih optimal, yang mau tak mau diperlukan software mutakhir, yang bisa jadi lumayan mahal sehingga harus dilakukan tender terbuka. Jika untuk memperbaiki lubang halte saja perlu waktu lama untuk persiapannya, entah berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk dapat membeli suatu software.

Masih banyak lagi sebenarnya alasan yang dapat dijabarkan mengenai mengapa perubahan Transjakarta menjadi BUMD adalah hal yang tepat. Namun, dari dua alasan yang disebutkan di atas, dengan perubahan pola pikir organisasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna dengan mekanisme kerja yang lebih singkat, praktis, dan tidak birokratis, setidaknya kita dapat mengharapkan organisasi Transjakarta dapat bekerja lebih efisien, seperti yang Gubernur inginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar