Kamis, 11 Januari 2018

Keluar dari Kepungan Asap

Keluar dari Kepungan Asap
Hamdhani  ;  Anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi Partai NasDem
                                            MEDIA INDONESIA, 10 Januari 2018



                                                           
SEKITAR September 2015, medsos diramaikan tagar #TerimaKasihIndonesia yang dicicitkan warganet Malaysia dan Singapura. Tagar itu sindiran terhadap RI lantaran kerap tak mampu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatra. Imbas kebakaran itu membuat warga dua negara tetangga terganggu dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Kala itu, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi memang luar biasa masif. Di tengah gencarnya pembicaraan dunia tentang pelestarian lingkungan, RI malah dinilai tidak mampu mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Di dalam negeri, kebakaran hutan dan lahan gambut berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Banyak warga terjangkit penyakit gangguan sistem pernapasan, aktivitas warga juga terganggu.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, kerugian yang harus ditanggung pemerintah RI akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 mencapai Rp16,1 triliun. Angka itu belum ditambah kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang terjadi.

Upaya penanggulangan

Pada awal 2016, Presiden Jokowi meminta seluruh pihak terkait melakukan upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dini. Penerapan early warning system, sosialisasi maklumat yang dikeluarkan Polri kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman, serta patroli ketat.
BNPB juga menyiapkan 26 helikopter untuk water bombing di Sumatra dan Kalimantan. Mereka juga mengerahkan tiga pesawat untuk hujan buatan, sebagai upaya menanggulangi dan mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan (karlahut). Tidak ketinggalan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) pun membentuk Posko Krisis Bencana Kebakaran Lahan/Hutan untuk menjadi tempat rujukan, pengaduan, sekaligus sumber informasi. Selain itu, penegakan hukum juga salah satu cara penanganan karlahut. Tidak hanya menyasar pelaku perorang­an, tetapi juga perusahaan/korporasi. Upaya penegakan hukum ini kerja sama antara Polisi dan PPNS Kementerian LHK. Kasus-kasus hukum kebakaran hutan yang ditangani PPNS KLHK meliputi tiga sisi, yakni sanksi administratif, pidana, dan perdata.

Salah satu contoh ketegasan penegakan hukum dari Kementerian LHK pada korporasi penyebab karlahut yang paling baru ialah gugatan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar terhadap PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) atas kejadian karlahut yang ditimbulkan aktivitas perusahaan itu. PT RKK dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan ekologis Rp191.804.261.700.

Menurunnya titik api

Upaya-upaya di atas ternyata membuahkan hasil. Pada 2017, beberapa negara seperti AS, Australia, Jepang, dan Indonesia melalui BMKG mengeluarkan prakiraan cuaca dan disimpulkan bahwa RI akan mengalami musim kemarau hingga Oktober/November 2017. Hal itu menjadi peringatan untuk mewaspadai kemarau Juni-September 2017 mengingat karlahut kerap terjadi musim kemarau panjang. Kita bersyukur, peristiwa pahit 2015 tidak terulang dan ini buah kerja keras pemerintah. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 2015-2017, jumlah titik api, berikut luas kebakaran lahan dan hutan, menurun di atas 80% jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2015, jumlah titik api 70.971, berkurang jauh pada 2016 hanya 3.844 titik api. Luas area kebakaran hutan mengalami penurunan dari 2,6 juta ha pada 2015, menjadi 438.363 ha pada 2016. Pada 2017, berdasarkan data terakhir, jumlah titik api kembali menurun menjadi 2.370. Total luas area kebakaran hutan kembali turun menjadi 125 ribu ha, atau sekitar 15% dari 2016. Kita patut mengapresiasi keberhasilan Kementerian LHK dan berbagai pihak dalam mengendalikan titik api dan kebakaran hutan dan lahan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang, hingga Desember 2017 nyaris tidak ada lagi berita tentang kebakaran hutan dan lahan.

Kerja sama berbagai pihak

Karlahut telah menimbulkan dampak besar dari segi lingkungan, pendidikan, politik, ekonomi, kesehatan, hubungan antarnegara, dan citra RI di mata dunia. Karena itu, hal itu harus menjadi perhatian serius berbagai pihak. Upaya mencegah dan menanggulangi karlahut semestinya tidak hanya dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK dan BNPB, tapi juga harus mendapat dukungan penuh masyarakat dan swasta. Pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian, Kementerian LHK, dan Bappenas telah menyusun grand design mencegah karlahut.

Itu patut kita apresiasi mengingat ruang lingkup grand design difokuskan kegiatan dan pemantauan yang akan dilaksanakan baik pemerintah maupun swasta, pada 2017-2019. Kita tentu berharap, prinsip permanen, lintas sektor, terpadu, komprehensif, cepat, responsif, dan tepat sasaran yang terkandung dalam arah kebijakan dan strategi pencegahan karlahut benar-benar dapat dilaksanakan. Selain itu, penjabaran ke dalam strategi penyediaan insentif dan disinsentif, penanganan pranata sosial, penegakan hukum dan sinkronisasi peraturan perundangan, serta penguatan fire early response bisa diimplementasikan.

Menurunnya titik api dan luas karlahut pada 2017 tidak boleh membuat kita terlena. Tantangan ke depan memberikan penyadaran kepada masyarakat agar mau bekerja bersama mengoptimalkan pencegahan. Masalah kebakaran hutan dan lahan bukan hanya kerugian material, melainkan juga sosial. Karena itu, keluar dari kepungan asap ialah pekerjaan bersama kita semua, bangsa Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar