Pandemi
Rasisme di Amerika Lukas Luwarso ; Hubert Humphrey Fellow, Universitas
Maryland, 2005-2006 |
KOMPAS,
05 April
2021
Kekerasan bermotif rasisme terhadap warga
keturunan Asia terus terjadi di Amerika setahun terakhir. Dua warga Indonesia
dimaki, ditampar, dan dipukul di satu stasiun kereta di Philadelphia pada 25
Maret 2021. Beberapa hari sebelumnya terjadi tragedi
penembakan brutal di tiga lokasi di Atlanta yang menewaskan delapan orang,
termasuk enam perempuan keturunan Asia. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa warga
keturunan Asia disinyalir akibat pandemi. Virus Covid-19 yang kerap diberi
label sebagai ”Chinese Virus” oleh Presiden Donald Trump memicu kebencian dan
aksi kekerasan terhadap warga Asia. Menurut NBC News, sejak pandemi lebih
dari 3.800 kasus kekerasan verbal dan fisik tercatat sampai pertengahan Maret
ini. Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengajak
warga melawan kebencian rasial saat berdialog dengan tokoh masyarakat
keturunan Asia. Ia menyatakan, rasisme telah ”meracuni” Amerika. Ia mendesak agar Kongres segera mengesahkan
rancangan undang-undang (RUU) antikejahatan rasial terkait virus korona. RUU
tersebut diusulkan awal bulan ini oleh dua anggota kongres keturunan Asia.
Apabila disahkan, RUU itu akan menjadi payung hukum bagi Departemen Kehakiman
AS untuk memerangi rasisme. Warga AS keturunan Asia, setahun terakhir,
telah mengorganisir diri dalam kelompok Against Asian American and Pacific
Islanders (AAPI) dan mengampanyekan ”Stop AAPI Hate”. Dibentuk pada Januari
2020, AAPI adalah respons atas meningkatnya kekerasan bermotif rasisme
terkait pandemi. AAPI mengadvokasi dan mendata kasus
kekerasan yang terjadi. Selain itu, warga keturunan Asia, dilaporkan Forbes,
banyak yang membeli senjata untuk berjaga-jaga membela diri melawan aksi
rasisme. Akar
kekerasan Amerika diguncang aksi unjuk rasa besar
terkait rasisme pada pertengahan 2020. Rangkaian aksi yang berlangsung
beberapa minggu di berbagai kota itu melibatkan 20 juta warga. Aksi dilakukan
sebagai solidaritas atas terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam, di
Minneapolis, Mei lalu. Pelaku pembunuhan adalah perwira polisi kulit putih. Mengusung slogan ”Black Lives Matter”, aksi
unjuk rasa itu menuntut reformasi di bidang hukum. Termasuk menuntut agar
anggaran kepolisian dipangkas dan dialihkan untuk program sosial. Slogan
#BlackLivesMatter sudah dikampanyekan sejak 2013 untuk merespons sejumlah
kematian warga kulit hitam akibat kebrutalan polisi. Akan tetapi, polisi
pelaku kekerasan sering divonis bebas. Kematian George Floyd mengeskalasi aksi
unjuk rasa menjadi kekerasan, perusakan, dan penjarahan di sejumlah kota
besar di Amerika. Eskalasi itu mengekspresikan kemarahan terhadap sikap rasis
aparat kepolisian saat terjadi pandemi. Ironisnya, kini sebagian warga AS
menumpahkan kejengkelan akibat pandemi dengan menyerang warga keturunan Asia. Rasisme selalu mewarnai berbagai aspek
perjalanan sejarah Amerika. Rasisme telah berurat berakar, bersifat sistemik,
bahkan pernah berkekuatan hukum. Sejumlah kebijakan dan aturan hukum yang
diskriminatif terhadap ras nonkulit putih pernah diberlakukan di AS. Warga kulit putih keturunan Eropa, spesifik
White Anglo Saxon Protestant (WASP), menikmati previlese sebagai warga kelas
satu. Mereka mendapat kemudahan dalam akses pendidikan, keimigrasian, dan
proses hukum. Sikap rasisme berakar dalam sejarah
terbentuknya negara Amerika. Rasialisme lahir dalam kandungan kolonialisme
dan kapitalisme. Dimulai dari penaklukan bangsa dan ras. Memperlakukan ras
yang ditaklukkan sebagai budak, dipaksa untuk menggerakkan mesin kapitalisme. Warga asli Amerika (native), Indian,
dibantai dan disingkirkan sejak kedatangan imigran Eropa pada abad ke-15.
Warga Afrika didatangkan dengan paksa, diperdagangkan sebagai budak. Hingga
saat ini, diskriminasi terhadap warga asli dan warga kulit hitam masih
terjadi. Sikap diskriminatif juga pernah menimpa imigran Eropa non-Protestan,
menimpa warga Yahudi, Hispanik, Irlandia, Polandia, dan Italia. UU Naturalisasi (Naturalization Act of
1790), yang mengatur pemberian kewarganegaraan bagi imigran, awalnya dibatasi
berlaku hanya untuk warga kulit putih. Warga Indian baru mendapatkan hak
kewarganegaraan secara resmi pada 1924, melalui Indian Citizenship Act of
1924. Imigran dari Asia sampai 1917 masih dilarang sesuai aturan yang dikenal
sebagai The Asiatic Barred Zone Act of 1917. Amerika
pascarasial Secara legal formal, sikap diskriminatif
Amerika terhadap warga nonkulit putih sudah dihapus pada pertengahan abad
ke-20. Namun, karakter rasis belum bisa lenyap dari kultur Amerika.
Ketidaksetaraan sosio-ekonomi terus terjadi dan politik rasial terus
berlangsung. Kesenjangan ekonomi antara warga Kaukasian dan non-Kaukasian
terus meningkat dalam soal pendapatan, kepemilikan rumah, dan pendidikan. Bahkan, figur sekaliber Barack Obama,
presiden berkulit hitam pertama Amerika, juga mengalami perundungan rasial
selama kepemimpinannya. Status kewarganegaraan, agama, dan tempat
kelahirannya dipersoalkan. Hinaan dan fitnah dikampanyekan terhadap
presiden—ironisnya—oleh Donald Trump, presiden yang menggantikannya. Terpilihnya Obama sebagai presiden dua
periode (2008-2016) sempat dianggap sebagai pertanda Amerika bakal lepas dari
kubangan rasisme. Amerika bisa menerima warga kulit berwarna sebagai
presiden. ”Amerika pascapartisan dan pascarasial,” dalam istilah Lou Dobbs,
penyiar media konservatif populer. Namun, fakta tidak mendukung optimisme
itu. Sejumlah survei mengindikasikan warga non-Kaukasian masih terus
mengalami diskriminasi, termasuk terus berulangnya insiden kekerasan polisi
terhadap warga kulit-berwarna. Terpilihnya presiden kulit hitam pertama,
Obama, justru memunculkan reaksi-rasis balik (racist backlash). Juga
menguatnya sentimen white supremacist. Era Obama justru menyediakan panggung
bagi munculnya Donald Trump sebagai politisi populis. Bermunculanlah para
pemandu sorak kalangan white nationalist dan alt-right. Mereka menggaungkan
politik identitas supremasi kulit putih dan berhasil memenangkan Trump
sebagai presiden. Satu periode menjadi presiden, Trump
”berhasil” membangkitkan sentimen rasial supremasi kulit putih di Amerika. Ia
mengeluarkan berbagai kebijakan anti-imigrasi, termasuk membangun dinding
perbatasan dengan Meksiko. Ia memuntahkan berbagai istilah diskriminatif
melalui Twitter, menyebut pandemi Covid-19 sebagai ”kungflu” atau ”virus
China”. Juga menyuarakan slogan ”send them back” yang ditujukan kepada
sejumlah anggota kongres kulit berwarna yang bukan terlahir di Amerika. Trump bukan politisi pertama yang memainkan
kartu rasisme. Politik Amerika selalu diwarnai isu rasial untuk upaya
menggaet suara. Richard Nixon memakai strategi ”waspada kekuatan kulit hitam”
(Southern Strategy) pada pemilihan presiden era 1960-an. Sentimen rasialis ia
pakai untuk menyebar rasa takut dan mendulang suara warga kulit putih di
wilayah selatan. Tugas berat Presiden Biden, empat tahu ke
depan, adalah melawan sikap rasisme. Kekerasan rasial bakal meningkat seiring
dengan memburuknya kondisi ekonomi dan sosial karena pandemi. Pasti tidak
mudah untuk menegakkan prinsip kesetaraan, keadilan, dan demokrasi di negara
yang selalu didera problem rasialisme dan diskriminasi. Sekalipun prinsip itu
jelas tertuang dalam konstitusi Amerika. Saat berkampanye untuk pemilihan presiden,
Biden menyuarakan slogan ”Bertarung untuk Jiwa Bangsa” (Battle for the soul
of the nation). Dan, ia memenangi pertarungan babak pertama, terpilih menjadi
presiden. Menggusur demagog Trump yang rasis. Namun, masih banyak pertarungan
yang perlu ia menangi. Biden perlu memperkuat legislasi untuk
melindungi kesetaraan dan keadilan bagi semua warga Amerika apa pun warna
kulitnya. Memastikan institusi negara dan aparat hukum bersikap imparsial dan
fair. Juga meyakinkan separuh warga pemilih Trump, mereka yang masih
terjangkiti virus rasisme. Biden perlu tegas dan serius membasmi pandemi
rasisme yang terus menginfeksi Amerika. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar