Revisi
UU MD3 untuk Siapa?
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Februari 2018
LOBI dan negosiasi yang
sangat intens kini terjadi di panggung elite Senayan. Hal itu terjadi seiring
dengan taktik dan strategi dalam revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
dikenal dengan sebutan UU MD3.
Yang jelas, dalam rapat
pengambilan keputusan tingkat I, Kamis (8/2) yang berlangsung hingga dini
hari, 8 dari 10 fraksi menyetujui penambahan tiga kursi pemimpin MPR yang
secara eksplisit dijatahkan untuk PDIP, Gerindra, dan PKB.
Selain juga ada penambahan
satu Wakil Ketua DPR untuk PDIP dan juga penambahan satu wakil ketua untuk
DPD. Tinggal dua fraksi yang menolak, yakni PPP dan NasDem. Pertanyaan
mendasarnya ialah revisi UU MD3 ini untuk apa dan untuk siapa?
Pesan politik yang mencuat
dari 'pertarungan' revisi sebelum disepakati dalam rapat paripurna, UU MD3
tak lebih dari sekadar politik konsensus berbagi kursi, bukan untuk
menguatkan kapasitas kelembagaan yang sudah lama tak pernah naik kelas!
Konstelasi
politik elite
Berdasarkan Pasal 84
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
disebutkan pimpinan DPR terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR. Kursi pimpinan DPR periode saat ini diisi
Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat
Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Sementara itu, ketentuan
pimpinan MPR ada di Pasal 15 UU Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan pimpinan
MPR terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota MPR. Kursi pimpinan DPR periode itu diisi Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN), Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera, dan kelompok DPD di MPR RI. Sama dengan pemilihan
pimpinan DPR, pimpinan MPR pun mengacu ke Pasal 15 ayat 2 UU MD3, dipilih
dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Konsekuensinya, jika tak
disepakati melalui mekanisme musyawarah dan mufakat, pimpinan MPR dipilih
dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan
sebagai pimpinan MPR dalam Rapat Paripurna MPR (Pasal 15 ayat 5 dan 6 UU No
17 Tahun 2014).
Pimpinan DPD-RI mengacu ke
Pasal 260 UU MD3. Pimpinan DPD terdiri atas satu ketua dan dua wakil ketua
yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna DPD. Saat ini,
pimpinan DPD terdiri dari Oesman Sapta (Ketua/senator dari Kalimantan Barat),
dan wakil pimpinan yang terdiri dari Nono Sampono (senator Provinsi Maluku)
dan Darmayanti Lubis (senator Sumatra Utara). Keterpilihan pimpinan DPD itu
tak lepas dari kisruh dan polemik di internal DPD saat itu.
Sedari awal, UU MD3 ini
memang lebih banyak diposisikan sebagai alat dalam perebutan kursi pemimpin
jika dibandingkan dengan penguatan kapasitas kelembagaan MPR, DPR, DPRD, dan
DPD. Kita tentu masih ingat, bagaimana konstelasi yang dialami saat awal
kinerja DPR RI periode 2014-2019. Bukan sibuk memikirkan dan menguatkan
fungsi masing-masing, yang ada sangatlah menyedihkan. DPR saat itu terbelah,
ada kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
UU MD3 menjadi alat yang
dimanfaatkan dalam kekisruhan tersebut. Desain revisi UU MD3 tak lebih
menjadi cara untuk saling berebut kursi, yang kebetulan, saat itu
dikendalikan kubu KMP. UU MD3 saat itu direvisi, antara lain mengatur Ketua
DPR tak otomatis diisi figur dari partai pemenang pemilu legislatif. Pun
posisi wakil pemimpin DPR tak otomatis diisi secara berurutan oleh partai
yang memperoleh suara terbanyak kedua hingga kelima, tetapi dipilih dari dan
oleh anggota DPR. Hal serupa juga terjadi di MPR RI.
Koalisi pendukung Presiden
Jokowi di DPR yang terdiri dari PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura saat itu
memiliki 208 kursi. Posisi minoritas itulah yang menyebabkan politik 'sapu
bersih' terjadi dalam penguasaan pimpinan baik di DPR maupun MPR. Kini,
koalisi pendukung pemerintah mayoritas di DPR setelah masuknya PPP, Golkar,
dan PAN yang terdiri dari 386 kursi atau 69% suara di DPR.
Sebuah UU sah-sah saja
direvisi. Yang menjadi masalah ialah revisi dilakukan sekadar menampung hasrat
politik elitis. Padahal, sebuah revisi UU harusnya diorientasikan untuk
perbaikan mendasar persoalan-persoalan kebangsaan kita. Pun demikian dalam
revisi UU No 17 Tahun 2014 ini. Jika motif revisi sekadar penambahan tiga
kursi pemimpin MPR, satu di DPR, dan satu kursi di DPD, itu semakin
menunjukkan elitisnya alasan revisi.
Apakah dengan penambahan
kursi pemimpin lantas menjadi jaminan perbaikan kinerja lembaga? Di salah
satu media nasional, Ketua Baleg DPR seusai rapat kerja dengan Kemenkum dan
HAM, di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (8/2), menyatakan semangat dari
penambahan pemimpin itu ialah bisa menyembuhkan kualitas kerja parlemen
sehingga bisa lebih maksimal lagi. Apa korelasinya antara penambahan kursi
pemimpin dan perbaikan kinerja?
Kapasitas
kelembagaan
Boleh saja jika pimpinan
DPR dan MPR kembali ke mekanisme lama, yakni diisi partai pemenang
berdasarkan urutan suara terbanyak yang diperolehnya di Pemilu 2019. Artinya,
jikapun direvisi, mekanismenya untuk DPR periode 2019-2024. Namun, tidak ada
urgensi apa pun untuk menambah kursi pemimpin baik di MPR, DPR, maupun DPD
saat ini. Terlebih, masa jabatan periode 2014-2019 kurang dari dua tahun
lagi.
Yang mendesak dilakukan
perbaikan justru ialah kapasitas kelembagaan menyangkut kinerja mereka,
terutama untuk DPR di fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan. Di
DPD yang paling harus diperbaiki ialah kejelasan orientasi kelembagaan mereka
dalam menyuarakan aspirasi daerah yang selama ini sangat jarang lantang
dikumandangkan para senatornya. Yang bergaung justru perebutan posisi
pemimpinnya.
Dengan demikian, problem
mendasar saat ini bagi MPR, DPR, dan DPD ialah menaikkan kepercayaan publik
melalui kerja-kerja konkret yang menjadi tugasnya selaku wakil rakyat.
Buruknya kapasitas kelembagaan yang tecermin dari kinerja yang kedodoran
itulah yang menyumbang signifikan pelambatan konsolidasi demokrasi di
Indonesia.
Meminjam istilah dari
Alberto Olvera saat menggambarkan kondisi demokrasi di Meksiko, dalam
tulisannya The Elusive Democracy-Political Parties, Democratic Institutions
and Civil Society in Mexico/Latin American (2010), saat ini sedang terjadi
resesi demokrasi (democratic decline). Penurunan kualitas demokrasi itu
merupakan konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan
kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya politik.
Demokrasi elusif, yang
disebabkan lemahnya kapasitas institusi demokrasi dan kematangan budaya
politik, juga menjadi penyakit akut yang dialami Indonesia. Penulis setuju
dengan catatan kritis Syarif Hidayat dan Abdul Mallik Gismar dalam bukunya,
Reformasi Setengah Matang (2010), yang menyebutkan salah satu kelemahan
mendasar dari proses reformasi yang berlangsung sejak 1998 ialah karena
gerakan perubahan lebih berfokus pada upaya membangun dan memperbaiki
institusi negara (state institutions).
Sementara itu, upaya untuk
membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tidak
mendapatkan perhatian yang seimbang. Konsekuensinya kehadiran negara dalam
kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan
dalam beberapa kasus cenderung 'absen'.
Membaiknya kapasitas DPR
dan DPD hingga sekarang belum terasa. Indikator sederhananya ialah perbaikan
kualitas dan kuantitas kerja mereka hingga saat ini masih jauh dari harapan.
Hingga tahun ketiga (Agustus 2017), DPR periode 2014-2019 baru mengesahkan
sekitar 15 RUU. Tak ada perbaikan signifikan, bahkan produktivitas
legislasinya menurun. DPR periode 2009-2014 di rentang waktu yang sama sudah
bisa mengesahkan 40 RUU.
Dari Januari hingga akhir
Juli 2017, DPR dan pemerintah baru mengesahkan 4 dari 50 rancangan UU yang
masuk prolegnas. Tambahannya, hanya tiga RUU bersifat kumulatif terbuka yang
sudah disahkan. Bahkan dari sedikit UU yang sahkan tersebut, sudah ada yang
mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Buruknya
kualitas kinerja legislasi itu sepertinya juga akan menjadi warna sepanjang
2018 dan 2019.
Rapor merah itu semakin
diperburuk saat 2017 lalu DPR lebih disibukkan dengan fungsi pengawasan yang
salah sasaran. Gegap gempita Pansus KPK yang sedari awal tidak jelas
orientasi akhirnya apa, selain aroma menyengat upaya pelemahan KPK. Upaya
pemberantasan korupsi sedang giat-giatnya dilakukan KPK, termasuk menyasar
sebagian anggota DPR yang bancakan proyek, termasuk megaskandal KTP
elektronik.
Puncak ketidakpercayaan
publik mengemuka saat Ketua DPR saat itu, yakni Setya Novanto, yang harusnya
menjadi pewajahan positif DPR justru menjadi tersangka dan sekarang menjadi
terdakwa kasus KTP elektronik. Drama-drama politik yang sungguh tak patut
saat mencoba berkelit dari proses hukum yang ditangani KPK, ditampilkan
Setnov secara telanjang di muka publik. Wajar jika kepercayaan publik pada
institusi DPR kian terpuruk.
Kita tak menutup mata,
banyak hal telah dilakukan DPR. Namun, performa kerja dan kapasitas
kelembagaannya masih jauh dari harapan publik. Oleh karena titik lemahnya
ialah pada performa kerja, fokus seluruh pihak yang ada di DPR seharusnya
ialah cara menguatkan peran dan fungsi mereka di dua tahun terakhir.
Pun demikian yang terjadi
di DPD, bagaimana memastikan bahwa para senator dan lembaganya ini punya
orientasi kerja yang jelas dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia.
Jika performa kerjanya di bawah rata-rata, wajar jika publik mempertanyakan
kapasitas lembaga-lembaga negara ini.
Mengelola
kehormatan
Baik DPR maupun DPD itu
sejatinya ialah lembaga terhormat. Mandat suara rakyat dan mandat suara
daerah sudah disematkan pada mereka. Selama lima tahun harusnya peran dan
fungsi mereka dioptimalkan bagi rakyat dan daerah yang dipimpin mereka.
Revisi UU MD3 itu untuk
apa? Jelas harusnya untuk menguatkan kapasitas kelembagaan. Jika sekadar
bagi-bagi kursi, publik melihat itu tak lebih dari sekadar cara pragmatis
berburu kekuasaan. Dengan menambah kursi, mereka bisa bersepakat, kursi
diberikan kepada siapa. Kepentingannya lagi-lagi elitis, yakni menjadikan
kursi sebagai 'panggung' menuju kekuasaan mereka di 2019.
Kalau meminjam pandangan
Alexis de Tocqueville, dalam karyanya De la Democratie en Amerique, bisa saja
mereka tak menyalahi sistem demokratik, tetapi abai dengan etos demokratik.
Sistem demokratik itu menekankan pada prosedur, pranata, termasuk di dalamnya
membuat atau merevisi UU. Namun, etos demokratik merupakan formasi nilai
termasuk asas kepatutan dan filosofis di tindakan para politikus, termasuk
misalnya saat mereka mau merevisi UU MD3 ini.
Seharusnya, MPR, DPR, dan
DPD meminjam pendapat John van Mannen dan Stephen Barley dalam tulisan
mereka, Cultural Organization: Fragments of a Theory (1985), mampu mengatur
manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah
ecological context yang merupakan dunia fisik termasuk di dalamnya lokasi,
waktu dan sejarah, serta konteks sosial.
Lingkungan fisik
MPR/DPR/DPD di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat
pun sudah diatur jelas, hanya saja belum mampu menghadirkan output kinerja
yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian.
Lembaga-lembaga ini lebih banyak diramaikan perebutan posisi, kubu-kubuan
dll. Hal yang harusnya diubah segera ialah penunjukan komitmen dan kehormatan
sebagai wakil rakyat dan senator daerah.
Domain kedua, menyangkut
jaringan atau interaksi deferensial (differential interaction). Dalam konteks
ini, MPR/DPR/DPD harus mau dan mampu memetakan interaksi mereka dengan pihak
lain. Jika mereka bisa melakukan peran dan fungsi mereka dengan optimal,
tidak tumpang-tindih, dan saling menguatkan di tengah perbedaan, di situlah
letak kapasitas kelembagaan akan mulai dipercayai publik.
Domain ketiga dan keempat
ialah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR dan DPD baik
pribadi maupun kolektif harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil
rakyat dan senator daerah, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme seperti
berburu kursi. Amanah rakyat telah dipegang mereka untuk dioptimalkan menjadi
kerja nyata dalam satu periode jabatan.
Kehormatan tak muncul
serta-merta, tetapi harus diatur dan dikendalikan melalui berbagai tindakan
individual dan kelembagaan yang relevan dengan fungsi mereka sebagai wakil
rakyat dan wakil daerah, bukan wakil kaum bangsawan Senayan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar