Stagnasi
Ilmu Sosial Kita
Geradi Yudhistira ; Pengajar di Program
Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
|
KOMPAS,
18 Januari
2018
Jangan pernah bandingkan perkembangan
ilmu sosial di negara kita dengan negara tetangga karena kita tidak akan bisa
menyamai capaian mereka di ilmu sosial. Singapura, misalnya, sudah menjadi
simpang penting pertemuan antara alam akademis Barat dan alam akademis Asia.
Di Singapura bercokol
peneliti bereputasi internasional dari berbagai negara sehingga kita mudah
menemukan pemikiran-pemikiran sosial politik terutama terkait Asia Tenggara.
Sementara di negeri ini, para peneliti sosial masih berjuang menemukan
pengertian apa itu ”penelitian berkualitas”.
Apakah masalah ini
merupakan masalah individu? Saya kira tidak. Ilmuwan sosial Indonesia banyak
yang memiliki prestasi akademik yang baik ketika mereka berada di luar
negeri: entah menempuh pendidikan atau berkarier. Namun, prestasi itu seakan
tenggelam justru ketika mereka kembali ke Indonesia. Banyak dari mereka yang
tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya sebagus saat mereka di luar negeri
dan hanya besar di meja televisi sebagai pengamat sosial politik.
Saya menduga bahwa kenyataan
ini bukanlah masalah individu. Sebaliknya, saya menduga ada problem yang
lebih besar dalam manajemen ilmu pengetahuan di negara kita yang dikomandoi
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Masalah
struktural
Jika disederhanakan, hal
itu bermuara pada masalah struktural, masalah birokrasi, dan masalah moral.
Ketiga masalah inilah yang terakumulasi mengakibatkan ilmuwan sosial kita
menjadi tidak mampu mendayagunakan kreativitasnya dalam pengembangan ilmu
sosial.
Masalah pertama adalah masalah
struktural. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada sebuah adagium yang
menyatakan bahwa ilmu sosial dianaktirikan dibandingkan dengan ilmu pasti.
Ilmu sosial sering kali dianggap ilmu abstrak, yang kontribusi terhadap
masyarakat acap kali dipertanyakan.
Apabila dibandingkan
dengan rumpun sains dan teknologi, produk-produk temuan dari ilmu sosial
tidaklah terlihat. Alih-alih menghasilkan produk, ilmu sosial justru dinilai
hanya menghasilkan sebuah pemikiran yang banyak mengundang perdebatan. Tentu
saja jadi tidak adil membandingkan sebuah robot dengan sebuah pemikiran jika
diukur kontribusinya saat ini, tetapi tidak dalam jangka panjang.
Kita seharusnya tak lupa
bahwa ancaman perang, perubahan zaman, sampai sistem politik merupakan buah
dari pemikiran sosial. Sayangnya pemikiran tersebut banyak yang lahir dari
kacamata Barat. Sarjana kita baru sebatas meminjam teori dan konsep dari
Barat untuk diaplikasikan ke konteks Indonesia: ada yang berhasil, ada juga
yang belum berhasil. Namun, di sinilah tantangan utama ilmu sosial, yaitu
menghasilkan pemikiran yang lahir dari konteks Indonesia dengan memakai
kacamata Indonesia sebagai solusi masalah-masalah sosial di negara ini.
Alih-alih menempatkan ilmu
sosial dan ilmu pasti dalam posisi yang sejajar, kebijakan-kebijakan
pemerintah justru mengebiri perkembangan ilmu sosial. Yang terakhir adalah
kebijakan pemerintah untuk memotong jatah beasiswa Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) untuk pascasarjana ilmu sosial-humaniora atas alasan yang
tidak bisa dipahami: sudah banyak dan prioritas pada sains dan teknologi.
Tentu ini adalah salah satu dari ratusan contoh bagaimana ilmu sosial tidak
diletakkan sejajar dengan sains dan teknologi.
Masalah
birokrasi
Masalah kedua adalah
masalah birokrasi. Masalah ini tidak hanya terbatas pada ilmu sosial saja,
tetapi juga masalah umum pada sistem pendidikan tinggi di negara ini. Beban
kerja yang besar pada pekerjaan-pekerjaan administratif nonriset membuat
banyak ilmuwan menjadi tidak produktif. Seorang dosen bergelar doktor ilmu
sosial di sebuah universitas swasta di Yogyakarta pernah menunjukkan kepada
penulis betapa waktunya tersita pada pekerjaan nonakademis.
Sebagai seorang dosen
profesional, ia mendapat beban mengajar yang cukup tinggi. Sebanyak 16-20 SKS
harus dia penuhi dalam satu semester, berikut pekerjaan tambahan lainnya
sebagai tim di dalam universitas, semisal tim akreditasi program studi, tim
persiapan pembukaan program studi, sampai pekerjaan administratif kecil yang
memakan waktu (laporan kinerja, laporan pengabdian masyarakat, permohonan
pengajuan pangkat, hingga undangan menjadi pembicara di banyak tempat).
Sulit mengharapkan
produktivitas berkualitas dari seorang akademisi yang hanya memiliki waktu
membaca dan menulis paling banyak satu hari dalam satu minggu bekerja. Hal
ini merupakan sebuah hambatan birokratis yang semestinya dapat diatasi
bersama, terutama oleh Kemenristek dan Dikti yang memiliki otoritas membuat
aturan soal beban administratif.
Masalah
moral
Masalah ketiga adalah
masalah moral dalam ilmu sosial. Sejak 1965 (bahkan mungkin sebelum itu) ada
fenomena anti-intelektualitas dalam masyarakat kita. Dimulai dari pelarangan
mempelajari teori-teori sosial tertentu hingga ketidaksiapan masyarakat pada
umumnya dalam melihat obyektivitas dan relativitas ilmu sosial. Di masa Orde
Baru, teori-teori Marxis dipandang sebagai teori terlarang yang dilembagakan
dalam aturan TAP MPRS No 25/1966. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk
ikut serta melarang pembelajaran Marxisme di dalam kelas, baik sebagai teori
sosial maupun ideologi. Para sarjana yang memiliki pemikiran Marxis dilabeli
radikal, komunis, subversif, bahkan ateis. Tidak heran apabila perdebatan
sebagai metode utama perkembangan ilmu sosial menjadi lesu.
Masyarakat tidak bisa
menerima perdebatan atas obyektivitas ilmu sosial adalah sebuah hal yang
seharusnya terjadi. Dalam obyektivitas ilmu sejarah, misalnya, masyarakat
sulit menerima narasi alternatif sejarah yang dihasilkan dari penelitian yang
obyektif, terutama dalam tema-tema yang sensitif: perjuangan kemerdekaan dan
narasi antikomunis. Dalam situasi seperti ini, sangat sulit mengharapkan
tanaman ilmu sosial dapat tumbuh subur di tanah yang kering, terutama kering
keterbukaan. Alih-alih menghasilkan pemikiran alternatif, ilmuwan kita akan menghindarinya
atau bahkan menyembunyikannya.
Jika sudah begini,
bermimpi untuk menjadi Singapura pun kita akan takut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar