Senin, 05 April 2021

 

Demokrasi Sungsang Aceh

 Teuku Kemal Fasya ; Dosen antropologi politik Universitas Malikussaleh

                                                         KOMPAS, 05 April 2021

 

 

                                                           

Perjalanan demokrasi di Indonesia yang sudah berlangsung sejak era pascareformasi 1998 hingga saat ini, tampak mengalami beberapa situasi anomali, terputus, dan non-dialektik. Hukum sejarah demokrasi tidak berjalan. Harusnya semakin lama makin matang dan dewasa. Yang terlihat sebaliknya, makin lama makin infantilis.

 

Memang demokrasi bangsa ini masih belia. Sebagaimana galibnya anak muda kerap berbuat salah, bahkan fatal, tak terkecuali di Aceh. Bahkan Aceh memasuki era demokratisasi sebenarnya di era 90-an, berbeda dengan tesis gelombang ketiga yang melanda di Indonesia dua dekade sebelumnya (Luki Jani & Olle Tornquist, 2017).

 

Gelombang pertama dan kedua dalam proses demokratisasi memang tidak terjadi di Indonesia. Gelombang pertama seperti dicatat oleh pemikir politik dari Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, terjadi pada 1820-an hingga Perang Dunia I. Pesertanya adalah negara-negara kuat di Eropa dan Amerika Utara. Proses demokratisasi saat itu digerakkan oleh konflik pemilik modal yang powerful dan tuntutan kesejahteraan dari kelas pekerja.

 

Gelombang kedua terjadi pada pasca-Perang Dunia II, yang tumbuh dari gagasan elite yang didukung oleh perjuangan massa di negara-negara Amerika Latin, yang kemudian berlanjut menjadi gerakan anti neo-kolonialisme.

 

Adapun gelombang ketiga terjadi pada akhir 70-an yang diawali oleh kritik atas konsep pembangunan yang terjadi negara-negara Asia dan Afrika terkait dengan eksploitasi sumber daya alam dan represi penguasa – yang sebenarnya telah terjadi di negara-negara Amerika Latin - ditambah krisis politik dan ekonomi nasional yang dialami negara-negara tersebut (Dilemmas of Populist Transactionalism, 2017 : 2).

 

Lahir sungsang

 

Seperti terlihat, gerakan prodemokrasi mulai matang pada 80-an dan mendapat ruang untuk melakukan perluasan dan pendalaman demokrasi, menjadi krusial pasca-jatuhnya Soeharto.

 

Jatuhnya Soeharto adalah berkah sekaligus enigma bagi demokrasi Indonesia, terbentuknya ceruk berketai-ketai (rupture), yang membelokkan demokrasi khas bangsa yang bersifat komunitarianisme sosial.

 

Sistem politik yang dirancang di MPR sejak akhir 90-an dibawah kepemimpinan Amin Rais dan politik amandemen mengarahkan pada demokrasi liberalistik, dengan “rumah kaca demokrasi langsung”, membeludaknya hiper-desentralisasi, dan pengalaman “Porto Allegre”; ketika kemunculan kekuatan politik baru mengabaikan desain politik yang komprehensif (Jani, 2017 : 13).

 

Salah satu semangat desain liberalistik itu terlihat hadirnya “Pilkadasung” – yang jika diingat desain ini terinspirasi dari Aceh melalui UU Otsus No. 18 tahun 2001 pasal 12. Wacana diskursif ini kemudian disambar pusat melalui UU No. 32 tahun 2004 yang melaksanakan Pilkada secara nasional yang berlangsung pertama kali di Kutai Kertanegara pada 2005 dan melahirkan bupati tersangka korupsi pertama juga.

 

Praktik Pilkada memang telah memberikan cacat demokrasi tersendiri dengan sederet kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan cacat moral pemerintahan. Pilkada melahirkan kepemimpinan petahana, yang meskipun “tak berguna” meningkatkan derajat pembangunan daerah, bisa terpilih kembali karena sokongan kaum rente, politik uang, mobilisasi nirpartisipasi, propaganda dan politik demagogi untuk “membunuh” tokoh bersih-idealis, dan persekutuan partai-partai pembentuk oligarkis atau mayoritarianisme gelap.

 

Buruknya praktik dan budaya politik di era desentralisasi ini menjadi nujum yang menghantui atau malah menakut-takuti dengan wacana politik yang tidak biasa. Munculnya kepala daerah yang tidak memiliki keterampilan dan pengalaman manajemen pemerintahan, menghidupkan aura politik populisme.

 

Siapa yang diingat dan disenangi dalam riak histeria publik akar rumput, maka ia lebih tepat memimpin sebuah daerah. Tidak perlu lagi latar belakang biografis dan keahlian. Bupati-wakil bupati paket C pun okelah. Yang penting masuk dalam memori kolektif jangka pendek publik.

 

Buruknya wajah demokrasi lokal – meskipun tidak juga boleh digeneralisasi – karena ada juga prestasi beberapa kepala daerah yang kreatif, sederhana, inspiratif, dan inovatif akhirnya menekan potensi modal sosial, kultural, dan ekologikal. Kurangnya kepala daerah yang menginvestasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan lingkungan menyebabkan serba krisis terjadi.

 

Yang paling mengemuka adalah krisis lingkungan akibat perusakan hutan, daerah aliran sungai (DAS), perluasan dan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU), sawitisasi, dan tumpuan pada eksploitasi industri ekstraktif.

 

Minim pemimpin

 

Hal yang paling kentara dari perkembangan buruk demokrasi lokal ini adalah kosongnya generasi kepemimpinan. Hal ini ditambah dengan pola politik kepartaian yang bersifat eksklusif dan tidak menerima model pengkaderan sebagai sarana membentuk kepemimpinan.

Akibat buruknya desain pembangunan manusia, maka tidak terbentuk komunitas nalar (epistemic community) yang bisa menjadi suara-suara muda yang menjanjikan, dan muncul harapan ada di kalangan intelektual muda itu yang layak untuk memimpin daerah, sebagai batu loncatan untuk kepemimpinan nasional.

 

Ketika penulis berdiskusi dengan salah seorang anggota DPR-RI dari Aceh, dan kemudian mengarah kepada siapa yang tepat menjadi calon gubernur Aceh ke depan, maka dari ujung tungkus diskusi, hanya muncul dua nama, yaitu gubernur petahana sekarang Nova Iriansyah dan mantan wakil gubernur sekaligus eks panglima GAM, Muzakkir Manaf.

 

Ada beberapa nama lain, tapi hanya gemerlap popularitas sehingga harus di-take down. Namun lagi-lagi, ketika nama petahana dan mantan petahana itu dibahas lebih lanjut, terantuk pada prestasi kepemimpinan, sehingga harus membuat revisi dan catatan-catatan kembali. Lalu siapa?

 

Tentu menjadi pengalaman yang buruk ketika kita bicara tentang demokrasi lokal dan derajat kepemimpinan, ada aspek yang tidak ekuivalen. Demokrasi lokal akan bisa tumbuh bukan semata oleh setumpuk legitimasi lex specialis. Demokrasi tidak tumbuh oleh sirkuit lotere, apalagi Russian Rollet, tapi oleh sebuah desain yang meyakinkan dalam melahirkan perubahan.

 

Di masa lalu kita melihat estafeta meritokrasi kepemimpinan lokal itu. Dalam satu laluan sejarah, terlihat ada kesinambungan antara kepemimpinan Muzakkir Walad ke Madjid Ibrahim, kemudian ke Teuku Hadi Thayeb, dan akhirnya ke Ibrahim Hasan. Mulai Syamsuddin Mahmud rupture kepemimpinan itu terkelupas.

 

Naiknya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar pada Pilkada akhir 2006 bisa dianggap sebagai kemenangan politik populisme pertama yang wajar setelah trauma politik lokal berkepanjangan. Sebenarnya kemenangan kalangan muda-progresif itu bisa menjadi pijakan untuk membangun konsepsi gabungan kepemimpinan populisme dan meritokratik.

 

Namun sayang, kepemimpinan lanjutan lebih mengarah kepada hiper-populisme dibandingkan kemampuan manejerial-teknoratis. Jadi tidak perlu kaget ketika mendapat kesimpulan Aceh sebagai provinsi termiskin se-Sumatera, karena pembahasannya sudah terjadi sejak era sebelumnya.

 

Seperti pernyataan di awal tulisan, kenapa Aceh menjadi sedemikian terpuruk hari ini terkait komplikasi politik-demokrasi yang dianutnya. Ibarat kata tidak terjadi di rumah yang kosong, ada pula dampak basahnya plafon bocor dari Jakarta, ketika konsep otonomi khusus ini tidak dikawal dengan desain demokrasi yang tepat, baik bagi keutuhan Indonesia dan juga kemandirian Aceh. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar