Pandemi
COVID-19 dan Renungan Hari Merdeka Mahyudin ; Wakil Ketua DPD RI |
DETIKNEWS, 17
Agustus 2021
Hari ini,
tepat tujuh puluh enam tahun yang lalu para pendiri bangsa memproklamirkan
kemerdekaan dalam situasi yang penuh dengan keterbatasan, karena semangat
juang yang tak kenal lelah dan Ridha Allah SWT semua itu dapat terwujud.
Dengan usia yang tidak lagi terbilang muda itu, bangsa ini sudah seharusnya
mencurahkan energi dan pikiran untuk membangun semua aspek kehidupan,
mengejar ketertinggalan agar dapat berdiri dengan tegak sejajar dengan bangsa
lain dan tidak lagi berkutat pada persoalan-persoalan klasik yang seharusnya
sudah selesai sejak kemerdekaan itu dikumandangkan. Karena itu
pula sejak awal pemerintahannya, Presiden Jokowi sangat fokus memperbaiki dan
membangun infrastruktur jalan dan jembatan, membangun bandara dan pelabuhan
untuk membuka daerah terisolir dan mempercepat arus barang dan jasa,
mempermudah investasi untuk membuka lapangan kerja, membangun bendungan dan
irigasi serta mencetak areal pertanian untuk meningkatkan produksi pangan,
meningkatkan kualitas SDM dengan mendorong riset yang mampu memberi nilai
tambah serta mengeluarkan kebijakan BBM satu harga dari sabang sampai Merauke
demi terwujudnya rasa keadilan. Namun di
penghujung tahun 2019, di tengah pemerintah telah merampungkan program untuk
pembangunan tahun berikutnya, tersiar kabar nun jauh dari negeri tirai bambu,
tepatnya di Wuhan yang merupakan ibu kota provinsi Hubei telah lahir makhluk
baru yang dinamai Corona virus (Covid-19). Kabar itu begitu menghentak bagai
petir di siang bolong, Covid-19 dengan cepat menyebar ke seantero negeri
(Pandemi Covid-19), hingga pada manusia sesukanya sebagai inang untuk tumbuh
dan berkembang. Tidak mengenal suku/ras, warna kulit, pejabat ataupun
masyarakat biasa, kaya ataupun miskin dan tidak peduli dengan penganut agama
apa pun. Covid-19 dalam
sekejap menjadi monster yang menakutkan, menjelma menjadi mesin pembunuh yang
paling efektif dan mematikan dalam sejarah peradaban umat manusia. Data
Worldometers per tanggal 10 Agustus 2021 menunjukkan jumlah korban kematian
akibat pandemi Covid-19 mencapai 4.181.915 orang. Hebatnya lagi Covid-19
dapat dengan cepat bermutasi dalam berbagai varian dengan derajat inveksius
yang lebih tinggi. Kehadiran
Covid-19 memberi dampak yang luas dan massif dengan meluluhlantahkan
sendi-sendi kehidupan global. Parahnya lagi, di tengah invitrasi Covid-19
tidak ada satu negara pun yang punya pengalaman mengatasinya, masing-masing
negara hanya dapat mengeluarkan kebijakan preventif untuk menghambat laju
penularan sesuai dengan eskalasi dengan merujuk pada standar protokol
kesehatan yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO), sampai hari
ini belum ada satupun ahli Epidemiologi yang dapat memastikan kapan teror ini
akan berakhir. Adanya kita dianjurkan dapat hidup berdampingan tapi tentu
saja tidak dengan damai, karena begitu kita lengah semuanya akan selesai. Di awal tahun
2020, Covid-19 terdeteksi pertama kali menginjakkan kaki di bumi pertiwi,
pemerintah dengan sigap hadir memberikan keyakinan dan memastikan negara siap
menghadapinya dengan mengkategorikannya sebagai bencana non alam, karena
memang demikianlah seharusnya negara harus memberi perlindungan, harapan dan
rasa aman pada warga negaranya. Dalam perjalanan penanganan pandemi Covid-19
berbagai kebijakan telah dikeluarkan mulai dari pencegahan berupa physical
distancing, social distancing, 3 M (memakai maker, mencuci tangan dan menjaga
jarak), pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan,
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) hingga pengadaan vaksin
untuk mempercepat vaksinasi demi terwujudnya herd immunity. Di bidang ekonomi
dan perlindungan sosial kebijakan hadir dalam bentuk program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN) dengan berbagai variannya. Upaya
pemerintah menangani pandemi Covid-19 juga dipersenjatai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 yang memberi ruang bagi pemerintah untuk
dapat mengubah postur APBN melalui refocusing anggaran untuk mendukung
kebijakan yang dapat dengan cepat berganti dan sangat dinamis sesuai dengan
kondisi dan eskalasi penyebaran Covid-19, perlu dicatat pilihan-pilihan
kebijakan yang diambil itu demikianlah sulit bagai menelan pil kina yang
sungguh pahit. Di tengah
kerja keras pemerintah mencegah dan menghambat laju penyebaran Covid-19
dengan memobilisasi segala potensi yang dimiliki,tidak luput dari kritikan,
masukan, saran dan pendapat dari berbagai kalangan yang saling bersahutan
bagai katak di musim hujan. Tentunya semua itu perlu didengar dan
diperhatikan sebagai masukan untuk perbaikan kebijakan selanjutnya. Namun ada
juga sebagian dari kita memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, mengais
rezeki dengan menimbun dan memperdagangkan berbagai kebutuhan penanganan
Covid-19. Kita menjadi
geram karena mendapati penjualan masker dengan harga melangit, penjualan
tabung oksigen dengan harga membumbung, penjualan obat penangkal Covid-19
dengan harga yang tak terkira dan mengutak atik harga peti mati untuk
pemulasaraan jenazah korban Covid-19. Kita pun menjadi marah karena mendapati
kabar dan berita berseliweran dijagat maya yang berisi hasutan
ketidakpercayaan penangan Covid-19, yang membuat masyarakat semakin ragu dan
bertambah bingung. Hati kita
miris mendapati pejabat negara setingkat menteri harus duduk di kursi
pesakitan sebagai terdakwa atas di dugaan korupsi bantuan sosial untuk si
miskin. Hati kita bagai tersayat sembilu mendapati seorang bupati harus
berurusan dengan penegak hukum karena diduga menilap anggaran pengadaan APD
yang diperuntukkan bagi tenaga kesehatan di daerahnya. Sungguh mereka bagai
menari di atas penderitaan si miskin dan papah yang bertarung nyawa demi
menyambung hidup dalam tekanan dan himpitan. Di titik
inilah kenangan dan kisah heroik tujuh puluh enam tahun yang lalu itu kembali
hadir, bangsa ini pernah terperangkap dalam kubangan penjajahan sedemikian
lama. Kesadaran akan senasib sepenanggungan memberi energi besar lahirnya
jiwa patriot, kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi senjata ampuh dalam
memobilisasi segenap potensi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
itu. Gotong royong
itu, lahir dari rahim ibu pertiwi tumbuh dan berkembang secara alamiah dalam
masyarakat, gotong royong itu intisarinya Pancasila yang seringkali kita
ucapkan dan perdengarkan sebagai warisan luhur bangsa ini dan gotong royong
itu yang oleh Bung Karno disebut sebagai "Pembantingan tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjoangan bantu binantu bersama, amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, holopis kuntul
baris buat kepentingan bersama!" Itulah gotong royong. Masihkah ada
gotong royong itu? karena seharusnya dalam perkara inilah kita saling
menguatkan, bergandengan tangan, melangkah bersama, berat sama dipikul dan
ringan sama dijinjing. Dalam urusan ini pula seharusnya rasa empati dan kasih
pada sesama dipertaruhkan. Momentum ini mengunggah pribadi kita masihkah
gotong royong bersemayam dalam sanubari ataukah hanya tinggal sebagai cerita
penghantar tidur anak cucu kita kelak di hari nanti Dirgahayu
Indonesiaku, jayalah bangsaku. Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5685275/pandemi-covid-19-dan-renungan-hari-merdeka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar