Mimpi
tentang Indonesia Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 14 Agustus 2021
Bulan
Juni 2021, saya kembali bertemu dengan aktivis muda Muhammadiyah, Sukidi. Pertemuan berlangsung
di Bentara Budaya Jakarta. Di ruang
terbuka, kami minum kopi. Saya menawari makan bakmi Jawa, tetapi Sukidi
aktivis asal Desa Tanon Sragen itu, sudah makan siang. Kami bicara
ngalor-ngidul soal situasi negeri ini. Setelah
sempat ngobrol melalui kanal Youtube ”Back to Bdm” di harian Kompas, beberapa
waktu lalu, Sukidi, doktor lulusan Harvard University, itu mengungkapkan
keprihatinannya soal beberapa nilai-nilai kebajikan yang kian tergerus di
arus deras tajamnya polarisasi dan pragmatisme politik. ”Mimpi soal Indonesia masa depan sebenarnya
terus dibangun,” ujar pengagum Soekarno dan Barack Obama. The Indonesian dream!
Gagasan Sukidi itu sebenarnya
menemukan momentumnya jelang peringatan 17 Agustus 1945, Selasa pekan
depan. Membangun mimpi soal Indonesia, juga menemukan konteks ketika agenda
Indonesia 2045 mulai ramai dipercakapkan. Tiga buku yang disusun Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhanas), Center Strategic for International Studies
(CSIS) dan harian Kompas membuka diskursus soal Indonesia Menuju 2045. Buku
itu perlu diperkaya agar bangsa ini
punya imajinasi soal seratus tahun republik, 17 Agustus 2045 yang tinggal 24
tahun lagi. Mimpi
atau imajinasi Indonesia 2045 layak dibangun di tengah cara pandang
"myopik" politisi yang hanya memandang sirkulasi kekuasaan 2024.
Itu mengingatkan apa yang dikatakan James Clarke, intelektual Amerika
Serikat, yang mengatakan politisi
memikirkan kapan pemilihan saat negarawan memikirkan masa depan bangsanya.
Politik baliho di tengah pandemik adalah salah satu contohnya. Menjelang
kemerdekaan, Agustus 2021 Sukidi
mengirim pesan lagi kepada saya. Dia merumuskan mimpinya tentang Indonesia. Impian itu mencakup impian kebhinekaan (dream of diversity), impian ketuhanan
(dream of divinity), impian gotong royong
(dream of togetherness, cooperation and
mutual assistance), impian
kebebasan (dream of freedom), impian kemanusiaan (dream of humanity), impian persatuan (dream of unity), impian keadilan (dream of justice), impian
kesetaraan (dream of equality),
impian kesejahteraan (dream of welfare)
dan impian demokrasi (dream of
democracy). Impian
itu bersifat kualitatif. Berbeda dengan prediksi sejumlah lembaga yang
menyebutkan pada 2045 Indonesia akan menjadi negara kelima terbesar di dunia,
dengan nominal PDB 9.100 miliar dollar AS, PDB per kapita 30.000 dollar AS
per tahun, penduduk 300 juta
jiwa, dengan penduduk kelas menengah
82 persen dan usia produktif 52 persen dari populasi. Sangat kuantitatif. Mimpi
soal Indonesia yang tata tentrem kerto rahardjo, gemah ripah loh jinawi,
sebuah daerah yang tertib, tenteram dan sejahtera, memang harus terus
diaktualisasi, justru di era serba internet saat ini. Karena diyakini, era
serba internat bisa menjadi faktor integrasi dan bisa mempercepat mewujudkan
mimpi-mimpi itu. Bangsa
yang begitu majemuk ini rasanya perlu
menemukan kembali faktor pemersatu. Pada masa penjajahan, impian akan
kemerdekaan boleh menjadi faktor pemersatu bangsa Indonesia untuk mengusir
penjajahan. Bayangan Indonesia meraih kemerdekaan menjadi faktor pendorong
bersatunya semua kekuatan bangsa untuk menggapai kemerdekaan. Kini, setelah
kemerdekaan diraih 76 tahun lalu, imajinasi Indonesia perlu terus
dikumandangkan. Mimpi
soal Indonesia yang dirumuskan Sukidi mengingatkan saya akan plesetan Sumpah
Pemuda yang ramai diteriakkan dan jadi penyemangat aksi mahasiswa melawan
Orde Baru. Afnan Malay, mahasiswa Universitas Gadjah Mada angkatan 1984,
mengubah sumpah dengan roh baru. Ia
merumuskan sumpah mahasiswa Indonesia yang berbunyi, ”Kami Mahasiswa
Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan, berbangsa
satu, bangsa yang gandrung akan keadilan, berbahasa satu, bahasa tanpa
kebohongan.” Kini,
Orde Baru telah berlalu 23 tahun lalu. Namun, rasanya, perilaku politik saat
ini, belum sepenuhnya berubah. Karena
itu mimpi soal Indonesia perlu terus diperkaya agar bangsa ini punya mimpi
bersama, dan bergerak dengan satu tujuan arah. Sebuah mimpi tentang Indonesia
yang digali dari bumi pertiwi karena sebuah bangsa terbentuk karena aspek
historis. Reformulasi
mimpi Indonesia oleh Sukidi perlu didialogkan, diperkaya dengan realitas
historis bangsa ini agar ada relevansi sejarah masa lalu, masa kini, dan masa
depan. Seperti dikutip dalam buku Lemhannas Indonesia Menuju 2045 halaman 17,
sejarah dapat menginspirasi tumbuhnya nasionalisme, kebanggaaan nasional,
patriotisme dan kecintaan pada Tanah Air. Ada bahaya mengintai bila suatu
bangsa tercerabut dari akar sejarahnya. Pertanyaan
dialektis yang pantas diajukan, apakah mimpi soal keadilan dan kemanusiaan
bisa dibangun jika sejarah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tak pernah
bisa diselesaikan. Kebenaran tak pernah bisa diungkap dan keadilan tak pernah
diberikan. Apakah
mimpi soal negara kesejahteraan bisa segera mewujud, ketika praktik korupsi
terus saja merajalela dan menjadi penyakit endemi bangsa ini sementara tata kelola pemerintahan kadang diabaikan
untuk mengejar tujuan. Mimpi-mimpi soal persatuan, kemajemukan, kesetaraan,
kebebasan, ketuhanan adalah iktiar untuk membangun manusia Indonesia.
Membangun jiwa dan raga menjadi penting untuk mewujudkan mimpi Indonesia
Menuju 2045. Seperti
syair lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Supratman yang dinyanyikan
tiap perayaan 17 Agustus.... ”...
bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya untuk
Indonesia Raya..." ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar