Merawat
Moral Sosial Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI);
Mengajar di beberapa universitas di tanah air |
KOMPAS, 14 Agustus 2021
Apakah
postulat moral sesuatu yang melekat inheren dalam otak manusia? Ke mana
orientasi tindakan moral individu dalam ruang sosial berbangsa dan bernegara?
Haruskah praksis politik memus- nahkan praksis moral? Di
tengah kerja keras pemerintah dan masyarakat melawan wabah Covid-19 yang terus
bermutasi, muncul politisi mengusulkan pendirian “rumah sakit khusus para
pejabat”. Ada lagi mafia menimbun obat. Muncul
pula oknum dokter yang menuding virus korona sebuah ilusi. Segelintir yang
lain berteriak dari mimbar agama menuding pendataan vaksinasi berbasis
barcode program satanik, dalam konteks “666” atau kode kiamat. Gayung
bersambut, dari mimbar sebelah muncul hoaks yang menguak tuduhan minyak babi
dalam vaksin tertentu. Dilema moral Moralitas,
sebagai kode nilai yang menuntun pilihan dan tindakan manusia, mengundang
perdebatan ilmiah, baik dalam filsafat maupun dalam psikologi. Ada konsensus
soal proses moral dalam dua disiplin tersebut bahwa diferensiasi proses moral
dalam diri manusia terbelah dua: (a) proses rasional dan (b) proses
emosional. Namun, bagaimana interaksi keduanya, keduanya belum menemukan
titik temu. Proses
moral dalam otak manusia adalah proses kompleks yang melibatkan sirkuit saraf
yang pelik. Apa yang disebut moral brain, otak moral, oleh ahli neuroanatomi
merupakan bukti empirik bahwa pertimbangan moral melekat inheren dalam
keseluruhan struktur otak manusia, baik dalam lobus frontal, lobus parietal,
lobus temporal, maupun dalam lobus limbik (Pascual, Rodrigues, &
Gallardo-Pujol, 2013). Rosaline
Rumaseuw dari Partai Amanat Nasional (PAN) adalah representasi dari segmen
pejabat publik yang menganut utilitarianisme dalam kekuasaan. Bahwa, meski
jumlahnya segelintir, para pejabat bekerja (kalau betul bekerja!) untuk keseluruhan
rakyat. Lantas, derajat kebergunaan dari keberadaan mereka mendasari kenapa
pejabat perlu dapat perlakuan istimewa. Apakah dalil moral macam ini
betul-betul bermoral? Dalam
studi kontemporer soal dilema moral, dikenal yang namanya “masalah troli”
(the trolley problem) dan “dilema jembatan” (the footbridge dilemma)
(Navarrete et al, 2012; Nakamura, 2012; Thomson, 1985). Ada troli sedang
bergerak. Di depannya ada rel bercabang. Kalau troli berjalan lurus, lima
orang yang terbaring di atas rel pasti mati. Kalau
troli menghindar ke trek lain, ada satu orang yang terbaring di sana akan
terlindas. Pada saat yang sama, di atas jembatan, ada satu orang gendut yang
kalau didorong jatuh, ia bisa menghentikan troli (sehingga lima dan satu yang
lain selamat), tetapi ia pasti mati. Setiap pilihan dalam situasi ini
mengandung perdebatan moral serius. Para
pejabat hakikatnya pelayan—setidaknya menurut konsepsi servant leardership
(Northhouse, 2013). Mereka dipilih bukan untuk diistimewakan, melainkan
mengorbankan diri demi keselamatan orang banyak. Kalau semua pejabat serentak
mati, apakah dengan sendirinya seluruh rakyat ikut mati? Demokrasi
berbasis aturan main. Siapapun dan kapanpun bisa mengisi ruang kekuasaan
untuk memastikan mesin bernama “negara” itu tetap berfungsi. Moral individu vs moral sosial Realitas
individu selalu berdampak pada realitas sosial. Lois Owen, dokter yang
menyatakan Covid-19 ilusi, telah ditangkap aparat kepolisian dan dikenai
pasal UU Wabah Penyakit Menular. Posisi berdiri personal Owen sesuatu yang
sah, selama itu bertahan sebagai sikap individu. Saat ia melepaskan posisi
pribadi itu ke ruang sosial, serentak pertimbangan itu berinteraksi dengan
beragam pertimbangan individu lain. Maka,
posisi moral individu dengan sendirinya memengaruhi ruang moral sosial. Di
titik itulah, ia harus dimintai pertanggungjawaban, baik moral maupun hukum —
termasuk siapapun yang mengganggu stabilitas persepsi publik dan kerja keras
pemerintah dalam mengatasi pandemi. Super-ego,
sebagai salah satu agensi kepribadian manusia, tugasnya untuk menata hati
nurani supaya seluruh tindakan manusia tak didasarkan pada pertimbangan nafsu
(id) dan kalkulasi rasional (ego) semata. Orang bisa saja menyangkal keadaan
sebagai bentuk pertahanan diri, sebagaimana dijelaskan Anna Freud (1968),
putri bungsu psikoanalis Sigmund Freud (1856-1939). Di tengah pandemi ini,
pilihan pribadi harus selalu melibatkan pertimbangan moral sosial supaya
sikap pribadi tak merusak sikap sosial masyarakat. Suatu
hari, seorang dokter muda dibentak oleh istri seorang bupati. Ia bahkan
diancam dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hanya karena dokter
menghentikan mobil istri pejabat yang memasuki area tugasnya. Dokter malang
itu hanya menjalankan tugasnya terkait protokol kesehatan (ukur suhu tubuh).
Ia menelepon saya, mengaku ketakutan saat dibentak istri sang bupati. Ini
kisah nyata di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Moralitas
dasar tak membenarkan tindakan keluarga pejabat itu. Sebaliknya, ia
diwajibkan oleh posisi sosial suaminya untuk menunjukkan teladan sosial.
Memperlihatkan respek kepada tenaga kesehatan dan aparat keamanan dalam
situasi pandemi ini adalah bentuk dukungan etis yang berharga. Kita lihat,
ada pula video beredar di media sosial. Seorang wakil rakyat (DPR) membentak
personel Kepolisian gegara diminta menunjukkan kartu vaksin. Drama macam ini
mensinyalir ketidakmatangan moral dalam berdemokrasi. Praksis politik vs praksis moral Tak
hanya moral pribadi, moral politik pun fundamental. Aksi protes belakangan di
sejumlah tempat yang menolak PPKM Darurat menabrak kewarasan sosial. Orang
bingung dan bertanya-tanya ada udang apa di balik batu. Spekulasi ringan
mengarah pada hipotesis adanya rekayasa politik untuk menggerus stabilitas
negara. Di
Malaysia, hal itu sudah terjadi cukup lama. Perdana Menteri Muhyiddin didesak
mundur oleh partai terkuat UMNO karena dinilai gagal menangani pandemi.
Gejala politik kawasan merasuki sebagian kelompok di Tanah Air yang konsisten
berteriak menuding pemerintah Indonesia gagal. Pandemi
bukan rekayasa rezim. Ini tragedi kemanusiaan global. Kompleksitas sosial
yang muncul karena wabah ini seharusnya mendorong kristalisasi empati dan
solidaritas yang menjadi esensi dari kemanusiaan kita sebagai zoon politicon,
makhluk sosial—istilah Aristoteles untuk melunakkan makna aslinya “hewan
bermasyarakat”! Tentu
kaidah demokrasi tak melarang orang bersuara di situasi apapun. Namun,
praksis politik tak boleh memusnahkan praksis moral. Menabur provokasi dan
melancarkan agitasi di ruang publik untuk melawan kerja keras pemerintah
melawan pandemi adalah aktivitas pragmatis yang mencungkil esensi moral dari
denotasi politik an sich. Makna
esensial dari postulat “makhluk sosial” adalah manusia bertindak dalam
kerangka dan dengan mempertimbangkan kemaslahatan orang lain dalam
masyarakat. Implikasinya, pandemi mengundang kita untuk kembali pada hakikat
kemanusiaan dan berjibaku saling menolong, bukan malah menabur nila dalam
sebelanga susu. Refleksi Untuk
itu, sejumlah refleksi perlu dipertimbangkan. Pertama, di tengah pandemi,
tiap kita dituntut merevitalisasi roh kepedulian dalam diri, merangsang
bagian otak yang menggerakkan sense of morality supaya terbangun solidaritas
sosial. Sebagaimana suara orang kaya seharga dengan suara orang miskin di bilik
pemilu, demikian pula bobot kepedulian kita di tengah pandemi. Kepedulian
sosial adalah jalan tunggal untuk menemukan kembali hakikat kemanusiaan kita. Kedua,
perlu ada kesadaran kelas elite untuk, dengan motivasi etis yang kuat,
merobohkan sekat antarkelas. Polemik rumah sakit khusus pejabat atau vaksin
berbayar mesti dihentikan segera. Ketiga,
paradigma konvensional tentang relasi negara-masyarakat yang identik dengan
power relationship, relasi kekuasan, perlu diganti dengan paradigma
social-power relationship dengan optimalisasi peran sosial negara di tengah
masyarakat. Sederhananya, negara perlu memainkan peran aktivisme sosial yang
selama ini dikenal sebagai aktivitas lembaga swadaya masyarakat. Aksi
Presiden Jokowi membagi sembako atau vaksinasi door to door yang dilakukan
Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan perlu ditiru agensi negara yang
lain. Mengelola negara hari ini harus keluar dari pakem lama supaya
keselamatan rakyat terjamin. Poinnya,
kita dituntut berpikir melampaui pandemi supaya semua bisa menjadi agensi
pengharapan yang menabur anima optimisme bahwa Indonesia adalah bangsa besar
yang harus tetap dan terus bergerak maju. Pandemi hanyalah tantangan
temporal. Indonesia harus berdiri kokoh selamanya. Untuk itu, semua kita
dituntut berjiwa besar untuk tetap berpikir dan bertindak melampaui keresahan
situasional di tengah pandemi saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar