Administrasi
Publik dan Oligarki
Miftah Thoha ; Guru Besar Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
03 Januari
2018
Perkembangan ilmu
administrasi publik dan pertumbuhan dalam aktivitas pemerintahan di negara
kita mengalami banyak perubahan, terutama di era Reformasi ini.
Dulu negara kita ini
memilih bentuk negara kesatuan dengan bentuk sistem pemerintahan berupa
sistem kabinet presidensial. Presiden dipilih oleh MPR dari anak bangsa
yang terpilih secara demokratis. Kekuasaan menjalankan aktivitas pemerintahan
atau administrasi negara/ publik berada di tangan satu orang, yakni kepala
negara dan kepala pemerintahan. Memang di satu sisi sistem pemerintahan
seperti itu banyak dirasakan sebagai bentuk pemerintahan otokrasi.
Semua kebijakan atau
keputusan dan pelaksanaan keputusan dilakukan pemerintah pusat.
Desentralisasi daerah sangat terbatas. Pemilihan kepala daerah yang
seharusnya mampu mengelola pemerintahan daerahnya dilakukan oleh presiden
sebagai simbol otorisasi pemerintahan.
Untuk waktu yang cukup
lama, praktik pemerintahan dan sistem administrasi publik dijalankan seperti
itu sehingga perilaku, sikap, dan tata sistem administrasi pemerintah
dijalankan oleh para birokratnya yang otoriter dan tak biasa menerima kritik,
masukan, pendapat, dan saran.
Semenjak UUD 1945
diamandemen, tata kepemerintahan kita berubah sejak era Reformasi sampai
sekarang. Kehidupan sistem demokrasi mulai tumbuh dengan disahkannya UU No 40
Tahun 1999 tentang kebebasan pers. Rakyat tak takut lagi berbeda pendapat.
Pengelola media tak takut lagi dibredel. UU ini diikuti dengan disahkannya UU
tentang kehidupan parpol, UU tentang pemilu, dan UU tentang kedudukan DPR,
DPRD dan MPR.
Mulai tumbuh banyak
parpol, dan presiden awalnya masih dipilih MPR. Setelah lima tahun jabatan
presiden yang dipilih MPR berakhir, jabatan lima tahun berikutnya dipilih
langsung oleh rakyat. Dari sinilah peranan dan kiprah aktivitas parpol
merebut kekuasaan pemerintahan melalui pemilu dimulai. Presiden dicalonkan
parpol atau gabungan parpol, tak lagi seperti dulu dipilih MPR secara
demokratis.
Presiden
partai politik
Sudah dua kali kita
melakukan pemilihan langsung seperti itu. Hiruk-pikuk kampanye dan pilpres
benar-benar kita rasakan peranan rakyat yang mencerminkan sistem demokrasi.
Presiden yang dicalonkan satu parpol utama yang didukung parpol lain
memenangi pemilu.
Inilah awal terjadinya
perubahan sistem pemerintahan presidensial. Kabinet yang dipimpin presiden
terpilih didukung partai pendukung yang memenangi pemilu. Kebijakan publik
yang dilakukan berpusat pada kemauan politik kelompok partai pendukung.
Sistem seperti ini tak jauh dari sistem oligarki yang dilakukan kelompok
orang atau parpol yang berkuasa.
Kabinet presidensial pun
berubah jadi kabinet parpol, diisi pejabat-pejabat partai yang semestinya
tempat aslinya berada di parlemen. Kompetensi dan kualitas menteri yang
seharusnya jadi syarat utama dalam kabinet presidensial tak kelihatan lagi.
Penampilan presiden
sebagai kepala negara kita pun tak bisa dipisahkan dari simbol parpol
pengusungnya. Kalau parpol pengusung berbendera merah, presiden jika memakai
setelan jas akan berdasi merah. Jika bendera parpolnya biru, dasinya juga
biru. Sikap primordialisme dan kepentingan politik partai mulai tampak
karakteristiknya.
Di setiap kementerian ada
jabatan staf khusus. Jabatan ini orang-orangnya diambilkan dari orang parpol
menteri. Staf khusus ini dalam praktik administrasi pemerintahan bisa ikut
terlibat mengendalikan dan memimpin para birokrat pejabat karier aparatur
sipil di kementerian sehingga tata sistem hubungan antara birokrasi dan
politik jauh dari praktik sistem merit. Kekuasaan parpol, terutama kelompok
pendukung atau koalisi partai presiden, menjadi sistem kepemerintahan oligarki.
Sistem ini diperkuat
dengan disahkannya UU Pemilu bahwa capres yang akan maju dalam Pemilu 2019
harus didukung oleh suara threshold 20
persen partai pendukung seperti yang diperoleh dalam Pilpres 2014.
Ambang batas suara 20
persen ini artinya capres yang akan datang tak lebih dari satu atau dua
calon. Politik kekuasaan oligarki sudah tampak dipersiapkan. Praktik seperti
ini dapat diamati ketika pemerintah mengajukan inisiatif perppu tentang
pembubaran ormas menjadi UU yang disetujui kekuatan parpol-parpol pendukung
presiden di DPR.
Betapa kuatnya keputusan
politik ini dapat persetujuan DPR. Kuatnya posisi dukungan presiden oleh DPR
karena politik oligarki partai-partai pendukung sejalan dengan aspirasi
partai pendukung di lembaga legislatif.
Selain itu, berdasar
pengalaman pilpres atau pilkada yang diikuti oleh dua calon, rakyat pendukung
sudah dibagi atas dua kelompok. Kelompok rakyat pemenang atau kelompok rakyat
yang kalah. Dua kelompok rakyat ini kepentingan primordalismenya masih
terus dikembangkan. Perasaan tak senang dan tak mau mendukung kebijakan
dan program kerja pemerintah yang memenangi pemilu atau pilkada masih terus
diembuskan.
Birokrasi
dan politik
Sistem pemerintahan yang
demokratis memang landasan legalitas dari berdiri dan berkembangnya kehidupan
parpol. UU No 40/1999 kemudian diikuti dengan UU No 2, 3, dan 4 Tahun 1999
tentang Parpol, Pemilu, dan Kedudukan DPR, DPRD, dan MPR. Parpol koalisi
pendukung partai presiden terpilih mulai memimpin sistem tata birokrasi
kepemerintahan.
Di AS jabatan politik dari
parpol ini begitu memimpin birokrasi pemerintah tak lagi membawa bendera dan
identitas partainya, tetapi sudah harus jadi pejabat negara (government official) dan
pejabat birokrasi karier yang berkewajiban melaksanakan kebijakan politik dan
tak lagi jadi bawahan atau subordinasi politik, tetapi sebagai pejabat karier
aparatur sipil negara atau pejabat eksekutif tinggi negara.
Hubungan kerja jabatan
politik dan birokrasi karier ini dibangun berlandaskan sistem merit. Di
pemerintahan kita seharusnya sudah tersusun karena UU ASN telah lengkap
mengaturnya. UU ASN menetapkan netralitas ASN adalah tak memihak ke salah
satu parpol dan persyaratan profesionalitas dan kompetensi setiap personalia
aparatur sipil negara menjadi syarat utama perekrutan, penempatan, promosi,
dan pensiun pejabat dan karyawan ASN.
Pelaksanaan sistem merit
yang ditekankan oleh UU tak lagi bisa dijalankan dengan tepat dan benar
lantaran pengaruh dan intervensi politik partai terhadap sistem birokrasi
pemerintah sangat kuat. Peranan kepala daerah dari parpol terhadap seleksi
pemilihan calon pejabat karier yang diusulkan tim seleksi sangat menentukan.
Bukan sistem merit yang dipergunakan, melainkan kepentingan politik partai
kepala daerah. Ketika ada pilkada, PNS yang tak mendukung salah satu calon
akan tamat kariernya.
Pengaruh kekuasaan
oligarki terhadap sistem pemerintahan telah merambah ke daerah-daerah.
Demikian kuatnya pengaruh politik terhadap sistem birokrasi ini menunjukkan
betapa lemahnya upaya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di
persimpangan jalan dan tak ada kemajuan sejak era Reformasi.
Ada tiga hal yang
semestinya direformasi, yakni lembaga birokrasi, sistem yang dipergunakan,
dan pengembangan kualitas sumber daya aparaturnya. Ketiganya menunjukkan
sebaliknya. Sistem merit dan netralitas birokrasi yang dianjurkan oleh UU ASN
belum menunjukkan kemajuan. Kualitas aparatur juga masih banyak
dipertanyakan.
Kiranya perlu ditata dan
dikembalikan lagi kualitas kabinet presidensial yang meletakkan posisi
sentral presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah dari NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar