Tahun
Politik 2018:
Adakah
Perbaikan pada Demokrasi? (1)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
09 Januari
2018
Sejak tiga bulan terakhir tahun
2017, di panggung politik nasional Indonesia ungkapan Tahun Politik 2018
disebut berulang-ulang, tidak kurang dari Presiden Jokowi. Semua media masa
secara aktif dan masif turun gunung dalam menyorakkan tahun politik ini.
Semua parpol sibuknya setengah mati dalam mempersiapkan pilkada serentak yang
jatuh pada 27 Juni 2018.
Ada sejumlah 17 provinsi,
39 kota, dan 115 kabupaten yang sedang bersiap untuk menyongsong hari politik
itu atau istilah menterengnya pesta demokrasi, sebuah peristiwa yang memang melekat
dengan sistem politik kenegaraan yang dianut oleh bangsa dan negara kita.
Pertanyaannya tetap saja: apakah akan ada perbaikan secara fundamental pada
sistem demokrasi Indonesia setelah bangsa ini merdeka sejak 17 Agustus 1945?
Dari sejarah kita diberi
tahu bahwa demokrasi Indonesia pernah dibunuh mulai pertengahan 1959 sampai
dengan tahun 1998, mengalami masa jeda sebentar antara tahun 1966-1967.
Dengan tumbangnya sistem Orba (Orde Baru) pada akhir 1998, Indonesia memasuki
era reformasi, gerbang kedua gelombang demokrasi yang dikomandoi oleh
Presiden BJ Habibie, bapak demokrasi setelah Bung Hatta.
Karena terlalu lama mati
suri, maka apa yang berlaku sejak 1998 adalah demokrasi dengan kompi-kompi
politisi yang miskin pengalaman dan miskin wawasan keindonesiaan. Mereka
tidak paham tentang tujuan Indonesia merdeka. Literasi politik kebangsaan
mereka kering dan sepi. Semestinya mereka mau membaca ulang sajak
“Krawang-Bekasi” Chairil Anwar (26 Juli 1922-28 April 1949) tentang mimpi
kemerdekaan yang meluluhkan perasaan.
Untuk menyegarkan ingatan
kolektif kita, penggalan bait sajak itu diturunkan berikut ini:
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan
dan harapan
atau
tidak untuk apa-apa,
Kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata
Penyair Chairil mati muda
dalam usia 27 tahun, tetapi goresan penanya dalam bait di atas terasa
menancap dalam sampai ke hulu hati. Ulangi lagi yang satu ini: “Ataukah jiwa
kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan, atau tidak untuk
apa-apa.” Memang sudah ada kemerdekaan, kemenangan, dan harapan, tetapi
sebagian rakyat yang terpinggirkan belum merasakan itu semua.
Di era reformasi telah
muncul beberapa pakar teori politik dengan gelar PhD atau doktor yang
tertarik terjun ke gelanggang permainan, tetapi pada umumnya pengetahuan
mereka tentang sosiologi masyarakat Indonesia tidak memadai. Buahnya, setelah
sebagian politisi baru itu berada pada posisi kekuasaan, mereka tidak mampu
secara bersama melakukan konsolidasi demokrasi.
Akibatnya, proses
demokratisasi menjadi kacau, penuh pertentangan pragmatisme yang sunyi dari
iklim kenegarawanan, suatu syarat yang amat diperlukan oleh bangunan
demokrasi yang kuat dan sehat. Meski demikian, pihak luar masih memuji
demokrasi Indonesia dengan mengatakan bahwa Islam yang ditafsirkan di negeri
ini selaras dan sejalan dengan demokrasi. Kita merasa tersanjung dengan
pujian ini, tetapi alpa bahwa jalan yang harus ditempuh ternyata masih sangat
jauh.
Apa yang dikatakan di atas
adalah semacam kilas balik dari perjalanan politik bangsa selama 19 tahun
terakhir. Tahun 2018 adalah tonggak dua dasawarsa era reformasi yang akan
sangat disibukkan oleh persaingan politik antarpartai dan antarelite. Kita
akan menyaksikan apakah etika politik akan jadi acuan atau tidak di tahun
politik yang pasti ingar bingar ini. Sebuah ketegangan moral antara idealisme
dan pragmatisme sedang dihadapkan pada ujian sejarah yang kritikal.
Jika lolos dalam ujian ini
maka ada harapan bahwa mimpi-mimpi besar dan indah tentang tujuan kemerdekaan
bangsa akan menjadi kenyataan yang hidup, di mana keadilan dan kesejahteraan
bersama akan semakin merata. Tetapi, jika gagal lagi maka penderitaan
sebagian rakyat akan terus berlangsung dengan segala sisi buruk dan
bengisnya, entah untuk berapa lama lagi.
Karena partai politik
dalam teori modern adalah salah satu tiang demokrasi, maka temponya sudah
sangat tinggi bagi para petingginya untuk berbenah diri secara jujur dan
radikal agar tiang ini tidak semakin rapuh dimakan rayap zaman yang dapat
melemparkan bangsa ini ke sudut gelap sejarah yang hina dina. Akal sehat kita
harus waspada dengan segala kemungkinan buruk ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar