Revolusi
Kultural Pancasila Lukas Luwarso ; Jurnalis Senior, Kolumnis |
WATYUTINK, 6 Agustus 2021
Pejabat dan pegawai Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) Indonesia diminta untuk membaca Pancasila setiap Rabu dan Jumat pukul
10.00 pagi. Permintaan ini tertuang dalam Surat Edaran “Pelaksanaan Apel Pagi
bagi Pegawai di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek),” pada 21 Juli 2021. Surat edaran untuk PTN itu adalah konsekuensi
surat “Imbauan Apel Pagi Pancasila” Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, dikeluarkan 14 Juni 2021. Apel Pagi Pancasila perlu
rutin diadakan untuk: (1) meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air,
(2) pengabdian pada negara dan rakyat, (3) ketaatan pada Pancasila dan UUD
45. Imbauan ini berlaku untuk seluruh Aparatur Sipil Negara, tak terkecuali
pegawai PTN. Ritual Apel Pagi Pancasila setiap Rabu dan
Jumat itu melengkapi kegiatan apel pagi setiap Senin yang sudah berjalan
bertahun-tahun. Ini masih belum cukup. Surat Edaran Kemendikbudristek juga
meminta pegawai PTN mendengarkan lagu Indonesia Raya setiap Selasa dan Kamis.
Praktis, Senin sampai Jumat, setiap pagi,
pegawai PTN akan sibuk dengan urusan upacara pagi melafalkan Pancasila atau
mendendangkan Indonesia Raya. Kegiatan simbolik “cinta bangsa” ini berlaku
saat bekerja di kantor atau di rumah, secara luring atau daring. Ada apa
dengan aparatur sipil negara (ASN), sehingga perlu diberi tambahan aktivitas
rutin pagi hari bernuansa ideologis seperti ini? Ritual Apel Pagi Pancasila, mau tak mau,
mengingatkan “revolusi kebudayaan” di China yang diberlakukan pada 1966 -1976
oleh Mao Zedong. Partai Komunis China saat itu merasa perlu membentengi
masyarakat dari ancaman elemen “borjuis-kapitalis” dan “tradisionalis”.
Antara lain dengan membaca dan menghafal tulisan dan pemikiran Mao Zedong. Revolusi Kebudayaan China digelar oleh
pemerintahan Partai Komunis China sebagai dalih atas kegagalan program “Great
Leap Forward”, lompatan besar ke depan. Program pembangunan lima tahunan
pemerintah China itu gagal, dan justru menjadi penyebab kelaparan masal
(dijuluki “Great Chinese Famine”). Tentu agak jauh menganalogikan kegiatan
Apel Pagi Pancasila Indonesia dengan Revolusi Kebudayaan China. Namun ada
sedikit kesamaannya, dalam hal terobsesi dengan upaya indoktrinasi ideologi
negara. Revolusi Kebudayaan China era 1960-an masih
bisa dipahami, karena saat itu perang ideologi memang nyata. Namun di abad-21
cukup menggelikan rasanya upaya program indoktriner terkait ideologi negara
masih diterapkan. Era konflik ideologi dianggap telah lewat. Khususnya
ideologi-ideologi “besar” yang pernah diyakini mampu membawa kemaslahatan
manusia. Daniel Bell, pada 1960, menyatakan ideologi
“telah mati” melalui buku The End of
Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Menurutnya
ideologi politik berbasis pemikiran era 1800-an, telah ketinggalan zaman,
kadaluarsa. Karena tata politik lebih didorong oleh kemajuan ilmu dan
teknologi, ketimbang mazhab berpikir ideologis yang kaku dan kerap
manipulatif. Retorika ideologi terbukti sering tak bermakna, selain hanya
menjadi slogan atau semboyan. Ideologi
terbukti mudah disalahgunakan untuk vested interest politik. Pemerintahan yang sibuk dengan urusan
“ideologi” lazimnya adalah negara otoriter. Indonesia pernah mengalami di era
Orde Baru Soeharto, melalui program penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Program karikatural penataran P4 terbukti hanya menjadi
dalih praktik korupsi, kolusi dan nepotisme Orba. Pancasila beberapa tahun terakhir terkesan
mulai menjadi semacam “obyek fetishisme”. Kecenderungan ini mulai muncul
ketika pemerintah mendirikan lembaga Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP - Pancasila) yang kemudian diperluas menjadi Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP). Pancasila dipuja, disanjung, dan digandrungi
secara berlebihan menjadi ornamen simbolik kebangsaan dan kenegaraan.
Pancasila menjadi obyek, seperti jimat atau mantra. Hafal sila-sila Pancasila dan mampu melafalkan
dengan baik adalah prasyarat penting bagi yang ingin disebut “Pancasilais.”
Sebagaimana jimat atau mantra, jika tidak dihafal dan dilafalkan dengan
benar, maka keampuhannya akan hilang. Negara Orde Baru adalah contoh
karikatural upaya menghayati mantra Pancasila secara banal, melalui ritual
indoktrinasi penataran P4 dan sejenisnya. Sikap superficial tidak terhindari jika
perspektif dalam memahami Pancasila bersifat fetishisme ideologi. Keyakinan
ideologi, sebagai konsep abstrak dan utopian, hanya relevan jika rumusannya
diterapkan dengan serius dalam sistem penyelenggaraan kenegaraan. Bukan cuma
dipakai sekadar sebagai mantra, atau digembar-gemborkan dalam pidato dan
sambutan. Termasuk ide jenius membuat Apel Pagi sebagai ritual kegiatan pegawai negeri. Upaya internalisasi ideologi Pancasila yang
bersifat doktriner, sebagai program untuk mem-Pancasilakan rakyat (atau
pegawai) akan selalu terlihat karikatural. Negara, cukup memastikan Pancasila
benar-benar menjadi pedoman bagi seluruh kebijakan undang-undang, peraturan,
dan praktik kepengelolaan negara yang dilaksanakan oleh eksekutif, yudikatif,
dan legislatif. Menjadikan ideologi Pancasila relevan dalam masyarakat
sebagai rujukan atau pedoman aparat negara dalam menyelesaikan persoalan
gesekan politik, sosial, ekonomi, atau keagamaan dalam masyarakat. Alih-alih menggelar apel pagi untuk ASN,
revolusi kultural Pancasila, jika memang dianggap perlu, perlu diterapkan
dalam policy pemerintah dan peraturan negara. Prioritas “apel pagi” perlu
ditujukan kepada para politikus dan pejabat pengambil keputusan. Karena
merekalah yang pertama-tema perlu lebih direvolusionerkan pemahaman dan
penghayatannya pada Pancasila. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar