Padat
Karya Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
17 Februari
2018
Padat karya desa mulai
Februari 2018 dipadati misi menuntaskan utang kepada golongan bawah, yaitu
menurunkan kemiskinan dan pengangguran (Kompas, 28/1).
Kebijakan desa pun diubah
guna mendukungnya. Kementerian Keuangan memajukan pencairan dana desa hingga
satu semester, yaitu pada Februari, Maret, dan Juli. Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) membubuhkan
syarat 30 persen dana desa dialokasikan bagi upah kerja. Hanya warga sendiri
yang swakelola membangun desa, bukan lagi mengontrak swasta. Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan anggaran Rp 11 triliun guna
melengkapi infrastruktur antardesa. Kementerian Perhubungan menyusun
konektivitas sampai ke desa.
Sayang, kedua utang
pembangunan mengidap irasionalitas internal sehingga padat karya desa bagai
misi mustahil. Dibutuhkan langkah ekstrem guna memenuhi mandatnya.
Irasionalitas
kemiskinan
Situs Kementerian Keuangan
melaporkan, selama 2014- 2016 pemerintah mengucurkan Rp 517 triliun untuk
menanggulangi kemiskinan. Pada periode serupa, situs Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat penduduk miskin hanya berkurang 36.540. Artinya, pengentasan
satu orang miskin menelan dana pembangunan hingga Rp 14 miliar!
Anehnya, BPS mengumumkan
garis kemiskinan September 2017 sebesar Rp 370.910 per kapita/bulan, serta
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 1,79. Artinya, sesungguhnya hanya diperlukan
Rp 28.410 per kapita/bulan guna mengentaskan satu orang miskin. Secara
keseluruhan butuh ”cuma” Rp 9 triliun untuk menghilangkan kemiskinan 27 juta
orang.
Irasionalitas program
kemiskinan teruji hanya 4 per mil anggaran yang sampai kepada orang miskin!
Sebesar Rp 508 triliun terbuang dalam wujud kegiatan penunjang pengurangan
kemiskinan.
Distorsi program terbaca
khusus di desa. Pembangunan selama 2014-2017 justru menurunkan proporsi
pengeluaran 40 persen lapisan terbawah sebanyak 0,17 persen meskipun
pengeluaran 20 persen lapisan teratas juga turun 2,34 persen. Bahwa indeks
gini sebagai pengukur ketimpangan ekonomi tetap 0,32, hal itu ternyata
ditopang lompatan pengeluaran 40 persen golongan menengah hingga 2,51 persen.
Irasionalitas
pengangguran
Dalam lampiran terbitan
survei ketenagakerjaan Agustus 2017, BPS mengingatkan lemahnya hubungan
pengurangan angka kemiskinan dengan pengangguran. Artinya, kedua tujuan itu
tidak selalu berhasil kala dimuat bersamaan seperti layaknya padat karya
desa.
Dua indikasi memberatkan.
Pertama, kemampuan pembangunan desa untuk menyerap tenaga kerja relatif tetap
pada 66 persen per tahun. Selama Agustus 2016-2017, penduduk yang bekerja
hanya meningkat 170.000 jiwa, padahal masih terdapat 2,39 juta penganggur.
Kedua, mencuat kontradiksi
pengurangan angka pengangguran (bekerja minimal 35 jam seminggu), tetapi
ditingkahi peningkatan setengah penganggur (bekerja kurang dari 35 jam
seminggu). Jumlah penganggur menurun 300.000 jiwa, tetapi setengah penganggur
meningkat 150.000 jiwa. Jumlah mereka 6 juta jiwa.
Penduduk setengah
penganggur inilah yang selama ini bekerja serabutan sepanjang proyek-proyek
desa berlangsung. Kemendes-PDTT berhasil mengompilasi 92 persen Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa 2017. Terhitung pendapatan seluruh desa Rp 101
triliun, dan Rp 56 triliun dialokasikan bagi pembangunan. Ketika dipautkan
dengan angka ketenagakerjaan, terbaca untuk mengangkat satu penganggur
menjadi setengah penganggur saja dikeluarkan Rp 373 juta.
Namun, kenyataannya honor
pekerja sudah mencapai 27 persen dana desa dan mendekati 270 juta hari orang
kerja. Artinya, sekitar 2,4 juta pekerja paruh waktu selama penggunaan dana
desa kemungkinan berasal dari luar desa akibat kontrak dengan perusahaan jasa
konstruksi.
Mengetatkan
data
Irasionalitas
penanggulangan kemiskinan dan pengurangan penganggur desa bersumber dari
melencengnya program dengan data kependudukan. Akibatnya, dana pembangunan
tak terfokus bahkan meleset dari orang miskin dan penganggur. Ironisnya, kala
efektivitas program terbukti memburuk sejak tahun 2007, justru anggaran
program dilipatgandakan lantaran dikira menghapus kerak kemiskinan dan
pengangguran.
Program padat karya desa
akan terjerumus pada irasionalitas serupa, kecuali segera mengetatkan
penggunaan basis data kemiskinan dan pengangguran. Apalagi upah kerja harian
yang disodorkan pemerintah serupa upah kerja umum, sebesar Rp 100.000 per
kapita/hari bagi tukang dan Rp 80.000 per kapita/hari bagi kenek. Konsekuensinya,
buruh bangunan profesional pun tergiur memasuki padat karya, dan berpotensi
menyisihkan kembali orang miskin ataupun penganggur.
Maka, pemerintah desa
bersama pendamping wajib mengompilasi data penduduk miskin dan penganggur,
lalu mencanangkannya sebagai calon utama pekerja padat karya desa. Alamat
rumah tangga miskin dicatat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K). Jika UU No 6/1997 tentang Statistik menjerat TNP2K untuk
merahasiakan data, alternatifnya digunakan alamat keluarga miskin
pra-sejahtera serta sejahtera I dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN).
Data penganggur
dikumpulkan dulu oleh ketua rukun tetangga dan ketua rukun warga. Mereka
mendata warga yang tidak bekerja sebulan terakhir.
Momentum menguji efektivitas
padat karya desa sudah mendesak. Sebab, Susenas pada Maret 2018 untuk
mengukur kemiskinan dan Sakernas pada Februari 2018 guna menyurvei penganggur
sama-sama menggali data kegiatan penduduk selama Februari 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar