Algoritma
Kerja Bersama
Damhuri Muhammad ; Sastrawan; Pengajar
Filsafat
di Universitas Darma
Persada, Jakarta
|
KOMPAS,
18 Januari
2018
Tak terbayangkan
panjangnya petualangan manusia di jagat maya tanpa pintu gerbang bernama
World Wide Web atau yang biasa disingkat www.
Itulah pangkal jalan dari
setiap pengembaraan di dunia digital dengan segala faedah dan kompleksitas
persoalannya.
Tak banyak yang mengenang
siapa yang berjasa menemukan pintu gerbang itu. Dia adalah Tim Berners-Lee,
pria kelahiran London, 8 Juni 1955. Pada 1980, saat bekerja sebagai
kontraktor lepas Conseil EuropÉene pour la Recherche NuclÉaire (CERN)—dewan
yang dibentuk untuk mendiskusikan pembangunan fasilitas penelitian fisika
nuklir di Eropa—Berners-Lee mengajukan proyek berbasis hypertext guna
memfasilitasi pembagian dan pembaruan informasi di antara peneliti. Atas
bantuan Robert Cailliau, ia menciptakan sistem prototipe bernama Enquire.
Pada 1984, Berners-Lee
menggunakan ide yang mirip dengan yang ia gunakan pada Enquire guna
menciptakan World Wide Web. Lalu, ia membuat situs jaringan internet dengan
alamat www.http://info.cern.ch, sekaligus jadi server-web pertama di dunia,
yang mengudara 6 Agustus 1991. Dari
sumbangsih besar Lee inilah awal mula keterhubungan miliaran manusia dari
delapan penjuru dunia dalam ruang tak berbatas bernama cyberspace.
Di usia 62 tahun, Lee
hidup sebagai pribadi yang rendah hati. Ia tak berkeinginan mematenkan
penemuannya, hingga bisa dipakai secara bebas sampai detik ini. Atas jasa
besar itu, lulusan terbaik Fakultas Fisika Queen’s College, Oxford
University, itu memperoleh penghargaan Order of Merit (2007), anugerah
bergengsi di Inggris Raya, penghargaan personal Ratu Inggris yang untuk
memberikannya Sang Ratu tak perlu nasihat dari siapa pun. Keteladanan Lee
ditemukan pula pada sosok Blake Ross, pengembang peranti lunak yang telah
menciptakan Mozilla, fasilitas penjelajah internet. Anak muda kelahiran Miami, Florida, 12 Juni 1985, itu membuat situs web
pertamanya di usia 10 tahun.
Saat Mozilla Web Browser
diudarakan pada 2004, usianya baru 11 tahun. Mozilla kemudian digabungkan
dengan Firefox, program yang diciptakan bersama Dave Hyatt, hingga namanya
menjadi Mozilla Firefox. Secara cepat
Mozilla Firefox diterima pengguna internet karena dinilai lebih aman dan
mudah digunakan, hingga merebut sebagian pasar penjelajah internet yang
sebelumnya dikuasai Microsoft Internet Explorer.
Masyarakat
jaringan
Sebagaimana pintu gerbang
dunia maya temuan Lee, Mozilla Firefo— yang dikembangkan oleh Yayasan Mozilla
dan ratusan sukarelawan—juga dapat digunakan secara cuma-cuma. Dari kerja
para relawan yang dimulai dari tangan dingin Ross, warganet dapat menjelajahi
dunia maya dan berinteraksi di medan- medan pergaulan yang—dalam bahasa
Manuel Castells (2010)— disebut masyarakat jaringan (network society). Tuan
tak akan dapat masuk ke situs media sosial tanpa Mozilla Firefox. Karena
World Wide Web dan Mozilla Firefox, jutaan orang dari berbagai negara,
beregam keilmuan, suku dan agama, saling bertukar informasi, hingga keramaian
itu berujung pada apa yang dibahasakan Castells sebagai mass self
communication, yakni individu-individu yang menggunakan berbagai perangkat
media sosial, lalu mengirimkan pesan yang dapat menjangkau banyak orang.
Namun, apa yang telah dihibahkan oleh Lee
dan Ross untuk kemanfaatan bersama itu kemudian disambut oleh kepentingan
ekonomi yang berdenyut di belakang layar media-media sosial. Dalam pergaulan
digital yang sedang digandrungi, ada sebuah mesin pintar bernama Algoritma.
Dalam bahasa sederhana, Maulida Sri Handayani (2016) menjelaskan cara
kerjanya. Jika Anda sedang kehausan di halte bus transjakarta dan kebetulan ada mesin minuman, Anda
memasukkan koin ke dalam mesin itu. Dalam hitungan detik, keluarlah minuman
yang Anda inginkan.
Tentu bukan jin yang
membuat minuman itu muncul. Tanpa uang, tak mungkin minuman bisa keluar.
Mesin itu punya seperangkat aturan yang memungkinkan minuman bisa keluar saat
Anda memasukkan koin. Seperangkat aturan atau rumus itulah Algoritma. Istilah
ini berasal dari nama matematikawan Baghdad, Mohammed ibn-Musa al-Khawarizmi
(780-850).
Algoritma media sosial semacam Facebook,
misalnya, adalah Algoritma berbasis keseragaman. Kabar terkini yang melintas
di lini masa Tuan adalah hasil saringan dari rekam jejak digital Tuan; buku,
musik, film, olahraga yang Tuan suka, topik perbincangan yang Tuan gemari,
teman yang ingin Tuan gauli, dan semacamnya. Dengan demikian, ia hanya akan
mendekatkan Tuan dengan orang-orang yang punya kesamaan dengan Tuan.
Keseragaman
itu—sebagaimana dicatat oleh Aulia Adam (2017—dapat mengancam iklim
intelektualitas. Orang yang saban hari disuguhi informasi tentang bahaya
pemikiran tertentu bakal alergi dengan gagasan baru yang datang bukan dari
kelompoknya, hingga timbul fanatisme buta.
Aulia Adam mengungkapkan
kecemasan Eli Pariser, seorang
pemerhati internet, dengan istilah Filter Bubble (gelembung saringan).
”Sebuah dunia yang dibangun dari kesamaan adalah tempat kita tak bisa belajar
apa pun,” kata Eli Pariser.
Keterbelahan
warganet
Algoritma inilah penyebab keterbelahan
warganet dalam dua kutub besar; pro
dan kontra, mendukung atau menolak,
kita dan mereka, suka dan
benci. Sulit mendapatkan varian alternatif dari kedua kutub yang terus
berbenturan keras itu. Demikian Algoritma media sosial membentuk cara
berpikir kita. Lalu, jutaan orang dalam dua kutub itu dilahap oleh industri
periklanan.
Apabila kita masih mengharapkan kemanfaatan
luas bagi kebersamaan di dunia virtual, sebagaimana telah dimulai Lee, Ross,
dan pencipta piranti lunak berbasis open-source lain, Algoritma berbahaya itu
mesti diubah menjadi Algoritma sosial untuk kerja bersama. Dalam konteks
Indonesia, pertumbuhan co-working space (ruang bersama) di Bandung, Jakarta,
dan kota-kota lain dua tahun belakangan dapat jadi harapan. Co-working adalah
kerja sama anak-anak muda pendiri startup dan pekerja paruh waktu dengan
konsep open-space atau transparansi, hingga setiap individu di dalamnya aktif
berinteraksi tanpa batasan.
Perjumpaan intens insan-insan kreatif itu
memungkinkan mereka membentuk jaringan dalam berkarya demi kemaslahatan
banyak orang. Tak disangkal, ada bisnis di dalamnya, tetapi merancang,
apalagi memfungsikan sebuah aplikasi digital, tak dapat dilakukan sendiri.
Dibutuhkan banyak keahlian dan mesti tegak di atas etos kerja sama.
Kebutuhan untuk bergotong
royong ini dapat melahirkan Algoritma sosial yang tak berakibat membelah dan
membagi. Dengan demikian, gotong royong yang sudah jadi DNA Pancasila sejak
lama akan berdenyut di dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar