Selasa, 06 April 2021

 

Fiktif Positif dan Diskresi Pasca-UU Cipta Kerja

 Hendry Julian Noor ; Dosen Departemen HAN FH UGM

                                                         KOMPAS, 06 April 2021

 

 

                                                           

Pemerintah resmi mengeluarkan peraturan turunan UU Cipta Kerja. UU terdiri dari 45 peraturan pemerintah dan empat peraturan presiden. Namun, ada satu peraturan presiden krusial yang belum dikeluarkan, padahal Pasal 175 UU Cipta Kerja/CK, khususnya perubahan terhadap Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan/AP, juga mengamanahkan.

 

Perpres itu berfungsi mengatur mekanisme badan dan/atau pejabat pemerintahan yang tak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan lebih dari batas waktu yang disediakan, yang dianggap dikabulkan secara hukum.

 

Sedari awal, masalah yang hendak diselesaikan dengan UU CK adalah masalah ekonomi, khususnya investasi. Tanggung jawab utama pemerintah di sektor ekonomi adalah menyediakan infrastruktur untuk memajukan kehidupan ekonomi dan menegakkan hukum (Korten: 1997), termasuk ”hukum” yang baik dalam sektor ekonomi negara.

 

Dalam konteks administrasi pemerintahan, penting untuk membuat regulasi yang dapat mempermudah urusan investasi agar dapat dilakukan secara efektif dan efisien, tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan.

 

Terkait perubahan pasal di atas, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dicermati mendalam. Pertama, perihal batas waktu badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, yang sebelumnya paling lama 10 hari kerja menjadi lima hari kerja. Dari sisi pelayanan publik, semangat yang dibawa adalah agar pelayanan publik lebih cepat, efektif, dan efisien, termasuk birokrasi terkait investasi.

 

Dari Laporan Daya Saing Global 2017-2018, peringkat kedua hambatan investasi adalah birokrasi pemerintahan. Ini harus disederhanakan, tetapi dengan tetap memperhatikan sistem kerja yang akuntabel. Perubahan batas waktu itu menuntut administrasi negara untuk bekerja lebih cepat, tetapi harus tepat.

 

Kedua, perihal ”sikap diam” yang dalam hal ini adalah lewat dari batas waktu tersebut di atas, badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum (dalam doktrin dikenal dengan keputusan fiktif positif).

 

Potensi ”moral Hazard”

 

Jika awalnya harus lewat permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk bisa dikeluarkan keputusan dan/atau tindakan, kini bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum itu diatur dalam perpres.

 

Sekilas, hal ini seolah mendorong pelayanan publik menjadi lebih singkat dan cepat, karena tak harus melalui permohonan di PTUN. Namun, bukan tak mungkin terjadi apa yang dikhawatirkan, yakni bahwa ”sikap diam” tersebut ternyata telah disepakati oleh yang berwenang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan, dengan pemohon.

 

Untuk menyembunyikan moral hazard (apabila kemudian permohonan dikabulkan), badan dan/atau pejabat pemerintahan itu memilih bersikap diam karena telah diketahui pada akhirnya akan dianggap dikabulkan secara hukum. Artinya, ada kemungkinan terjadi kerja sama untuk melakukan kesepakatan yang koruptif antara pemohon dengan badan dan/atau pejabat pemerintahan.

 

Perlu diingat, salah satu sifat pelaku korupsi adalah menginginkan suatu keputusan tegas, tetapi mereka dapat memengaruhinya (Alatas: 1983). Hal ini bisa terjadi meski mungkin telah diantisipasi dengan diakuinya keputusan berbentuk elektronis (Pasal 38 UU AP) yang menjadikan administrasi negara tak memiliki alasan untuk tak melakukan pelayanan publik secara optimal meskipun dengan batas waktu terbatas demikian.

 

Pada dasarnya, pengaturan sebelumnya, di mana penerimaan permohonan fiktif positif adalah oleh PTUN, sudah baik. Mekanisme check and balances adalah sebuah keniscayaan untuk mengendalikan penyalahgunaan oleh pemerintah karena ”isi” pemerintah itu manusia juga, bukan malaikat (Madison: 1788).

 

Namun, sebagai konsekuensi asas lex dura sed tamen scripta (hukum itu kejam, tetapi begitulah bunyinya), yang bermakna selama menjadi hukum positif, maka hukum itu harus dilaksanakan. Itulah sebabnya, perpres itu menjadi krusial (untuk segera diterbitkan) dan harus memberikan pengaturan cermat dan berhati-hati untuk tidak memberikan celah yang justru bisa kontraproduktif.

 

Selain perihal fiktif positif, hal menarik lain dalam UU Cipta Kerja adalah perubahan pengaturan diskresi, yakni salah satu syarat ”tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dihapuskan. Hakikat diskresi adalah memang against the law sehingga pengaturan demikian dapat dikatakan ideal dengan doktrin diskresi.

 

Diskresi diterapkan untuk mencapai tujuan tertentu pada penyelenggaraan fungsi keadministrasian negara, dilandasi pertimbangan moral daripada hukum yang berlaku, sehingga ada alasan penting dan/atau yang dapat dibenarkan mengapa harus dilakukan (Sinaga: 2001). Perbuatan administrasi negara adalah mengutamakan tercapainya tujuan secara efektif (doelmatigheid) daripada hanya menuruti ketentuan hukum positif yang berlaku (Saputra: 1988).

 

Dalam welfare state, hal ini sejalan asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum yang merupakan solusi dari kelemahan dan/atau kekurangan yang dimiliki oleh asas legalitas dalam konteks hukum administrasi negara (pemerintah harus selalu bertindak sesuai peraturan perundang-undangan) sehingga pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan demi terwujudnya kepentingan umum (Ridwan: 2016).

 

Perlu ditegaskan, penekanan dilakukannya diskresi adalah penyelenggaraan kepentingan umum, bukan kepentingan kelompok/individu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar