Mengembalikan
Fungsi Media Sosial pada Fitrahnya
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS,
12 Januari
2018
Alkisah, ada seorang
pemuda yang kebetulan terdampar di sebuah pulau bersama Cindy Crawford.
Tentu, jika dua orang lawan jenis terperangkap dalam kondisi seperti itu,
tentu kita muda menebak apa yang bakal terjadi. Mereka pun akhirnya bercinta.
Namun, setelah bercinta
dengan Cindy Crawford, sang pemuda masih merasa kepuasannya belum lengkap.
Seperti masih ada yang kurang. Maka ia mengajukan request kepada Cindy untuk
berdandan seperti temannya, memakai celana, dan kumis palsu.
Ketika sudah beres
berdandan, tiba-tiba ia langsung berujar, "Hei, kamu tahu apa yang
terjadi padaku tadi? Aku bercinta dengan Cindy Crawford loh!" Kita paham
maksudnya, ternyata si pemuda baru merasa puas dan senang ketika sudah pamer
kepada temannya. Ia bangga sekali karena telah bercinta dengan model asal
Amerika yang aduhai itu. Saya pun seketika tertawa setelah membaca kisah ini,
karena sadar bahwa hasrat manusia itu lucu.
Lelucon tersebut saya
dapatkan dari buku The Plague of Fantasies (1997) karya Slavoj Žižek —salah
saeorang filsuf abad ke-21 yang sekarang paling beken. Dalam leluconnya,
Žižek sebetulnya sedang menjelaskan tentang teori kepuasan dan kenikmatan
dalam psikologi Jacques Lacan. Namun, tentu kita bersepakat bahwa lelucon
tadi juga bisa menjelaskan banyak hal, termasuk fungsi media sosial pada
zaman ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan, fungsi media sosial saya kira
memang juga hanya untuk pamer. Alias, sekedar untuk menggenapi hasrat narsis
kita belaka.
Jika ada yang berkilah
bahwa fungsi media sosial adalah untuk berjejaring dan berbagi informasi,
maka ini pun tidak salah. Hanya saja, saya anggap ini merupakan fungsi
sekundernya. Fungsi primernya tetap sama: pamer. Lagi pula, fungsi
berjejaring pertemanan dulu sudah cukup ditopang oleh aplikasi perpesanan dan
milis grup email. Sehingga pamer adalah fitrah dari fungsi sosial media yang
sesungguhnya.
Fungsi ini semakin menjadi
niscaya ketika beberapa platform media sosial mengembangkan beberapa fitur
yang mendukung kegiatan pamer ini. Kini Facebook menyediakan fitur live
streaming yang memungkinkan semua pemakainya bisa siaran selama 24 jam
nonstop. Instagram pun juga sudah sejak lama memasang fitur Instagram story
yang juga bisa berfungsi sebagai diary harian para penggunanya.
Maka wajar kali waktu di
Instagram story ada kawan yang sedang pamer aktivitas minum kopi di warung
kopi elit sembari memamerkan aneka cup gelas berisi kopi mahal. Atau, di lain
waktu Anda juga bisa mengintip Instagram story seorang "dedek
gemes" sedang pamer semangkuk bibimbap di sebuah restoran Korea. Jangan
pula gegabah memandang rendahan mereka yang sedang live streaming ketika
sarapan bubur ayam di pinggir jalan.
Tak ada yang salah dari
laku-laku pamer tersebut. Karena memang begitulah fitrahnya. Pamer menjadi
salah satu kebutuhan untuk menunjukkan keberadaan kita sebagai pribadi, dan
media sosial menjadi wadahnya.
Berpuluh tahun silam,
Abraham Maslow pun sudah mencetuskan teori piramida kebutuhan dasar manusia.
Ia mengatakan bahwa kebutuhan dasar yang paling puncak adalah aktualisasi
diri. Ketika kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, dan penghargaan sudah
terpenuhi maka setiap manusia pun berhak akan hasrat mengaktualisasi dirinya.
Mungkin sekarang justru urutannya sudah terbalik.
Maka Anda pun sebaiknya
tak perlu terlampau khawatir dengan artikel-artikel yang membahas media
sosial dan narsisme yang sering dikaitkan dengan gejala gangguan psikologis.
Karena, pamer atau narsis memang fitrah kita, sekali lagi. Tentu saja, selama
hasrat ini masih dalam batasan wajar dan tidak mengganggu ketertiban sosial.
Justru masalah-masalah
yang belakangan ini membuat ruang media sosial menjadi rusak bukan karena
laku pamer atau narsisme tadi. Namun, pangkal masalahnya adalah sampah
bernama hoaks, egosentrisme pada pendapat pribadi, pergunjingan nirfaedah,
hingga perundungan yang berujung pada ujaran kebencian.
Perlahan-lahan media
sosial mulai menjauhi fitrahnya yang semula. Fungsinya bukan lagi hanya untuk
berjejaring dan pamer. Namun, yang lebih gawat adalah untuk membunuh karakter
seseorang.
Media sosial mulai jadi
alat paling ampuh untuk menebarkan hoaks. Persebarannya jauh lebih cepat
ketimbang pesan SMS berantai. Setiap saat kita bisa dengan mudah mendapatkan
berita bohong yang kesannya cukup meyakinkan. Misalnya, tentang kampanye
hitam yang menyerang salah satu bakal calon gubernur.
Masyarakat awam yang baru
mengenal media sosial atau aplikasi Whatsapp barangkali akan mudah termakan
hoaks sejenis itu. Namun, bukan berarti orang dengan kapasitas intelektual
tidak bisa menjadi korban hoaks. Karena hoaks juga bisa terkesan sebagai
sebuah kebenaran sahih bila terus dikonsumsi secara rutin. Di sinilah kita
tahu bahwa media sosial bisa menjadi corong propaganda yang paling ampuh
sekaligus berbahaya.
Lalu, ruang media sosial
pun menjelma jadi ring tinju antar-ego pribadi. Pada mulanya kita bersyukur,
karena media sosial telah berjasa memangkas jarak-jarak sosial yang dulu
mustahil ditembus. Kini, Anda bisa dengan mudah bersahut-sahutan komentar
dengan salah satu selebritis idola Anda hanya melalui akun Instagram.
Namun sialnya, jarak
sosial yang terpangkas ini justru menghadirkan masalah baru. Orang jadi mudah
bertengkar di media sosial dengan siapa pun. Bertengkar untuk segala perkara,
dari yang remeh temeh perkara pipis ternak sampai perkara tafsir ideologi.
Alih-alih jadi ruang diskusi yang demokratis dan elegan, mereka justru hanya
ingin menampakkan ego pribadi masing-masing. Pada mulanya adalah pertemanan,
ujung akhirnya adalah permusuhan.
Di ranah lain, fungsi baru
media sosial yang tidak kalah seru adalah ketika media sosial menjadi ruang
gosip yang asyik. Bahkan acara-acara gosip di televisi mulai kehilangan
pamornya karena digantikan oleh akun-akun gosip di Instagram. Pergunjingan
pun jadi semakin asyik untuk diikuti setiap saat meskipun sebenarnya
manfaatnya sangat minim.
Fungsi lain media sosial
yang paling gawat adalah ketika menjadi alat untuk melakukan perundungan.
Sudah bukan tontonan langka jika kini seseorang yang menyodorkan pendapat
yang berbeda di media sosial akan lekas mendapatkan perundungan. Bahkan,
dengan cara paling biadab sekalipun.
Dalam bentuknya yang
paling paripurna, masalah-masalah tadi terakumulasi dalam satu varian yang
sama: ujaran kebencian. Orang-orang di dunia nyata kemungkinan besar bisa
baku hantam betulan hanya karena perkara cuitan. Bahkan mereka bisa saling
lapor ke polisi agar salah satu pihak bisa mendekam di penjara.
Pada titik ini seharusnya
kita sadar, bahwa laku narsis di media sosial masih terdengar lazim dan aman.
Kita mestinya justru harus lebih khawatir dengan fungsi-fungsi pragmatis
media sosial yang telah saya paparkan tadi. Kita tentu tak mau ruang berbagi
yang menyenangkan ini menjadi latar propaganda yang didesain oleh orang-orang
culas berkepentingan. Karena pada akhirnya kegiatan itu justru akan
menghilangkan kenikmatan kita saat memasuki ruang media sosial. Bukankah media
sosial juga berfungsi agar kita gampang tersenyum saat dilanda penat?
Jadi, marilah
mengembalikan fungsi media sosial kepada fitrahnya yang semula: pamer! Inilah
fungsi yang paling menyenangkan dan menggenapkan eksistensi kita. Tak perlu
malu atau naif, toh pamer makanan enak atau tempat wisata yang indah jauh
lebih berfaedah ketimbang pamer kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar