Duet
Maut Polri-KPK
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
04 Januari
2018
Polri dan KPK berduet
maut. Badan Reserse Kriminal Polri membentuk Satuan Tugas Antipolitik Uang. Kepala
Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo sudah setuju
pada Desember lalu. Ini sinyal keras untuk para politikus yang masih bandel
dan masih berpikir primitif untuk memenangi sebuah kontestasi dalam pemilihan
kepala daerah dengan mengandalkan politik uang.
Politik uang, ini yang
terpaksa harus dituliskan, sudah ”mentradisi” dalam politik di negeri ini.
Barangkali tiada—tepatnya sedikit sekali—politikus yang percaya bahwa uang
tidak berpengaruh dalam politik. Andai bertahan dengan pandangan seperti itu,
mereka bisa goyah juga karena politikus lain akan memilih cara yang mereka
tidak pilih. Jadi dilematis. Memilih jalan bersih di politik adalah dunia
yang sepi. Tak heran, tidak sedikit politikus tergoda. Sebab, sering kali ada
pembenaran bahwa demokrasi sekarang digambarkan sangat mahal.
Sebetulnya politikus yang
masih mengandalkan politik uang tidak saja gagal menemukan cara-cara
demokratis dalam setiap kontestasi, tetapi justru memperlihatkan nafsu kuasa
yang sangat ambisius. Pendek kata, kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat untuk
mengabdi kepada rakyat. Kalau sudah begitu, kekuasaan harus direbut dengan
cara apa pun. Tipikal politikus begini mengarah pada cara-cara Machivellis.
Politikus seperti itulah
yang menyuburkan—meminjam guru besar ilmu politik Jeff Haynes—demokrasi
permukaan, bukan demokrasi substantif. Menurut Tito Karnavian, politik uang
itu berdampak negatif pada proses demokrasi. Hampir dua dekade
pascareformasi, demokrasi masih rapuh. Semakin kampanye antipolitik uang
digencarkan, justru praktik politik uang tetap saja terjadi. ”Dengan terus
mencari uang untuk membiayai kampanye, sistem politik itu tidak dapat
berfungsi,” kata filsuf politik John Rawls (1921-2002).
Contoh paling jelas adalah
penangkapan sejumlah kepala daerah oleh KPK. Sepanjang tahun 2017, sejumlah
kepala daerah dan politikus ditangkap karena terbelit kasus korupsi. Sebut
saja, misalnya, Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), Achmad Syafii (Bupati
Pamekasan), Siti Mashita Soeparno (Wali Kota Tegal), OK Arya Zulkarnaen
(Bupati Batu Bara), Eddy Rumpoko (Wali Kota Batu), Tubagus Iman Ariyadi (Wali
Kota Cilegon ), serta Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara). Juga Iwan
Rusmali (Ketua DPRD Kota Banjarmasin) bersama Andi Effendi (Wakil Ketua DPRD
Banjarmasin ) dan paling menggemparkan Setya Novanto (Ketua DPR).
Tahun 2018 ini ada 171
pilkada yang akan digelar serentak di 39 kota, 115 kabupaten, dan 17
provinsi. Pesta demokrasi serentak itu digelar pada 27 Juni 2018. Hampir bisa
dipastikan pesta demokrasi lokal itu akan ramai sehingga tak heran tahun 2018
disebut sebagai tahun politik. Koalisi, aksi, dan manuver politikus dan
partai politik akan membuat warna politik tahun ini begitu semarak. Politik
uang disinyalir akan masif.
Jika mencermati perhelatan
demokrasi tersebut, duet Polri dan KPK diharapkan benar-benar duet maut.
Kerja sama dua institusi yang dikenal sebagai penegak hukum dalam
pemberantasan korupsi itu dibayangkan akan menyadarkan politikus untuk tidak
lagi bermain-main dengan politik uang. Hal ini tentu harus didukung dengan
soliditas Polri dan KPK yang kuat. Ingatan lama tentang relasi Polri dan KPK
yang ”benci tapi rindu”, semisal kasus cicak versus buaya (2009), dampak
pengusutan kasus korupsi SIM di Korlantas (2012), atau kriminalisasi pimpinan
KPK (2015), tak menjadi riak-riak yang mengganggu kerja sama itu. Rasanya itu
sudah selesai sehingga kali ini duet Polri dan KPK benar-benar maut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar