Senin, 08 Januari 2018

Ambiguitas Politik Baliho

Ambiguitas Politik Baliho
Asep Salahudin ;  Wakil Rektor I IAILM Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
                                            MEDIA INDONESIA, 04 Januari 2018



                                                           
TENTU saja bagi calon bupati, wali kota, gubernur, atau anggota dewan, ada banyak cara untuk mempromosikan dirinya agar dikenal khalayak. Salah satunya lewat baliho. Karena itu, menjelang musim pilkada (pemilihan kepala daerah) sepanjang jalan dan di ruang publik kita temukan baliho dan spanduk itu.

Bahkan tempo hari saya ke luar daerah, ternyata jalan ke kuburan pun masih sempat dikepung wajah-wajah calon kepala daerah. Tentu mereka paham jenazah tidak mungkin masuk ke TPS, tapi minimal harapan mereka para pengantarnya sepulang dari kuburan masih terpatri dalam ingatan mereka tentang foto-foto itu.

Sejauh mata memandang, sejauh itu pula kita melihat banyak wajah yang memimpikan sekali tampuk kekuasaan dan memohon belas kasihan suara massa. Kebanyakan dari bahasa tubuh dengan sorot mata yang khas tampak sekali keinginan kuat untuk merebut dan bagi petahana mempertahankan kursi kekuasaan atau terwariskan kepada istrinya. Apalagi ditambah kata-kata yang kebanyakan nyaris tidak kreatif, klise, dan bombastis. Biasanya yang pintar bikin kata-kata ialah para penyair, sayang kebanyakan dari mereka tidak punya buncahan libido memburu kursi, bahkan cenderung memunggungi kekuasaan.

Dalam konteks ini tidak berlaku sama sekali sabda Nabi yang meneguhkan bahwa kekuasaan jangan diberikan kepada mereka yang memintanya sebab dipastikan akan berkhianat. Mungkin sabda Nabi dan petuah moral semacam itu cukup sebatas mimbar Jumat atau khotbah di gereja.

Di banyak baliho tidak sedikit gambar itu disandingkan dengan ketua umum partainya dan atau tokoh yang dipandang punya karisma untuk memengaruhi pikiran rakyat. Ini bukan hanya persoalan absennya kepercayaan diri, melainkan semacam siasat 'ngalap berkah' kepada sosok yang punya 'kekuatan' dan bisa menghidupkan mesin partai.

Ternyata 'keberkahan' tidak saja berlaku di dunia tarekat, tapi justru di semesta yang paling profan, politik. Cium-mencium tangan bukan saja saya temukan ketika murid/ikhwan bertemu dengan mursyidnya, melainkan juga saat kader partai berjumpa dengan ketua partainya. 'Tawasul' itu yang sangat konkret dan kita tidak pernah menyebutnya perilaku bidah malah terjadi ketika seseorang ingin dipertemukan dengan sosok-sosok yang dianggap the king makers dalam penentuan kekuasaan.

Mendatangi pesantren

Ternyata tidak cukup sebatas itu. Untuk meraih suara sebanyak-banyaknya (keinginannya satu putaran), dikunjunginya para tokoh masyarakat baik tokoh adat, ketua perserikatan, suhu paguyuban, ketua kopertais/kopertis, penyanyi terkenal, dai kondang, preman pasar, jeger terminal, atau siapa pun juga.

Tentu tidak mungkin sowan sambil tidak membawa apa-apa. Ada sesuatu yang harus dibawa sebagai 'oleh-oleh' yang dapat menjadi daya pengingat dan hubungan itu terus permanen sampai ke bilik suara.
Tidak terkecuali para kiai di pesantren. Merek dianggap sosok yang punya pengaruh besar terhadap santri dan jaringan alumni mereka yang tersebar di banyak tempat. Bukan hanya NKRI yang harga mati, melainkan juga pesantren dan kiainya harga mati yang niscaya disinggahi dalam setiap ritual pilkada.

Apalagi dalam sejarah politik Nusantara, kiai ialah figur yang punya kemampuan menjembatani kepentingan vertikal kekuasaan dengan persoalan horizontal kemasyarakatan. Kiai tidak saja menjadi konsultan keagamaan masyarakat setempat, tapi juga 'penerjemah' fasih persoalan sosial, kebudayaan termasuk politik warga. Kepada kiai dimintakan pendapat mulai dari masa depan karier politik sampai urusan jodoh dan doa agar harmoni ketika mengambil pilihan untuk poligami.

Karena itu, dahulu sosok kiai sangat ditakuti kaum kolonial karena dianggap dan terbukti mampu menggerakkan masyarakat sekitar untuk melakukan perlawanan kepada mereka dengan solid dan padu. Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) para kiai melakukan semua tindakan politiknya itu dengan menggunakan tema-tema keagamaan. Sebut saja misalnya jihad fi sabilillah, demi tegaknya syariat Islam, amar makruf nahi mungkar, tersalurkannya aspirasi umat Islam.

Kata Ibnu Khaldun, sosiolog kelahiran Andalusia, tidak ada yang paling mampu memobilisasi massa kecuali dengan mengerahkan sentimen keagamaan, bahkan tidak sedikit orang rela mempertaruhkan nyawanya atas nama keyakinan agamanya.

Kalau ada orang menyimpulkan bahwa dunia pesantren lekat dengan urusan akhirat dan kiai hanya melulu berbicara ibadah, bukan hanya keliru, melainkan juga menunjukkan secara telanjang kepandirannya. Itulah yang dahulu dibilang almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren sebagai subkultur. Pesantren sebagai agen kebudayaan. Di tangan kiai--meminjam istilah Van Peursen--yang mistik dan teknik dipadupadankan.

Sebuah usaha

Tentu tidak ada yang salah dengan kunjungan langsung atau lewat baliho itu. Namanya saja usaha dan atau niatkan saja sebagai bentuk silaturahim dari calon pemimpin dengan warganya. Persoalan kelak setelah terpilih warga tidak lagi disapa, ini hal lain. Di negara kita, politik sering kali dimaknai sebagai urusan lima tahunan, bukan persoalan harian. Karena itu, jangan heran kalau demokratis yang dirayakan baru sebatas elektoral-prosedural, belum menyentuh sisi substansialnya. Yang terakhir inilah yang salah.

Demokrasi sebatas sejauh mana kita menggunakan hak pilih. Selesai kartu suara itu dimasukkan, politik berhenti di kotak suara. Terkunci di sana. Nyaris selama kekuasaan berjalan sepanjang lima tahun tidak ada kontrol dan akuntabilitas memadai dari yang terpilih dan warga tampaknya juga adem ayem dengan kepala daerah dan anggota dewan pilihannya.

Coba simak, misalnya, tidak sedikit janji kepala daerah misalnya saat kampanye yang belum ditunaikan, tapi kepala daerah itu tidak merasa terbebani dengan seluruh janjinya itu, apalagi juga segenap warga tidak ada yang mempertanyakannya. Warga nyaris menjadi pihak yang pasif dan segala urusan yang menyangkut dirinya tidak pernah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah.

Atau mungkin janji dalam konteks politik di negara berkembang seperti kita ialah sesuatu yang sejak dalam pikiran tidak harus ditunaikan. Janji ialah ucapan verbal sebagai gula-gula untuk memikat massa dan sama sekali tidak ada hubungan simbolisnya dengan upaya merealisasikannya. Janji menjadi semacam komunikasi yang tidak mengandung pesan apa-apa kecuali sekadar dusta. Keterampilan menyuarakan kebohongan seolah kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar