Merebus
Demokrasi dalam Panci Pilkada
Didik Supriyanto ; Kolumnis; Peminat Ilmu Pemilu
|
DETIKNEWS,
11 Januari
2018
Taruhlah katak dalam
sepanci air dingin, lalu panaskan panci secara berlahan di atas kompor, maka
katak tidak meloncat ke mana-mana. Tubuh katak mampu menyesuaikan dengan suhu
air, sehingga katak tidak menyadari bahaya yang datang. Ketika merasakan
panas dan hendak meloncat, katak tak mampu lagi. Tubuhnya sudah rusak.
Saya merasakan proses
pencalonan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak untuk memilih
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan
wakil walikota bagaikan "teori" merebus katak tersebut. Tanpa
menyadari, secara perlahan kita merusak sendiri sendi-sendi demokrasi yang
sedang kita bangun.
Pilkada langsung oleh
rakyat, pertama kali digelar pada 2005. Pada waktu itu jadwal penyelenggaraan
pilkada di setiap daerah kabupaten/kota berbeda-beda. Nyaris tiada hari tanpa
pilkada. UU No 32/2004 memberi wewenang penuh KPU daerah untuk menetapkan
hari H pilkada sesuai dengan jadwal masa berakhirnya kepala daerah
masing-masing. Jadwal pilkada berserakan secara nasional itu juga memakan
triliunan dana negara.
Efisiensi anggaran
kemudian menjadi alasan utama mengapa pilkada harus diserentakkan. Sebab, hal
itu bisa menghemat biaya sampai 50%. Penghematan itu terjadi karena dengan
mengeluarkan satu kali honor petugas (yang merupakan 65% komponen biaya
pilkada) sudah bisa melaksanakan pemilihan: gubernur dan bupati/walikota.
Peluang itu ditangkap KPU
Sumbar dan KPU kabupaten/kota di Sumbar. Mereka menggelar pilkada serentak
untuk pemilihan gubernur dan 7 pemilihan bupati/walikota pada 27 Juli 2005.
Langkah ini kemudian diikuti Aceh yang menyelenggarakan pilkada provinsi
bersamaan dengan pilkada 19 kabupaten/kota pada 11 Desember 2006.
Namun pilkada serentak
tersebut menimbulkan kebingungan masif. Pemilih menghadapi koalisi yang
berbeda-beda di antara pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dengan
bupati/walikota dan wakil bupati/walikota di daerahnya masing-masing.
Bagaimana tidak, untuk
berebut kursi gubernur dan wakil, Partai A berkoalisi dengan Partai B dan
Partai C; sedang untuk kursi bupati/walikota dan wakil, Partai A berkoalisi
dengan Partai D, dan Partai E. Katakanlah, terdapat kesamaan pandang antara
Partai A dengan Partai B dan Partai C, tetapi mengapa Partai A berkoalisi
dengan Partai D dan Partai E yang punya jarak "ideologis" jauh.
Tentu saja bangunan koalisi yang tidak kongruen antara provinsi dan
kabupaten/kota ini menyulitkan kader-kader partai politik dalam berkampanye.
Tetapi itulah hebatnya,
partai-partai politik merasa tidak bersalah dengan bangunan politik yang
membingungkan konstituen tersebut. Politik itu dinamis, politik itu kompromi,
politik seni menyiasati perbedaan, dan bla-bla-bla yang lain. Demikian elite
politik nasional maupun daerah meyakinkan konsituennya demi meraih
kemenangan. Tentu protes bermunculan, sehingga pimpinan partai politik pun
menggunakan tangan besi: pecat.
Karena Pilkada 2005-2008
merupakan pengalaman pertama, maka banyak pihak bisa memaklumi kekacauan
politik koalisi tersebut. Mereka ingin agar kekacauan politik bisa berkurang
setelah Pemilu 2009. Harapannya koalisi nasional untuk mengusung pasangan
calon presiden dan wakil presiden akan memandu koalisi pilkada berikutnya.
Jauh panggang dari api.
Pasca Pilpres 2009, bangunan koalisi untuk mengusung pasangan calon kepala
daerah masih tidak karu-karuan. Koalisi pilpres berantakan di pilkada,
koalisi pilkada gubernur tak sejalan dengan pilkada kabupaten/kota. Situasi
ini lalu melatari munculnya gagasan pilkada serentak sebagaimana diatur dalam
UU No 1/2015.
UU No 1/2015 menata jadwal
penyelenggaraan pilkada serentak secara bertahap, mulai 2015, 2017, dan 2018
sehingga pada 2024 akan tergelar pilkada serentak secara nasional. Tetapi
dari Pilkada 2015 dan 2017, sudah ketahuan keserentakan pilkada tidak
berpengaruh terhadap terbentuknya bangunan koalisi yang kongruen antara
provinsi dan kabupaten/kota.
Bahkan koalisi Pilpres
2014 yang mengerucut pada dua koalisi besar (partai-partai politik pendukung
Jokowi bersaing dengan partai-partai politik pendukung Prabowo), sama sekali
tidak berlanjut dalam pembangunan koalisi Pilkada 2018 di tiga provinsi
besar: Jabar, Jatim, dan Jateng. Padahal pilkada di tiga daerah tersebut
dianggap sebagai awal pertarungan kembali Jokowi vs Prabowo pada Pemilu 2019.
Kekacauan bangunan koalisi
tersebut tentu akan berkelanjutan setelah terjadi penyederhanaan jadwal
pemilu: Pemilu Serentak 2024 yang digelar pada April dan Pilkada Serentak
2024 yang digelar pada November. Jarak antara pemilu serentak (memilih DPR,
DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta presiden dan wakil presiden)
dengan pilkada serentak (memilih gubernur dan wakil gubernur serta
bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota) memang hanya enam bulan,
tetapi hal itu tidak menjamin terbangunnya koalisi kongruen tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota.
Partai-partai politik tidak
melihat bangunan koalisi yang tidak kongruen sebagai masalah. Sebab,
konstituen dianggap sudah mengerti dan memahami. Mereka sudah cukup cerdas
untuk memahami kekacauan koalisi tersebut. Kedua, partai politik mendapat
keuntungan oleh tawar-menawar mahar pencalonan, dan tentu tak mau hal itu
hilang begitu saja.
Padahal dalam jangka
panjang, situasi tersebut bisa meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang sedang
kita bangun. Keleluasan partai politik membangun koalisi yang seenaknya,
terekam di bawah sadar rakyat bahwa politik identik dengan pragmatisme. Tidak
ada nilai-nilai yang mendasari, tidak ada ideologi yang jadi sebagai pemandu,
dan tidak ada platform program yang harus diutamakan. Semua berdasarkan
kalkulasi untung rugi.
Koalisi tidak kongruen
menghasilkan pemerintahan tidak kongruen pula. Dampaknya adalah pemerintahan
yang tidak efektif. Baiklah, presiden dengan segala kewenangannya bisa
memerintah dan mengendalikan gubernur; tetapi hal itu tidak terjadi dengan
gubernur terhadap bupati/walikota. Bagaimana mungkin gubernur yang berasal
dari koalisi Partai A, Partai B, dan Partai C bisa mengendalikan
bupati/walikota yang berasal dari Partai D atau Partai E?
Keluhan efektivtas
pemerintahan daerah hasil pemilu dan pilkada sudah terdengar sejak gubernur dan
bupati/walikota dipilih secara langsung. Tetapi kita tidak mungkin
mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Tidak konstitusional, kata
MK. Tetapi apalah artinya rakyat memilih pemimpinnya secara demokratis kalau
kemudian hasilnya adalah pemerintahan yang tidak efektif, bahkan koruptif.
Banyangkan ke depan, apa
jadinya republik ini jika publiknya tidak punya nilai-nilai panduan
berpolitik. Bayangkan juga ke depan, apa jadinya kalau kita selalu memiliki
pemerintahan daerah yang tidak efektif bekerja sekaligus gemar korupsi?
Saya khawatir, kita sedang
menjadi katak yang dicemplungkan dalam panci berair dingin. Lalu panci itu
ditaruh di atas kompor membara. Oleh karena itu, jika ingin selamat, jangan
biarkan situasi ini berlarut. Jadwal pemilu dan pilkada harus diubah guna
mendorong terbentuknya koalisi yang kongruen.
Untuk mencapai situasi
tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit, karena ada ilmunya, ada
teorinya, dan ada pengalamannya. Hanya butuh kemauan politik saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar