Pesantren
Salafi (2)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
08 Februari
2018
“Pesantren
Salafi”. Ini adalah pesantren yang berangkat dari paham dan praksis keislaman
tentang “Islam murni” yang secara idealisasi bersumber dari kaum
Salaf—generasi pertama pasca-Nabi Muhammad SAW. Pesantren Salafi tak lain
adalah lokus untuk penanaman paham dan praksis yang menekankan al-ruju’ ila
al-Qur’an’ dan “hadis [sahih]”. Prinsip inilah yang disebut sebagai manhaj,
cara dan metodologi Salafi.
Kemunculan
paham Salafi (bahasa Inggris Salafism atau atau Arab Salafiyah), sekali lagi,
harus dibedakan dengan “Pesantren Salafiyah”. Istilah terakhir ini mengacu
pada pesantren tradisional yang indigenous Indonesia dengan paham Ahlussunah
wal Jamaah, baik “tradisionalis” maupun “modernis”.
Paham
dan praksis Salafi bermula dari diagnosis dan analisis di kalangan ulama
semacam Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) atau Muhammad ibn ‘Abdul Wahab
(1115-1206 H/1701-1793 M). Mereka berhujah, kemunduran Islam dan kaum Muslim
pada masa pascakejayaan Baghdad disebabkan kaum Muslimin tidak lagi
mengamalkan Islam murni.
Sebaliknya,
mereka memahami dan mempraktikkan Islam yang sudah diwarnai berbagai macam
aliran dan mazhab yang dipenuhi berbagai praktik keagamaan yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah. Semua itu dipandang kaum Salafi sebagai bid’ah
dhalalah, tambahan-tambahan sesat yang bakal membawa pengamalnya ke dalam
neraka.
Meski
sama-sama ingin kembali kepada Islam kaum Salaf, Islam murni, para pemikir,
pemimpin, dan aktivis gerakan Salafi berbeda dalam karakter dan pendekatan.
Ibn Taimiyah terkenal sebagai polemikus dan kontroversial, tetapi tidak menganjurkan
pendekatan kekerasan. Sebaliknya, Ibn Abdul Wahab gemar melakukan kekerasan
melalui aliansi dengan kekuasaan politik Raja Najd, Ibn Saud.
Pada
masa modern, pemikir terkenal seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
atau Rasyid Ridha juga sering disebut termasuk barisan pemikir Salafi. Mereka
memang menganjurkan umat Muslimin agar kembali ke Alquran dan hadis,
meninggalkan bid’ah dan khurafat.
Namun,
al-Afghani, Abduh, dan Ridha tidak terseret ke dalam pemahaman dan praksis
keagamaan dan sosial-budaya literal yang kemudian dominan di kalangan pemikir
Salafi lain. Mereka juga tidak terjerumus ke dalam pendekatan keras, ekstrem
dan radikal.
Salafisme
mereka mengalami domestifikasi ketika mereka juga mengadopsi pemikiran dan
kelembagaan modern Eropa. Karena itulah, mereka lebih dikenal sebagai pioner
modernisme-reformisme daripada Salafisme.
Nusantara
juga tidak terlepas dari pengaruh pemikiran dan gerakan Salafisme, baik yang
hampir sepenuhnya berorientasi dalam keagamaan maupun sosial-budaya dan
politik ke masa kaum Salafi. Kelompok ini bisa disebut “Salafi keras”. Begitu
juga dengan kelompok kedua yang bisa disebut “Salafisme lunak”, yang secara
keagamaan cenderung berorientasi ke masa Salafi tetapi dalam kehidupan
sosial-budaya dan politik ke masa depan.
Pengaruh
pemikiran Salafi corak pertama dapat dilihat dari gerakan Padri di
Minangkabau sejak awal abad ke-19. Berorientasi pada pemurnian Islam dari
tarekat, adat, dan tradisi lokal, kaum Padri melakukan kekerasan yang
berujung pada perang saudara yang kemudian dikenal sebagai Perang Padri
(1825-37).
Orang-orang
Padri memerangi dua kelompok masyarakat. Pertama, arus utama Islam
Minangkabau yang mempraktikkan tasawuf dan tarekat yang inklusif dan
akomodatif terhadap budaya lokal. Kedua, kaum adat yang cenderung lebih
berorientasi pada adat daripada Islam.
Perang
Padri berakhir dengan campur tangan kekuatan militer kolonial Belanda.
Gerakan Padri mengandung banyak komonalitas dan afinitas dengan doktrin dan
praksis Wahabiyah yang menemukan momentum sejak perempatan terakhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19. Namun, Gerakan Padri gagal mengubah corak Islam
Minangkabau kecuali mendorong perubahan pola dan posisi Islam dari “adat
bersendi syarak, syarak bersendi adat” menjadi “adat bersendi syarak, syarak
bersendi kitabullah”.
Sedangkan,
pengaruh Salafisme lunak lebih luas. Sejak akhir abad ke-19, pemikiran
al-Afghani, Abduh, dan Ridha mulai beredar di nusantara. Penyebaran itu
mendorong kebangkitan organisasi massa Islam modernis-reformis seperti Muhammadiyah
atau Persis yang selain bertujuan mengembalikan pemahaman dan praktik Muslim
kepada Alquran dan hadis juga membawa mereka ke alam modern melalui dakwah
damai, pendidikan, dan penyantunan sosial.
Dalam
pertumbuhan Salafisme keras dan Salafisme lunak di atas, di mana letak
pesantren Salafi? Di mana akar-akar pesantren Salafi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar