Masihkah
Anda Mengidolakan Ahok?
Xavier Quentin Pranata ; Dosen dan Pembicara Publik
|
DETIKNEWS,
11 Januari
2018
Di tengah panasnya api
pemberitaan negatif tentang Ahok, saya menemukan sejuknya oase karya Yanu
Arifin di detikSport berjudul Maukah Kamu Berganti Klub Idola Jika Ditawari
Mobil dan Uang Rp 3,2 M? Intinya begini. Artikel itu membahas video
Bundesliga yang mengunggah video teaser yang ditujukan bagi para fans yang
sedang menganggur karena jeda musim dingin.
Dua orang 'agen' diminta
untuk merayu para maniak bola untuk memindahkan loyalitas mereka ke klub bola
lain. Oliver Roemer loyalis Borussia Dortmund, Michael Zeman pendukung Bayern
Munich, dan Martin Siermann 'bonek' Borussia Moenchengladbach diiming-imingi
uang, mobil, dan popularitas agar memindahkan dukungan ke klub lawan.
Roemer diminta untuk jadi
fans Schalke 04 —rival Dortmud dalam derby Ruhr— Sierman digoda untuk
mendukung FC Koln —rival Gladbach dalam derby Rhine— dan Zeman dirayu untuk
mendukung Dortmund, rival Bayern.
Bagaimana hasilnya?
Sungguh mengagumkan dan membuat saya terharu.
"Tindakan ini seperti
menjual identitas saya. Saya tidak bisa melakukannya," tampik Roemer.
"Tidak, uang tak jadi
soal. Ini urusan hati. Saya terlahir sebagai fans Gladbach dan akan tetap
seperti itu," tegas Siermann.
"Saya fans Bayern.
Sekali Bayern, tetap Bayern," tepis Zeman.
Video Bundesliga itu
diakhiri dengan kalimat yang menyentakkan kesadaran kita semua, "Fans
sejati tidak bisa dibeli!"
Alangkah bedanya apa yang
terjadi di lapangan bola dengan dunia politik. "Tidak ada kawan sejati
di politik, yang ada hanya kepentingan pribadi," begitu ucapan yang sering
saya dengar. Belantara berita tentang Ahok pun membuat orang yang tidak punya
peta pikiran yang jernih bisa ikut tersesat.
"Ah, berita hoaks kok
disebarin," begitu komentar sinis seorang ibu di acara arisan.
"Paling-paling untuk
mengalihkan isu kerja pejabat yang nggak bener," ujar seorang sopir
taksi online.
"Saya kok nggak
percaya orang sekaliber Ahok bisa menceraikan istrinya," ujar seorang
dokter.
"Mengapa tidak? Tidak
ada orang yang steril terhadap kesalahan," ujar seorang notaris.
"Jika pernikahan Ahok
dan Veronika Tan bubar, masalah buat lo?" begitu tulis sahabat saya.
Pemberitaan masalah
keluarga Ahok ini bahkan lebih gaduh daripada kasus perceraian musisi
kenamaan dengan penyanyi papan atas tanah air, lebih riuh ketimbang bintang
film kenamaan yang terjerat narkoba, bahkan lebih gemuruh ketimbang
perseteruan antara motivator kondang dengan anaknya.
"Kok begitu saja
diributin?" ceplos seorang anak SD.
Saya senang dengan
komentar polos kids zaman now ini. Mengapa? Banyak stigma negatif yang
dicapkan di dahi mereka oleh adults zaman old kepada mereka. Ternyata mereka
justru punya pikiran yang lebih jernih dan belum terpolarisasi antara lovers
dan haters, terpolusi dengan berbagai kepentingan dan terdekadensi dengan
keuntungan sesaat.
"It is easier to
build strong children than to repair broken adults," ujar F. Douglass
yang saya amini dengan cepat dan kencang.
Jika di dunia politik
kawan bisa menjadi lawan, akankah lovers Ahok bisa menjadi hater-nya di
kemudian hari karena terlalu kecewa dengan 'kejatuhan' idola mereka? Apakah
haters Ahok bersorak sorai karena tokoh yang dibencinya hancur?
Jawabannya kembali kepada
pertanyaan yang sangat mendasar: "Mengapa mereka menjadi lovers? Mengapa
mereka menjadi haters?" Jika jawaban mereka mengambang, bahkan mengikut
arus seperti, "Karena banyak orang yang mengidolakan, saya jadi
ikut," atau, "Karena teman-teman saya membencinya, saya juga,"
maka orang-orang seperti inilah yang akan dibuat bingung, bahkan kehilangan
arah, saat idola atau musuh mereka mengalami perubahan sikap.
Mereka kehilangan arah dan
sikap hidup karena mengikuti arus bernama floating mass. Hanya ikan mati yang
terseret arus.
Ketimbang jadi ikan asin,
apalagi ikan mati membusuk, lebih baik kita menjadi manusia salmon, bukan manusia
setengah salmon.
Saat berada di Salmon Run
di Kanada bersama keluarga, saya bisa melihat dari jarak amat dekat para
salmon yang dengan penuh perjuangan meloncati setiap rintangan untuk kembali
ke tempat mereka berasal. Di sana mereka akan kawin, bertelur, dan mati.
Meski jalurnya itu-itu
saja, tetapi salmon punya tujuan yang jelas: hidupnya bermanfaat. Bukan hanya
bagi keluarganya, tetapi juga komunitasnya dan terlebih bagi penggemar
sashimi seperti saya dan putra bungsu saya.
Kembali ke pertanyaan
inti: bagi para die hard Ahoker, "Masihkah Anda mengidolakan Ahok?"
Sekali lagi, jawaban Anda menentukan kualitas nilai dasar yang Anda pegang
selama ini. Apakah Anda mengidolakan Ahok karena prestasi, prestise, atau
pribadi? Jika semua unsur yang Anda idolakan itu runtuh, apakah kecintaan
Anda terhadapnya ikut luruh? Ketika idola Anda rubuh, apakah Anda ikut jatuh
bersamanya?
Tiba-tiba saja saya
teringat dengan lagu diva pop idola orang sedunia, Michael Jackson.
Perhatikan lirik lagu Man In The Mirror berikut:
I'm
starting with the man in the mirror
I'm
asking him to change his ways
And
no message could have been any clearer
If
you wanna make the world a better place
Take
a look at yourself and then make a change
Saat idola kita mengambil
langkah yang berbeda dengan kita, kita ingin —bahkan paksa— dia untuk
berubah. Kita merasa langkah kita jauh lebih baik daripada dia. Seperti lagu
di atas, ketimbang kita berusaha keras untuk mengubah dia menjadi seperti
yang kita harapkan, dan kecewa berat saat itu tidak terjadi, mengapa kita
tidak mengubah diri kita sendiri agar dunia menjadi tempat yang lebih indah
untuk dihuni dan dinikmati?
Ketimbang mengidolakan
figur publik, mengapa tidak berusaha sungguh-sungguh untuk meninggikan Sang
Khalik agar kita bisa menjadi yang terbaik?
Saat bingung menjawab
pertanyaan ini, marilah kita melihat ke cermin dan berkata, "Fans sejati
tidak bisa dibeli." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar