Musim
Dingin Sejarah
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
03 Januari
2018
Dalam ikhtisar penuh rasa
hayat dan makna sejarah, cendekiawan Kuntowijoyo (”Menuju Masyarakat
Pasca-Kapitalis”, Kompas, 4-5 September 1990) menyebut ”lautan mengalir ke
sungai” untuk melukiskan penghancuran basis sosial-ekonomi lokal di Jawa pada
periode kapitalisme agraris setelah era Tanam Paksa (1830-1870).
Pada masa Raja Pakubuwono
IX dan Pakubuwono X itu, para bangsawan menyewakan tanah lungguh kepada
swasta Belanda. Petani juga menyewakan tanahnya sehingga budaya patron-klien
khas ”kawulo-gusti” pudar, upeti berganti pajak, dan rakyat diupah. Raja jadi
penjamin ketersediaan
tanah dan tenaga kerja untuk onderneming (perkebunan) swasta.
Monetisasi dan banjir
modal skala masif dan mengisap itu akhirnya memicu perlawanan rakyat yang
beraliansi dengan kaum intelektual. Setelah Boedi Oetomo 1908, lahir Sarekat
Dagang Islam (1909) yang berubah menjadi Sarekat Islam (1912) dengan pelopor
Raden Mas Tirto Adisoerjo dan Tjokroaminoto. Juga Indische Partij (1911) yang
dimotori tiga serangkai: Tjipto Mangoenkosoemo, Douwes Dekker, Soewardi
Soerjaningrat.
Pergolakan petani pun
muncul di sejumlah wilayah (misalnya diuraikan dalam disertasi Sartono
Kartodirdjo, 1966: Pemberontakan Petani Banten 1888). Latar sejarah ini
direkam secara satire oleh Pujangga Ronggowarsito dalam tembang
”Kusumawicitra”: ”Jika zaman sudah rusak atau Kaliyuga, tidak ada yang
melebihi orang kaya. Orang pandai, berani, pertapa/pendeta semua menyembah
dan menghadap orang kaya. Semua perbuatan berdasarkan upah” (Wulang Dalem
Warna-Warni, 1983).
Depolitisasi
Kuntowijoyo menerangkan,
koreksi terhadap hegemoni modal didukung kekuasaan seperti tercetus saat
Peristiwa Malari 1974 bukan merupakan gerakan permanen. Reforma agraria belum
menjadi kebutuhan bersama karena trauma masa lalu yang dimanfaatkan secara
efektif oleh rezim Orde Baru. Berlainan dengan sejarah transformasi sosial-ekonomi-politik
di Barat, perlawanan rakyat dan kekuatan sosial-politik di era kapitalisme
agraris semakin surut justru di era kapitalisme industrial.
Uraian itu beroleh bukti
kuat sekarang. Kekayaan nasional dikuasai oleh sedikit penduduk. Segelintir
perusahaan menguasai ratusan ribu, bahkan jutaan hektar lahan. Beberapa
korporasi menguasai produksi hulu sampai hilir di industri pangan. Ekonomi
rente erat melekat dalam lisensi dan konsesi. Mentalitas ”kacung” menetap dan
prinsip keadilan lunglai berhadapan dengan kekuatan modal.
Andreas Ulfen (Political
Parties in Post-Suharto: Between Politik Aliran and Philippinisasi, 2013)
menyimpulkan situasi Indonesia serupa Filipina dengan enam gejala mencolok.
Pertama, partai politik dibentuk untuk memobilisasi massa mengambang guna
mengusung kandidat pada kontestasi pemilihan kepala daerah dan pemilihan
presiden. Kedua, otoritas partai memusat pada figur personal atau sekumpulan
elite. Ketiga, ”politik uang” melanda semua partai karena miskin ideologi dan
krisis kaderisasi. Keempat, loyalitas lemah sebagaimana tecermin dari
munculnya banyak petualang politik. Kelima, merebaknya kolusi dan koalisi
cair yang didukung kartel ekonomi-politik. Keenam, bermunculan ”raja-raja
baru” yang menggandeng pemodal besar di tingkat lokal.
Demokrasi tanpa pendidikan
politik rakyat menyuburkan fragmentasi sampai akar rumput, termasuk dengan
memperdagangkan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Seluruh
pertanda ini tidak hanya mencabik-cabik bangunan kebangsaan, menyuburkan
kepentingan elite, tetapi juga menjauhkan cita-cita politik ideal untuk
memajukan bangsa. Pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew (One Man’s View of the
World, 2013), meramalkan bahwa kemacetan proses politik, korupsi, dan
infrastruktur buruk bakal menyulitkan Indonesia meraih kemajuan fundamental
20-30 tahun mendatang.
Pemerintahan Joko Widodo
giat memacu infrastruktur, tetapi belum efektif memelopori perubahan
substansial supra-infrastruktur politik, mencegah dan memberantas korupsi
terstruktur. Ketiganya merupakan elemen kunci perubahan, selain perombakan
radikal sistem pendidikan untuk menjemput tantangan zaman.
Tidak
menjejak
Dalam kurun waktu lama,
kita disuguhi fakta pahit berupa ketidaksejajaran capaian agregat makro
positif (pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi terkendali, neraca transaksi
berjalan aman, dan nilai tukar stabil) dengan kualitas pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia di peringkat ke-109 dari 166 negara, kemiskinan
absolut tinggi dan rentan (10,58 persen dari total penduduk), pengangguran
terbuka dan terselubung bertahan tinggi (72,67 juta orang bekerja di sektor
informal), derajat ketimpangan masih lebar, kualitas pendidikan dan
kompetensi tergolong sangat rendah. Seluruh ikhtiar pemerintah dan bangsa
mestinya fokus pada gugusan persoalan ini.
Denyut ekonomi negara yang
tidak beresonansi dengan kesejahteraan rakyat itu mengingatkan fenomena
”Dutch Disease”: kaya sumber daya alam, tetapi rendah kemajuan ekonomi
rakyatnya. Pembuat kebijakan dan ekonom alpa mencermati keganjilan tanpa
henti dan tidak menjejak hakikat ini dan kemudian berikhtiar memecahkan akar
masalahnya.
Sejak lama juga diketahui
realitas keterlepasan sektor riil dan sektor keuangan. Harga dana tetap mahal
dan sukar diakses. Biaya atas modal jauh di atas negara-negara lain sehingga
produksi tidak kompetitif. Imbalan atas modal yang jauh melebihi upah tenaga
kerja, biaya produksi barang dan jasa itu jelas menunjukkan sektor keuangan
dan faktor-faktor pengaruhnya tidak sehat.
Endapan persoalan
kapitalisme agraris dan ketidakcukupan syarat menuju kapitalisme industrial
mengantarkan pada keperluan menata ulang bangunan ekonomi-politik yang
memberi jaminan dan kepastian transformasi berada dalam kendali anak bangsa.
Keadilan dan kemajuan hanya mungkin terwujud manakala semua kekuatan
sosial-ekonomi-politik mengoreksi dan merumuskan kembali jalannya republik
ini.
Lemah
pendekatan
Kendati banyak kebijakan
dan program pemihakan pada rakyat dan golongan lemah, seluruh instrumen dan
perangkat operasionalnya belum didesain untuk pemberdayaan dan pendampingan
tiada lekang. Dari temuan data empirik ketika saya mengunjungi sentra
perikanan rakyat di pulau-pulau terdepan, November-Desember 2017, terkuak
fakta bagaimana persoalan klasik berkelindan sedemikian rupa sehingga menihilkan
tujuan pemberdayaan dan kesejahteraan sesuai mandat Inpres No 7/2016 dan
Perpres No 3/2017 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Pangkalan pendaratan ikan
Oeba dan Tenau di Kupang, Larantuka di Flores Timur, Maumere di Sikka (Nusa
Tenggara Timur); Selat Lampa di Natuna (Kepulauan Riau); Sanggeng di
Manokwari (Papua Barat); serta Mahadi di Jayapura dan Paumako di Timika
(Papua), semuanya tidak mencerminkan visi dan tekad kuat memajukan industri
maritim dan perikanan. Prasarana dan sarana seperti pelabuhan, tempat
pelelangan ikan, pabrik es, gudang penyimpanan beku (cold storage) tak
berfungsi optimal (under-utilized) dan sebagian besar mangkrak.
Evaluasi atas kondisi ini
mengerucut pada empat sumber masalah. Pertama, ego sektoral tetap bercokol
kuat, praktis tidak ada koordinasi dan respons cepat tanggap. Kedua,
distribusi dan alokasi wewenang tumpang tindih, cenderung rumit, dan saling
meniadakan. Ketiga, konektivitas logistik lemah, tidak sinkron dengan program
tol laut atau angkutan laut reguler. Keempat, hubungan nelayan dan swasta
untuk kerja sama saling menguntungkan luput dari desain sehingga produk
perikanan laut tidak terolah dan dihargai rendah. Semua masalah itu bukan
problem hari ini, tetapi telah berlangsung sejak lama.
Zaman
keruntuhan
Zaman Kaliyuga dimaknai
”musim dingin sejarah” alias zaman keruntuhan. Situasinya menggambarkan
ketika kaum cerdik-cendekia, para pemberani (militer), dan penjaga moral
(pemuka agama) termarjinalkan. Ironisnya, sebagian malah menyokong elite
status quo dan pemilik kapital.
Dari referensi dunia, kita
mengetahui beberapa solusi aman untuk menjinakkan penetrasi kapital agar
tidak menggerus keadilan dan kebangsaan. Pertama, jalan demokrasi sosial
(welfare state) seperti berlaku di Barat dan diadopsi banyak negara. Model
ini antara lain mengenakan pajak progresif dan selanjutnya dialokasikan untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan sosial. Ia mensyaratkan pemerintahan bersih,
berwibawa, dan efisien. Negara mengawasi harga dan keuntungan agar tidak terjadi
manipulasi pasar oleh kekuatan ekonomi besar.
Kedua, jalan demokrasi
ekonomi seperti diterapkan di negara-negara Skandinavia. Model ini secara
terencana menyusun dan menjalankan peta jalan distribusi modal dan aset
produktif kepada tenaga kerja, negara, atau pemerintah lokal. Ketangguhan
model ini sudah teruji dan relatif tahan banting dari terpaan krisis ekonomi
dunia.
Ketiga, model sosialisme
pasar ala China yang digagas Deng Xiao Peng sejak 1979. Pemerintah tampil
sebagai pemegang otoritas penuh sekaligus katalisator perubahan dalam
mendorong kemajuan ekonomi. Eksperimen besar China butuh waktu
sekurang-kurangnya setengah abad untuk membuktikan ketangguhannya dalam
menandingi model demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Modal sosial kita berserakan
di seluruh negeri dalam rupa-rupa bentuk gotong royong dan kearifan lokal.
Yang belum dilakukan adalah memampukan modal sosial itu agar mencapai
kapasitas optimum. Dalam kaitan ini, mimpi Bung Hatta tentang koperasi sangat
relevan. Koperasi sebagai alat perjuangan dan pembenihan kekuatan
sosial-ekonomi untuk mengangkat harkat dan kesejahteraan rakyat. Kebersamaan
dan persatuan dalam ikatan sosial tak berdaya jika tidak terkonsolidasi dan
tidak memiliki kemampuan atau pengaruh dalam tawar-menawar dengan kekuasaan
dan modal.
Kita masih jauh dari
negara pascakapitalisme dengan karakteristik kunci: transformasi relatif
mulus dalam mengatasi gejolak dan ketegangan menuju konsensus semua kekuatan
sosial-politik-ekonomi. Apakah ”lautan mengalir ke sungai” dan menerjang
habis kekuatan lokal sekaligus meninggalkan endapan kesengsaraan akan
berulang? Perihal ini bergantung pada pemahaman mendalam dan ikhtiar kita
dalam memaknai realitas sejarah dan jejak yang ditimbulkan sampai sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar