Ambiguitas
Politik Baliho
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU
Jawa Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2018
TENTU saja bagi calon bupati,
wali kota, gubernur, atau anggota dewan, ada banyak cara untuk mempromosikan
dirinya agar dikenal khalayak. Salah satunya lewat baliho. Karena itu,
menjelang musim pilkada (pemilihan kepala daerah) sepanjang jalan dan di
ruang publik kita temukan baliho dan spanduk itu.
Bahkan tempo hari saya ke
luar daerah, ternyata jalan ke kuburan pun masih sempat dikepung wajah-wajah
calon kepala daerah. Tentu mereka paham jenazah tidak mungkin masuk ke TPS,
tapi minimal harapan mereka para pengantarnya sepulang dari kuburan masih
terpatri dalam ingatan mereka tentang foto-foto itu.
Sejauh mata memandang,
sejauh itu pula kita melihat banyak wajah yang memimpikan sekali tampuk
kekuasaan dan memohon belas kasihan suara massa. Kebanyakan dari bahasa tubuh
dengan sorot mata yang khas tampak sekali keinginan kuat untuk merebut dan
bagi petahana mempertahankan kursi kekuasaan atau terwariskan kepada
istrinya. Apalagi ditambah kata-kata yang kebanyakan nyaris tidak kreatif,
klise, dan bombastis. Biasanya yang pintar bikin kata-kata ialah para
penyair, sayang kebanyakan dari mereka tidak punya buncahan libido memburu
kursi, bahkan cenderung memunggungi kekuasaan.
Dalam konteks ini tidak
berlaku sama sekali sabda Nabi yang meneguhkan bahwa kekuasaan jangan
diberikan kepada mereka yang memintanya sebab dipastikan akan berkhianat.
Mungkin sabda Nabi dan petuah moral semacam itu cukup sebatas mimbar Jumat
atau khotbah di gereja.
Di banyak baliho tidak
sedikit gambar itu disandingkan dengan ketua umum partainya dan atau tokoh
yang dipandang punya karisma untuk memengaruhi pikiran rakyat. Ini bukan
hanya persoalan absennya kepercayaan diri, melainkan semacam siasat 'ngalap
berkah' kepada sosok yang punya 'kekuatan' dan bisa menghidupkan mesin
partai.
Ternyata 'keberkahan' tidak
saja berlaku di dunia tarekat, tapi justru di semesta yang paling profan,
politik. Cium-mencium tangan bukan saja saya temukan ketika murid/ikhwan
bertemu dengan mursyidnya, melainkan juga saat kader partai berjumpa dengan
ketua partainya. 'Tawasul' itu yang sangat konkret dan kita tidak pernah
menyebutnya perilaku bidah malah terjadi ketika seseorang ingin dipertemukan
dengan sosok-sosok yang dianggap the king makers dalam penentuan kekuasaan.
Mendatangi
pesantren
Ternyata tidak cukup
sebatas itu. Untuk meraih suara sebanyak-banyaknya (keinginannya satu
putaran), dikunjunginya para tokoh masyarakat baik tokoh adat, ketua
perserikatan, suhu paguyuban, ketua kopertais/kopertis, penyanyi terkenal,
dai kondang, preman pasar, jeger terminal, atau siapa pun juga.
Tentu tidak mungkin sowan
sambil tidak membawa apa-apa. Ada sesuatu yang harus dibawa sebagai
'oleh-oleh' yang dapat menjadi daya pengingat dan hubungan itu terus permanen
sampai ke bilik suara.
Tidak terkecuali para kiai
di pesantren. Merek dianggap sosok yang punya pengaruh besar terhadap santri
dan jaringan alumni mereka yang tersebar di banyak tempat. Bukan hanya NKRI
yang harga mati, melainkan juga pesantren dan kiainya harga mati yang niscaya
disinggahi dalam setiap ritual pilkada.
Apalagi dalam sejarah
politik Nusantara, kiai ialah figur yang punya kemampuan menjembatani
kepentingan vertikal kekuasaan dengan persoalan horizontal kemasyarakatan.
Kiai tidak saja menjadi konsultan keagamaan masyarakat setempat, tapi juga
'penerjemah' fasih persoalan sosial, kebudayaan termasuk politik warga.
Kepada kiai dimintakan pendapat mulai dari masa depan karier politik sampai
urusan jodoh dan doa agar harmoni ketika mengambil pilihan untuk poligami.
Karena itu, dahulu sosok
kiai sangat ditakuti kaum kolonial karena dianggap dan terbukti mampu
menggerakkan masyarakat sekitar untuk melakukan perlawanan kepada mereka
dengan solid dan padu. Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) para kiai
melakukan semua tindakan politiknya itu dengan menggunakan tema-tema
keagamaan. Sebut saja misalnya jihad fi sabilillah, demi tegaknya syariat
Islam, amar makruf nahi mungkar, tersalurkannya aspirasi umat Islam.
Kata Ibnu Khaldun,
sosiolog kelahiran Andalusia, tidak ada yang paling mampu memobilisasi massa
kecuali dengan mengerahkan sentimen keagamaan, bahkan tidak sedikit orang
rela mempertaruhkan nyawanya atas nama keyakinan agamanya.
Kalau ada orang
menyimpulkan bahwa dunia pesantren lekat dengan urusan akhirat dan kiai hanya
melulu berbicara ibadah, bukan hanya keliru, melainkan juga menunjukkan
secara telanjang kepandirannya. Itulah yang dahulu dibilang almarhum
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren sebagai subkultur. Pesantren sebagai
agen kebudayaan. Di tangan kiai--meminjam istilah Van Peursen--yang mistik dan
teknik dipadupadankan.
Sebuah
usaha
Tentu tidak ada yang salah
dengan kunjungan langsung atau lewat baliho itu. Namanya saja usaha dan atau
niatkan saja sebagai bentuk silaturahim dari calon pemimpin dengan warganya.
Persoalan kelak setelah terpilih warga tidak lagi disapa, ini hal lain. Di
negara kita, politik sering kali dimaknai sebagai urusan lima tahunan, bukan
persoalan harian. Karena itu, jangan heran kalau demokratis yang dirayakan
baru sebatas elektoral-prosedural, belum menyentuh sisi substansialnya. Yang
terakhir inilah yang salah.
Demokrasi sebatas sejauh
mana kita menggunakan hak pilih. Selesai kartu suara itu dimasukkan, politik
berhenti di kotak suara. Terkunci di sana. Nyaris selama kekuasaan berjalan
sepanjang lima tahun tidak ada kontrol dan akuntabilitas memadai dari yang
terpilih dan warga tampaknya juga adem ayem dengan kepala daerah dan anggota
dewan pilihannya.
Coba simak, misalnya,
tidak sedikit janji kepala daerah misalnya saat kampanye yang belum
ditunaikan, tapi kepala daerah itu tidak merasa terbebani dengan seluruh
janjinya itu, apalagi juga segenap warga tidak ada yang mempertanyakannya.
Warga nyaris menjadi pihak yang pasif dan segala urusan yang menyangkut
dirinya tidak pernah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah.
Atau mungkin janji dalam
konteks politik di negara berkembang seperti kita ialah sesuatu yang sejak
dalam pikiran tidak harus ditunaikan. Janji ialah ucapan verbal sebagai
gula-gula untuk memikat massa dan sama sekali tidak ada hubungan simbolisnya
dengan upaya merealisasikannya. Janji menjadi semacam komunikasi yang tidak
mengandung pesan apa-apa kecuali sekadar dusta. Keterampilan menyuarakan
kebohongan seolah kebenaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar