Jumat, 19 Januari 2018

Ironi Impor Beras

Ironi Impor Beras
Dwi Andreas Santosa  ;  Guru Besar IPB; 
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia
                                                      KOMPAS, 18 Januari 2018



                                                           
Selama tiga tahun pemerintahan ini, gejolak harga beras pernah terjadi pada 2015. Saat itu, harga beras medium rata-rata nasional meningkat tajam dari Rp 9.646 pada Januari kemudian memuncak di angka Rp 10.375 pada Maret 2015.

Harga kemudian kembali turun pada April dan Mei. Setelah Mei 2015, harga kembali meningkat tajam dan tidak ada bulan tanpa kenaikan harga beras di tengah ironi klaim peningkatan produksi yang luar biasa, yakni dari 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2014 menjadi 75,4 juta ton GKG pada 2015 atau peningkatan sebesar 6,42 persen (Badan Pusat Statistik/BPS, Juli 2016).

Tak sesuai kenyataan

Klaim produksi dan surplus besar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada karena pada saat bersamaan terjadi fenomena El Nino yang mengganggu produksi padi. Pada saat itu, Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) melakukan kajian lapangan dan berkesimpulan produksi pada 2015 lebih rendah dibandingkan pada 2014 (DA Santosa, ”Kekeringan Mengancam Pangan”, 10/8/2015). Pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk impor beras pada September 2015.

Beras impor dalam jumlah besar masuk pada November dan Desember 2015, masing-masing 318.925 ton dan 291.981 ton. Total impor beras pada 2015 sebesar 861.630 ton (pada 2014 sebesar 844.191 ton) yang berupa beras untuk keperluan umum sebanyak 505.290 ton dan beras pecah (broken rice) 353.453 ton. Impor beras memperlihatkan dampaknya sehingga meski harga beras tetap mengalami peningkatan pada Januari hingga Maret 2016, peningkatannya mulai melandai. Beras impor dalam jumlah besar masuk lagi pada awal 2016, masing-masing sebesar 382.546 ton, serta 296.375 ton dan 303.077 ton pada Januari hingga Maret 2016.

 Panen raya yang dimulai Maret 2016 menyebabkan beras tersedia melimpah pada April sehingga harga kemudian turun. Harga beras sangat stabil hingga Maret 2017, yang ditopang oleh produksi sepanjang tahun karena fenomena La Nina dan impor beras pada 2016 yang totalnya mencapai 1.283.183 ton. Dari jumlah itu, hampir 1 juta ton berupa beras untuk keperluan umum dan 282.177 ton berupa beras pecah serta sangat sedikit beras khusus.

Sepanjang tahun 2016 hingga kuartal pertama tahun 2017 merupakan ”masa keemasan” tata kelola beras. Harga beras pada Januari 2017 bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Januari 2016 yang belum pernah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Sebagaimana pola umum yang terjadi, pada April 2017 harga beras turun tajam dan kemudian meningkat lagi meskipun kecil.

Pada bulan-bulan tersebut serangan hama mulai meluas, terutama wereng batang coklat (WBC) dan kerdil rumput. Dari hasil kajian AB2TI dan kajian lapangan penulis dan tim mulai dari Bogor, Indramayu, hingga Tabanan, Bali, menemukan serangan hama yang masif akibat penanaman padi tanpa jeda sepanjang tahun 2016 dan awal tahun 2017. Hingga Juli 2017 diperkirakan serangan WBC dan kerdil rumput mencapai 407.000 hektar di Jawa dan Bali, yang kemudian diberitakan oleh sejumlah media nasional pada saat itu. Hasil kajian dengan data yang mirip disampaikan juga oleh Departemen Proteksi Tanaman IPB. Berdasarkan hal tersebut, AB2TI berkesimpulan bahwa produksi padi tahun 2017 lebih rendah dibandingkan tahun 2016.

Pada saat bersamaan terjadi peristiwa lainnya, yaitu penggerebekan PT IBU yang menjadi fenomena baru tata kelola pangan di Indonesia. Pedagang-pedagang beras ketakutan sehingga tidak berani melakukan manajemen stok karena bisa dituduh melakukan penimbunan. Pada saat itu banyak penggilingan padi skala kecil mati suri. Pada Agustus, pemerintah mengeluarkan peraturan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium di wilayah produsen sebesar Rp 9.450/kg serta Rp 9.950/kg dan Rp 10.250/kg di luar wilayah produsen. Pelaku usaha yang tidak taat diancam dengan pencabutan izin usaha.

HET tersebut ditetapkan saat harga beras medium rata-rata nasional telah mencapai Rp 10.617/kg dan harga gabah kering panen (GKP) sudah mencapai Rp 4.509/kg (BPS, September 2017), yang jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 3.700/kg. HPP digunakan sebagai salah satu dasar penghitungan penetapan HET. Akibatnya, beras medium mulai langka di pasaran karena pedagang takut menjual di atas harga ketetapan dan/atau diubah menjadi beras premium. HET tidak memiliki dampak apa pun dan harga terus naik hingga September 2017 meskipun dengan kenaikan yang relatif kecil.

Potensi penurunan produksi dan kebijakan baru tata niaga beras menimbulkan kekhawatiran. Hal tersebut terbukti ketika kenaikan harga mulai menajam sejak Oktober. Pada bulan tersebut, AB2TI mengadakan kajian terkait harga GKP di 36 kabupaten di wilayah produsen. Harga GKP meningkat tajam dari Rp 4.509/kg di Agustus menjadi Rp 4.908/kg atau 8,8 persen dalam tempo hanya dua bulan. Pada saat itu tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah untuk mengkaji lebih detail terkait stok beras nasional karena terbuai dengan klaim produksi sebesar 81,57 juta ton GKG serta surplus beras sebesar 17,6 juta ton (Kementerian Pertanian, 2017).

Kekhawatiran kemudian mewujud pada awal Januari 2017 ketika harga beras medium rata-rata nasional melewati batas psikologis sebesar Rp 11.000/kg. Berbagai upaya dilakukan melalui operasi pasar (OP), tetapi tidak berhasil meredam harga beras. OP biasanya berhasil dengan baik apabila stok di pedagang masih ada. Stok gabah di sebagian besar petani anggota AB2TI juga kosong dan mereka sudah menjadi konsumen neto yang ikut terdampak akibat melambungnya harga.

Pada awal Januari 2018, AB2TI kembali melakukan kajian terkait harga GKP di tingkat petani dan mendapatkan bahwa harga GKP telah mencapai Rp 5.667 atau kenaikan sebesar 15,4 persen dibandingkan pada Oktober 2017. Harga GKP terus meningkat dan mencapai rekor baru setinggi Rp 6.000/kg GKP di pertengahan Januari 2018. Jika GKP tersebut dikonversi ke beras, harga beras medium akan menyentuh ke angka Rp 13.000/kg.

Tata kelola beras

 Menghadapi risiko kenaikan harga beras yang tidak terkendali, pemerintah memutuskan melakukan impor beras sebesar 500.000 ton. Keputusan pemerintah tersebut dapat dipahami. Sekalipun ada panen pada Januari dan Februari, jumlahnya biasanya belum memadai untuk memenuhi kebutuhan. Harga akan masih terus meningkat hingga Februari dan Maret. Dalam pola produksi yang normal, Maret biasanya panen raya, tetapi harga masih tetap tinggi karena beras belum tersedia hingga ke konsumen. Baru pada April harga beras biasanya turun.

Sayangnya, keputusan impor tersebut sangat terlambat karena tanda-tanda kekurangan stok sudah jelas terlihat sejak Oktober 2017 dan potensi penurunan produksi tampak sejak Juli 2017. Pemerintah melalui Bulog perlu berupaya keras sehingga beras impor bisa benar-benar datang di pertengahan Februari 2018 sehingga dapat digunakan untuk intervensi pasar. Intervensi pasar bisa dilakukan ketika harga beras medium telah mencapai Rp 13.000/kg. Beras impor sebaiknya disimpan sebagai cadangan untuk tahun 2018 ketika sudah memasuki Maret karena apabila didistribusikan akan berdampak pada penurunan harga gabah di tingkat usaha tani.

Kejadian ini juga menjadi pembelajaran penting untuk tata kelola pangan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Sebagaimana berkali-kali disampaikan, akurasi data produksi dan stok menjadi kunci utama tata kelola pangan yang baik. Presiden perlu mengambil tindakan tegas terkait hal ini.

Dalam kondisi dan situasi yang terjadi seperti akhir-akhir ini, sektor swasta memainkan peran penting dalam upaya merespons harga yang tinggi dan menghindari krisis pangan (Gilbert, University of Trento, Itali, 2012). Hampir seluruh stok pangan berada di tangan pelaku usaha, petani dan masyarakat umum. Dengan demikian, upaya untuk membangun rasa saling percaya antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci penting tata kelola pangan yang baik. Sayangnya, selama tiga tahun terakhir ini kita disuguhi drama ketidakpercayaan yang semakin lebar antara sektor swasta dan pemerintah. Upaya penyelesaian masalah berakhir di upaya mencari ”kambing hitam pelaku usaha” ketika gejolak harga pangan terjadi, yang justru membuat situasi semakin runyam.

Terkait dengan stok yang dipegang pemerintah, kapasitas pemerintah untuk menguasai stok pangan perlu ditingkatkan 10-20 persen dari total produksi sehingga efektif ketika melakukan intervensi pasar. HPP untuk gabah di tingkat usaha tani yang hanya Rp 3.700/kg sudah tidak masuk akal dan mencederai petani. Biaya produksi untuk menghasilkan 1 kilogram gabah sudah mencapai Rp 4.199 (kajian AB2TI, September 2016) sehingga pemerintah perlu segera menaikkan HPP di atas Rp 4.200/kg untuk GKP di tingkat usaha tani sebelum panen raya pada Maret 2018. Penetapan HPP yang terlalu rendah dan tidak mempertimbangkan inflasi serta kesejahteraan petani menjadi penyebab utama mengapa serapan Bulog terus menurun tiap tahunnya.

Terakhir, kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan di Nawacita telah berbelok arah menjadi swasembada pangan. Petani ditempatkan sebagai obyek melalui berbagai program, bantuan dan subsidi input agar berproduksi setinggi-tingginya dan melupakan hakikat terbesar kedaulatan pangan, yaitu menempatkan petani sebagai subyek yang ikut menentukan arah dan kebijakan pertanian, meningkatkan hak dan kedaulatan petani, serta memuliakan petani. Salah satu upaya pragmatis yang bisa ditempuh adalah mengubah berbagai program, bantuan dan subsidi, menjadi subsidi output yang lebih menyejahterakan. Peningkatan produksi adalah berkah karena kita bersungguh-sungguh memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar