Minggu, 08 Agustus 2021

 

Ekonomi Inklusif Pesantren

Ahmad Sahidah ;  Kepala Staf Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Jawa Timur

REPUBLIKA, 6 Agustus 2021

 

 

                                                           

Dalam sebuah pengukuhan pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren) Wilayah Jawa Timur (5/5), Kiai Hasib Wahab sebagai ketua umum menegaskan, Hebitren adalah persatuan pesantren yang tidak dibatasi aliran mazhab dan pemikiran.

 

Mengingat organisasi berskala nasional, kehadiran pondok Muhammadiyah dan Hidayatullah adalah penyangga yang akan kian mengukuhkan Hebitren. Hebitren adalah wadah kemandirian pesantren demi percepatan ekonomi berbagai unit usaha di pondok.

 

Tentu, ini tak semata-mata pengumpulan keuntungan, tapi juga peningkatan kemampuan pondok mengelola aset, jaringan, dan potensi usaha mikro warga sekitar. Wadah ini lebih luwes daripada Himpunan Pengusaha Nahdliyyin (HPN) yang bergerak di arena sama.

 

Bahkan, MUI yang selama ini dipandang sebagai institusi fatwa juga membentuk Komite Pemberdayaan Ekonomi Umat. Komisi ini berusaha menjadikan halal bukan hanya stempel sertifikasi, melainkan juga nilai tambah agar usaha ekonomi menjadi bagian dari ibadah.

Karena itu, berjamaah tidak hanya di masjid, tetapi juga 98 persen peternak sapi kecil yang belum menyatukan diri agar bekerja sama, sebagai satu kekuatan yang saling berjejaring.

 

Potensi

 

Harus diakui, kini hubungan pesantren dengan pemerintah begitu dekat. Sebagai pengusung ekonomi syariah, pesantren mendapatkan dukungan banyak pihak. Namun, sebesar apa pun sokongan, kerja ekonomi modern menuntut profesionalisme dan manajemen prima.

 

Selain itu, dua institusi memberikan perhatian pada penguatan ekonomi Islam, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Keduanya secara berurutan dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir.

 

Belum lagi, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo juga menjadi bagian dari orkestrasi pengembangan ekonomi keumatan. Secara struktural, dorongan menguatkan ekonomi berbasis nilai agama sangat kokoh.

 

Secara kultural, keberadaan 31.383 pesantren secara ideal penopang teologis, ideologis, dan praktik ekonomi syariah yang selama ini dipandang sebagai institusi pendidikan semata-mata.

 

Padahal, sepanjang sejarahnya, banyak pondok berdiri tak hanya atas dasar kehendak pengembangan ilmu keagamaan, tapi juga pemberdayaan warga sekitar.

 

Kini yang terakhir, makin berkembang seiring kesadaran bahwa perubahan masyarakat sejalan dengan peningkatan pendapatan dan akses ekonomi. Dengan jumlah santri 4,29 juta, potensi pasar dan pelaku usaha ini begitu besar jika dikelola dengan baik.

 

Untuk itu, ekosistem perlu dibangun secara terukur. Bila tidak, potensi itu disergap pemodal besar. Belum lagi, tantangan internal terkait pola kepemimpinan pondok yang hierarkis.

 

Akar masalah

 

Banyak pesantren belum sepenuhnya di bawah payung yang sama untuk menaungi kegiatan ekonomi. Bahkan, banyak pondok yang berada di bawah Nahdlatul Ulama memilih membangun bisnis hilir, sehingga mereka menjadi kepanjangan industri besar.

 

Usaha mengembangkan UMKM masih menjadi retorika dan catatan di atas kertas. Kisah sukses Pondok Sidogiri mengelola koperasi masih terbatas di wilayah Jawa Timur dan belum merupakan bagian jaringan lebih besar.

 

Kalau kita lihat, banyak minimarket dikelola pesantren menjual produk pabrik besar atau perusahaan multinasional. Kehadirannya tak jauh berbeda dengan minimarket lain.

 

Dalam diskusi dengan aktivis PMII, seorang mahasiswa menyebut kehadiran usaha ini justru mematikan toko warga sekitar.

 

Kritik ini bisa diletakkan dalam konteks lebih luas, bagaimana kitab kuning sebagai basis pengetahuan tidak dilihat sebagai teks keagamaan yang hanya berurusan dengan ibadah, tetapi juga muamalah (ekonomi), siyasah (politik), dan shinaah (industri).

 

Dalam beberapa kesempatan mengikuti kegiatan penguatan ekonomi terkait pesantren, penulis masih melihat agenda itu masih berkutat pada acara seremonial.

 

Dalam sebuah kegiatan di Surabaya, sebuah organ yang diinisiasi barisan gus dan santri menggelar acara yang hendak memajukan niaga, hanya dua pondok menyodorkan produk yang secara langsung dihasilkan, seperti wajan dan kopi.

 

Setelah diperiksa, produk kopi itu tak dijual di minimarket yang dikelola banyak pondok. Kenyataan di atas menunjukkan, kalangan internal pondok belum menjadikan jaringan juga rasional, tetapi semata-mata rasional.

 

Tanpa dorongan pimpinan pondok, produk santri dan warga hanya bergaung di seminar, pameran, dan pengukuhan pengurus organisasi. Kehendak penguatan masih angan-angan, meski sejauh ini kegiatan ekonomi antarpondok nilai transaksinya cukup besar.

 

Pengertian inklusif di atas juga tak hanya memasukkan pondok beraliran pemahaman berbeda, tetapi juga institusi ekonomi lain berorientasi sama, yakni penguatan usaha kecil dan menengah.

 

Sementara itu, mata rantai nilai halal tidak berhenti pada kehalalan produk, tetapi juga kebaikan terkait kelestarian alam dan kesejahteraan manusia.

 

Jika kegiatan ekonomi pondok tak menimbang keberlangsungan ekosistem lingkungan dan menjangkau warga yang betul-betul memerlukan, ia menjadi bagian sistem ekonomi yang jauh lebih dominan, yaitu neoliberalisme.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar