Bangsa
Bukan Dadu Politik Pilkada
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
18 Januari
2018
Dalam perspektif membangsa
dan menegara, melalui serangkaian pilkada serentak, bangsa Indonesia sedang
mendefinisikan diri sebagai bangsa bermartabat. Namun, untuk mewujudkan
cita-cita mulia itu, jalan terjal harus ditempuh. Kompetisi politik
seharusnya disertai spirit sportivitas tinggi. Namun, Pilkada 2018
dibayang-bayangi Pilkada DKI 2017 yang kumuh akibat demagogi dan retorika
politik serta sarat nuansa permusuhan dengan mempertajam politik identitas.
Namun, beberapa kalangan
justru secara terbuka menyatakan agar skema pemenangan Pilkada DKI di-copy
paste (dijiplak) dalam Pilkada 2018, terutama di wilayah yang jumlah
pemilihnya signifikan. Boleh jadi, jika skenario berhasil, sketsa itu mungkin
sekali dipraktikkan dalam pilkada serentak dan Pilpres 2019.
Praktik politik yang dapat
memecah belah bangsa menjadi keprihatinan serta kekhawatiran publik dan
tokoh-tokoh masyarakat, terutama ulama. Tidak bosan-bosannya para pemuka
masyarakat mengajak seluruh komponen bangsa agar Pilkada 2018 tidak gaduh dan
tidak menggunakan sentimen primordial sebagai sarana memperoleh kemenangan.
Dalam dimensi menegara,
pilkada serentak juga akan menegaskan masa depan sosok tata kelola kekuasaan
yang demokratis. Permasalahan paling akut adalah epidemi politik uang yang
tingkat penularannya sangat cepat. Namun, patologi politik itu pasti dapat
diobati karena cukup banyak kader dan tokoh partai politik yang tidak hanya
prihatin, tetapi juga cemas kena giliran menjadi pesakitan penegak hukum,
khususnya KPK.
Kasus musibah
”kesalahpahaman” antara La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Prabowo Subianto
tentang mahar politik harus dijadikan berkah. Momentum ini dapat
dikapitalisasi untuk melakukan penyempurnaan penyelenggaraan pilkada.
Pertama, parpol mendapat dana dari negara disertai prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan sanksi yang jelas dan rinci. Opsi lain, dana sektor swasta
dan publik dengan persyaratan yang sama ditambah lagi dengan kejelasan sumber
dana.
Kedua, desain pilkada
sebaiknya asimetrik. Dimulai dengan memetakan wilayah dengan menentukan
variabel-variabel tertentu sehingga dapat menghasilkan minimal tiga kategori
sistem pemilihan: (1) dipilih langsung, (2) dipilih oleh DPRD, dan (3)
ditunjuk Presiden, misalnya gubernur ibu kota dan daerah lain berdasarkan
pertimbangan strategis dan efektivitas pemerintahan nasional. Dengan
pengaturan itu, diharapkan parpol lebih tenang sehingga kader yang
berkompetisi tidak dibebani untuk menyiapkan dana yang jumlahnya fantastis.
Ketiga, parpol dapat lebih
fokus melakukan pendidikan sehingga menghasilkan generasi muda berkarakter.
Tanpa kader berwatak, parpol adalah kerumunan manusia yang hanya dikendalikan
emosi dan nafsu membabi-buta dalam memburu kemenangan. Melalui serangkaian
agenda ini parpol dapat mereformasi diri secara bertahap.
Terakhir, agenda besar
lebih lanjut adalah penataan dan pengelolaan pemerintah daerah yang
asimetrik. Negara Indonesia yang sangat luas dan beragam, baik dari segi
sumber daya alam, sumber daya manusia, kemampuan daya saing, serta
kepentingan spesifik masyarakat lokal, tidak memungkinkan pemerintahan daerah
diseragamkan.
Semua agenda itu sangat
urgen, mengingat pembiaran kompetisi politik dengan mempergunakan jurus kalap
politik identitas dan politik uang, karena pertaruhannya adalah eksistensi
bangsa dan negara. Bangsa menjadi dadu politik bagi peternak kekuasaan untuk
berjudi membangun imperium kekuasaan. Bangsa bukan kubus kecil yang seenaknya
dijadikan permainan pemuas nafsu serakah.
Agar agenda tersebut
benar-benar dapat diwujudkan, jangan hanya diserahkan kepada elite yang
hampir dapat dipastikan punya kelemahan untuk bersedia mengurangi tingkat
kenyamanannya. Sangat diperlukan keterlibatan masyarakat sipil.
Pilkada yang bebas dari
politik identitas, nirpolitik uang, dan bebas dari kegaduhan adalah harapan
semua pemangku kepentingan. Pilkada DKI 2017 adalah pengalaman pahit, tetapi
sangat berharga. Masyarakat semakin matang, yang dapat dicermati dari respons
publik yang relatif te- nang terhadap Pemprov DKI yang menerbitkan kebijakan
yang dianggap ”melawan arus” dari kebijakan sebelumnya, seperti soal becak,
penataan Pasar Tanah Abang, sepeda motor masuk jalan protokol, ruas jalan
untuk pedagang kaki lima, mengusut kembali kasus RS Sumber Waras, dan
mencabut izin hak guna usaha reklamasi.
Masyarakat semakin arif,
tidak mudah terpancing gerak-gerik politik yang mungkin hanya ingin merawat
trending topic untuk kepentingan Pilpres 2019. Publik dapat belajar dari
pemimpin yang amanah, tetapi juga mampu menimba pelajaran dari penguasa yang
lengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar