Minggu, 14 Januari 2018

Mengembalikan Fungsi Media Sosial pada Fitrahnya

Mengembalikan Fungsi Media Sosial pada Fitrahnya
Rakhmad Hidayatulloh Permana ;  Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar
                                                   DETIKNEWS, 12 Januari 2018



                                                           
Alkisah, ada seorang pemuda yang kebetulan terdampar di sebuah pulau bersama Cindy Crawford. Tentu, jika dua orang lawan jenis terperangkap dalam kondisi seperti itu, tentu kita muda menebak apa yang bakal terjadi. Mereka pun akhirnya bercinta.

Namun, setelah bercinta dengan Cindy Crawford, sang pemuda masih merasa kepuasannya belum lengkap. Seperti masih ada yang kurang. Maka ia mengajukan request kepada Cindy untuk berdandan seperti temannya, memakai celana, dan kumis palsu.

Ketika sudah beres berdandan, tiba-tiba ia langsung berujar, "Hei, kamu tahu apa yang terjadi padaku tadi? Aku bercinta dengan Cindy Crawford loh!" Kita paham maksudnya, ternyata si pemuda baru merasa puas dan senang ketika sudah pamer kepada temannya. Ia bangga sekali karena telah bercinta dengan model asal Amerika yang aduhai itu. Saya pun seketika tertawa setelah membaca kisah ini, karena sadar bahwa hasrat manusia itu lucu.

Lelucon tersebut saya dapatkan dari buku The Plague of Fantasies (1997) karya Slavoj Žižek —salah saeorang filsuf abad ke-21 yang sekarang paling beken. Dalam leluconnya, Žižek sebetulnya sedang menjelaskan tentang teori kepuasan dan kenikmatan dalam psikologi Jacques Lacan. Namun, tentu kita bersepakat bahwa lelucon tadi juga bisa menjelaskan banyak hal, termasuk fungsi media sosial pada zaman ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan, fungsi media sosial saya kira memang juga hanya untuk pamer. Alias, sekedar untuk menggenapi hasrat narsis kita belaka.

Jika ada yang berkilah bahwa fungsi media sosial adalah untuk berjejaring dan berbagi informasi, maka ini pun tidak salah. Hanya saja, saya anggap ini merupakan fungsi sekundernya. Fungsi primernya tetap sama: pamer. Lagi pula, fungsi berjejaring pertemanan dulu sudah cukup ditopang oleh aplikasi perpesanan dan milis grup email. Sehingga pamer adalah fitrah dari fungsi sosial media yang sesungguhnya.

Fungsi ini semakin menjadi niscaya ketika beberapa platform media sosial mengembangkan beberapa fitur yang mendukung kegiatan pamer ini. Kini Facebook menyediakan fitur live streaming yang memungkinkan semua pemakainya bisa siaran selama 24 jam nonstop. Instagram pun juga sudah sejak lama memasang fitur Instagram story yang juga bisa berfungsi sebagai diary harian para penggunanya.

Maka wajar kali waktu di Instagram story ada kawan yang sedang pamer aktivitas minum kopi di warung kopi elit sembari memamerkan aneka cup gelas berisi kopi mahal. Atau, di lain waktu Anda juga bisa mengintip Instagram story seorang "dedek gemes" sedang pamer semangkuk bibimbap di sebuah restoran Korea. Jangan pula gegabah memandang rendahan mereka yang sedang live streaming ketika sarapan bubur ayam di pinggir jalan.

Tak ada yang salah dari laku-laku pamer tersebut. Karena memang begitulah fitrahnya. Pamer menjadi salah satu kebutuhan untuk menunjukkan keberadaan kita sebagai pribadi, dan media sosial menjadi wadahnya.

Berpuluh tahun silam, Abraham Maslow pun sudah mencetuskan teori piramida kebutuhan dasar manusia. Ia mengatakan bahwa kebutuhan dasar yang paling puncak adalah aktualisasi diri. Ketika kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, dan penghargaan sudah terpenuhi maka setiap manusia pun berhak akan hasrat mengaktualisasi dirinya. Mungkin sekarang justru urutannya sudah terbalik.

Maka Anda pun sebaiknya tak perlu terlampau khawatir dengan artikel-artikel yang membahas media sosial dan narsisme yang sering dikaitkan dengan gejala gangguan psikologis. Karena, pamer atau narsis memang fitrah kita, sekali lagi. Tentu saja, selama hasrat ini masih dalam batasan wajar dan tidak mengganggu ketertiban sosial.

Justru masalah-masalah yang belakangan ini membuat ruang media sosial menjadi rusak bukan karena laku pamer atau narsisme tadi. Namun, pangkal masalahnya adalah sampah bernama hoaks, egosentrisme pada pendapat pribadi, pergunjingan nirfaedah, hingga perundungan yang berujung pada ujaran kebencian.

Perlahan-lahan media sosial mulai menjauhi fitrahnya yang semula. Fungsinya bukan lagi hanya untuk berjejaring dan pamer. Namun, yang lebih gawat adalah untuk membunuh karakter seseorang.

Media sosial mulai jadi alat paling ampuh untuk menebarkan hoaks. Persebarannya jauh lebih cepat ketimbang pesan SMS berantai. Setiap saat kita bisa dengan mudah mendapatkan berita bohong yang kesannya cukup meyakinkan. Misalnya, tentang kampanye hitam yang menyerang salah satu bakal calon gubernur.

Masyarakat awam yang baru mengenal media sosial atau aplikasi Whatsapp barangkali akan mudah termakan hoaks sejenis itu. Namun, bukan berarti orang dengan kapasitas intelektual tidak bisa menjadi korban hoaks. Karena hoaks juga bisa terkesan sebagai sebuah kebenaran sahih bila terus dikonsumsi secara rutin. Di sinilah kita tahu bahwa media sosial bisa menjadi corong propaganda yang paling ampuh sekaligus berbahaya.

Lalu, ruang media sosial pun menjelma jadi ring tinju antar-ego pribadi. Pada mulanya kita bersyukur, karena media sosial telah berjasa memangkas jarak-jarak sosial yang dulu mustahil ditembus. Kini, Anda bisa dengan mudah bersahut-sahutan komentar dengan salah satu selebritis idola Anda hanya melalui akun Instagram.

Namun sialnya, jarak sosial yang terpangkas ini justru menghadirkan masalah baru. Orang jadi mudah bertengkar di media sosial dengan siapa pun. Bertengkar untuk segala perkara, dari yang remeh temeh perkara pipis ternak sampai perkara tafsir ideologi. Alih-alih jadi ruang diskusi yang demokratis dan elegan, mereka justru hanya ingin menampakkan ego pribadi masing-masing. Pada mulanya adalah pertemanan, ujung akhirnya adalah permusuhan.

Di ranah lain, fungsi baru media sosial yang tidak kalah seru adalah ketika media sosial menjadi ruang gosip yang asyik. Bahkan acara-acara gosip di televisi mulai kehilangan pamornya karena digantikan oleh akun-akun gosip di Instagram. Pergunjingan pun jadi semakin asyik untuk diikuti setiap saat meskipun sebenarnya manfaatnya sangat minim.

Fungsi lain media sosial yang paling gawat adalah ketika menjadi alat untuk melakukan perundungan. Sudah bukan tontonan langka jika kini seseorang yang menyodorkan pendapat yang berbeda di media sosial akan lekas mendapatkan perundungan. Bahkan, dengan cara paling biadab sekalipun.

Dalam bentuknya yang paling paripurna, masalah-masalah tadi terakumulasi dalam satu varian yang sama: ujaran kebencian. Orang-orang di dunia nyata kemungkinan besar bisa baku hantam betulan hanya karena perkara cuitan. Bahkan mereka bisa saling lapor ke polisi agar salah satu pihak bisa mendekam di penjara.

Pada titik ini seharusnya kita sadar, bahwa laku narsis di media sosial masih terdengar lazim dan aman. Kita mestinya justru harus lebih khawatir dengan fungsi-fungsi pragmatis media sosial yang telah saya paparkan tadi. Kita tentu tak mau ruang berbagi yang menyenangkan ini menjadi latar propaganda yang didesain oleh orang-orang culas berkepentingan. Karena pada akhirnya kegiatan itu justru akan menghilangkan kenikmatan kita saat memasuki ruang media sosial. Bukankah media sosial juga berfungsi agar kita gampang tersenyum saat dilanda penat?

Jadi, marilah mengembalikan fungsi media sosial kepada fitrahnya yang semula: pamer! Inilah fungsi yang paling menyenangkan dan menggenapkan eksistensi kita. Tak perlu malu atau naif, toh pamer makanan enak atau tempat wisata yang indah jauh lebih berfaedah ketimbang pamer kebencian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar