Selasa, 06 April 2021

 

Pelayanan Penyakit Jantung Anak

 Sukman Tulus Putra ; Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (Perkani)

                                                         KOMPAS, 06 April 2021

 

 

                                                           

Penyakit jantung utama pada anak adalah penyakit jantung bawaan, di samping penyakit jantung didapat, seperti penyakit jantung rematik, kardiomiopati, dan penyakit infeksi jantung lainnya.

 

Masalah jantung pada anak berbeda dengan orang dewasa yang sebagian besar didominasi penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian tertinggi saat ini. Jarang ditemukan penyakit jantung bawaan (PJB) pada orang dewasa karena umumnya sudah ditangani pada masa anak atau remaja.

 

Setiap tahun di seluruh dunia terdapat sekitar 1,3 juta bayi baru lahir penyandang PJB, dari yang ringan, berat, sampai kompleks. Sekitar 50.000 lahir di Indonesia. Angka ini sesuai angka kejadian PJB, yakni satu dari 100 bayi yang lahir hidup menderita PJB di negara berkembang dan negara maju.

 

Angka kelahiran di Indonesia lima juta setiap tahun sehingga terdapat sekitar 50.000 bayi baru penyandang PJB. Jumlah ini tak sedikit dan perlu perhatian tenaga dokter dan paramedis serta pemerintah. WHO melaporkan, kejadian PJB sekitar 25 persen dari semua penyakit bawaan yang ditemukan pada bayi baru lahir dan berkontribusi signifikan pada tingginya angka kematian bayi.

 

Namun, sampai kini hanya sebagian kecil, sekitar 30 persen, yang memperoleh pelayanan memadai, baik tindakan intervensi maupun operasi, karena keterbatasan tenaga dokter ahli, fasilitas/peralatan, keterbatasan akses layanan karena geografis dan pembiayaan.

 

Pelayanan anak penyandang penyakit jantung di Indonesia saat ini merupakan bagian dari pelayanan kesehatan anak yang dilaksanakan di rumah sakit-rumah sakit (RS) rujukan tingkat lanjut/tersier yang umumnya dalam format unit pelayanan jantung terpadu (PJT) dan bergabung dengan pelayanan pasien jantung dewasa. Itu karena hampir semua peralatan dan fasilitas yang digunakan sama.

 

Pengenalan dini PJB

 

Dalam dua dekade terakhir pelayanan jantung anak di Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Sebagian PJB pada bayi dan anak sudah dapat dikoreksi atau diobati dengan tindakan intervensi, tanpa harus dioperasi.

 

Tindakan ini sudah cukup banyak dilakukan di RS pendidikan dokter spesialis, RS jantung, dan beberapa RS rujukan di tingkat provinsi, dengan telah tersedianya peralatan diagnostik dan tenaga dokter ahli dalam bidang jantung anak (konsultan).

 

Kemajuan perkembangan pelayanan jantung anak secara spektakuler di Indonesia dimulai pada awal 2000-an dengan dimulainya era pengobatan tanpa operasi (nonbedah)—dikenal sebagai teknik penutupan kebocoran jantung, seperti VSD, ASD, dan PDA, dengan memasang alat melalui prosedur kateterisasi atau transcatheter closure. Teknik ini telah dilakukan dengan hasil baik terhadap ribuan bayi dan anak.

 

Kemajuan juga banyak dicapai dalam teknik bedah jantung anak untuk kelainan yang sulit dan kompleks, dengan hasil yang baik. Namun, masih ada beberapa provinsi, seperti Papua, Maluku, NTT, sebagian besar provinsi di Kalimantan, sebagian di Sumatera, dan Sulawesi yang tak mempunyai dokter ahli jantung anak dan ahli bedah jantung anak.

 

Keadaan ini menyebabkan pengenalan dini dan penanganan PJB bayi di fasilitas layanan primer atau sekunder di tingkat kabupaten dan provinsi belum memadai sehingga tidak jarang terjadi keterlambatan rujukan untuk memperoleh penanganan anak dengan PJB.

 

Pengenalan dini gejala dan tanda PJB pada bayi dan anak tidak saja terletak pada peran dokter dan tenaga kesehatan, tetapi juga orangtua. Bayi yang terlihat biru (sianosis) dan agak sesak serta gagal tumbuh patut dicurigai menderita PJB sehingga butuh konsultasi secepatnya. Namun, kelainan ringan sering tak menunjukkan gejala klinis yang jelas, bahkan tanpa gejala sama sekali.

 

Tak jarang gejala dan tanda kelainan ditemukan saat pemeriksaan kesehatan rutin seperti pada waktu imunisasi. PJB yang terdeteksi lebih awal umumnya dapat ditangani optimal, termasuk bila perlu rujukan ke RS rujukan untuk tindakan koreksi pada waktu yang tepat.

 

Kurang tenaga dokter ahli

 

SDM yang kompeten dalam pelayanan jantung anak mutlak diperlukan. Tim pelayanan minimal harus terdiri dari dokter ahli jantung anak yang dikenal dengan kualifikasi konsultan, bedah jantung anak, anestesiologi, ahli dalam pelayanan intensif, perawat, dan teknisi.

 

Pengembangan dan penambahan tenaga ahli ini jadi tantangan bagi organisasi profesi terkait dan pemerintah. Peran sektor swasta juga dibutuhkan.

 

Saat ini hanya ada 60 ahli jantung anak di Indonesia dengan jumlah penduduk 270 juta. AS dengan penduduk sekitar 320 juta mempunyai sekitar 1.600 ahli jantung anak. Menurut American Heart Association, rasio ideal adalah satu dokter ahli jantung anak untuk 500.000 penduduk. Jadi, Indonesia seharusnya memiliki 540 ahli jantung anak, dan kini baru terpenuhi sekitar 12 persen.

 

Jumlah ahli bedah jantung anak dan intensivist anak juga masih jauh dari angka ideal. Dibukanya pendidikan formal subspesialis jantung anak di beberapa universitas, seperti UI, Unpad, UGM, dan Unair, merupakan peluang untuk pengembangan SDM ini.

 

Namun, ini tak cukup. Penambahan kapasitas penerimaan peserta pendidikan subspesialis jantung anak dan penambahan institusi pendidikan serta kerja sama dengan beberapa negara ASEAN sangat diperlukan. Kekurangan tenaga ahli penyakit jantung anak jelas akan membuka celah masuknya tenaga dokter dari negara ASEAN yang sangat dimungkinkan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang ini.

 

Apa yang harus dilakukan? Perlu percepatan dan terobosan baru dalam upaya pemenuhan kebutuhan dokter ahli jantung anak, bedah jantung anak, intensivist, perawat, dan anestesiologi anak di pusat-pusat pelayanan/RS di seluruh Tanah Air. Perhatian khusus pemerintah pusat, pemda, dan organisasi profesi sangat diperlukan terkait kesempatan belajar para dokter spesialis, pembiayaan, dan penyediaan peralatan dan fasilitas di RS.

 

Peningkatan sistem rujukan dan pembiayaan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini juga perlu pembenahan serius. Anak-anak penyandang penyakit jantung di daerah terpencil dan jauh harus punya hak dan kesempatan sama dengan anak-anak di kota-kota besar. Keterbatasan akses dan geografis harus bisa diatasi, misalnya dengan kunjungan dokter ahli secara reguler ke pusat pelayanan kesehatan tertentu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar