Kalabahi
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 02 April 2017
Suatu sore, di tepi Teluk Mutiara. Air laut begitu tenang.
Permukaannya bagaikan meja. Rata. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah
keindahan. Keindahan laut di Teluk Mutiara, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Warna air laut berlapis-lapis, dari biru muda ke biru tua, dari putih hingga
hijau. Di kejauhan terlihat ujung laut bertemu kaki langit yang pelan-pelan
menghitam. Mendung. Sebentar lagi hujan. Tetapi, langit yang mendung tidak
mengurangi keindahan Teluk Mutiara.
Hilir mudik perahu-perahu kecil membawa para pelancong
luar negeri kembali ke Pulau Alor setelah menikmati pasir putih dan keindahan
bawah laut di sekitar Pulau Kepa di Teluk Mutiara. Pulau Kepa tak jauh
letaknya, sekitar 200 meter dari pantai Pulau Alor. Sembilan wisatawan asing,
laki-perempuan, anak-anak dan orangtua, turun dari perahu kecil di bibir
pantai Pulau Alor sambil menebar senyum dan mengacungkan jempol tangannya.
"Great," kata salah seorang perempuan, singkat.
Langit semakin hitam. Mendung membentuk gumpalan-gumpalan.
Dan, tiba-tiba langit tak mampu lagi menahan air yang ditanggungnya: hujan
turun. Tetapi, hujan pun tak mampu menyingkirkan keindahan Teluk Mutiara,
halaman depan Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor. Halaman belakang Kalabahi,
bukit-bukit hijau yang menjulang tinggi, menggapai langit. Indah.
Keindahan mengandung pengertian ide kebaikan. Plato,
seorang filsuf Yunani (lahir 428/427 SM di Athena, Yunani, dan meninggal
348/347 SM di Athena), misalnya, menyebut watak yang indah dan hukum yang
indah.
Filsuf Yunani lainnya, Aristoteles (lahir pada tahun 384
SM di Stageira, Yunani Utara, dan meninggal pada 322 SM) merumuskan keindahan
sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan dengan meliputi keindahan
seni, keindahan alam, keindahan moral, dan sebagainya. Kata Aristoteles,
"Kita tidak menginginkan kegunaan dan kepastian, kecuali demi keindahan,
tetapi keindahan ini bersatu padu dengan akal manusia." Plato bahkan
memandang keindahan di muka bumi ini sebagai imitasi tak sempurna dari
keindahan mutlak.
Filsuf di zaman yang lain, Immanuel Kant (1724-1804), dari
Jerman, antara lain mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan
tanpa pamrih dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Thomas Aquinas
(1225-1274) menyodorkan rumusan lain tentang keindahan. Kata Aquinas,
"Keindahan berkaitan dengan pengetahuan; sesuatu dinyatakan indah jika
sesuatu itu menyenangkan mata sang pengamat." Artinya, pengalaman
keindahan muncul apabila terdapat pengetahuan dan pengalaman di dalam diri
manusia.
Apa pun definisinya, keindahan tetapkan keindahan. Karena,
alam raya ini diciptakan indah adanya. Keindahan itulah yang ada di hadapan
Kalabahi ketika di tempat-tempat lain bagian dunia ini-juga termasuk bagian
Indonesia-keindahan sudah rusak, atau bahkan sudah hilang.
Tentang potensi kehancuran alam, dunia global dikatakan
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau), 18 Juni 2015.
Polusi, perubahan iklim, dan budaya buang sampah sembarangan muncul sebagai
ulah manusia. Sumber daya pun makin menipis. Paus Fransiskus berbicara
tentang eksploitasi sebagai aktivitas manusia yang tak terkendali.
Eksploitasi planet sudah melebihi batas maksimal, padahal kita belum
memecahkan masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmiah,
pertumbuhan ekonomi, perkembangan kemampuan teknis, dan penyebaran arus
informasi.
Semua itu telah menghancurkan keindahan alam. Karena itu,
Fransiskus menganjurkan pandangan ekologi integral: bumi adalah rumah bersama
yang harus dibangun atas dasar kasih sayang. Umat manusia masih memiliki
kemampuan untuk bekerja sama dalam membangun rumah kita bersama.
"Rumah bersama" Indonesia ini pun semakin lama
semakin tidak indah karena kasih sayang yang menjadi dasar pembangunan bumi
yang indah mulai menipis. Bahkan, ada yang sudah hilang. Kebencian telah
mengalahkan kasih sayang, seperti yang banyak terjadi di negara-negara yang
dilanda peperangan. Tengoklah apa yang terjadi di sejumlah negara di Timur
Tengah, di Afrika, bahkan di Eropa, dan juga di Amerika. Tidak hanya alamnya
yang rusak, tetapi demikian juga manusianya.
Pemahaman "rumah kita bersama" Indonesia pun
semakin lama terasa semakin tipis. Kerap kali, sekarang ini, terdengar
teriakan "rumahku, rumah kami", bukan "rumahmu, bukan rumah
kita". Akankah terjadi, pada suatu masa, bahwa "banyak anggota
keluarga rumah kita" akan meninggalkan "rumah kita bersama",
seperti para pengungsi dari Suriah, Nigeria, Myanmar, Afganistan, Libya, dan
negara-negara yang masih dikuasai nafsu kebencian dan peperangan karena
merasa sudah aman di rumah mereka?
Tetapi, kebencian itu tidak ada di Kalabahi. Kalabahi,
yang berarti pohon kesambi (Schleichera Oleosa. L) dalam bahasa Alor, memang
indah. Di sana ada kedamaian, di sana ada ketenteraman, dan di sana ada
persaudaraan sehingga ikan lumba-lumba pun tak jarang berarakan masuk dan
menari-nari di Teluk Mutiara, seperti sore itu.
"Di sini tenang, Pak. Alamnya damai. Masyarakatnya
saling menghormati, ikatan persaudaraannya kuat," ujar Carol, pengemudi
mobil yang mengantar kami. Lelaki asal Lembata, yang sudah 17 tahun hidup di
Kalabahi, mengatakan, "Saya hanya melihat tindakan-tindakan yang merusak
perdamaian dan persaudaraan di televisi. Itu pun terjadi di wilayah lain negeri
ini, tidak di tempat ini," kata lelaki beranting pada kedua telinganya
dan bertato di lengan kirinya.
"Tak seorang pun dilahirkan untuk membenci orang
lain, karena warna kulit, karena latar belakang, karena agamanya. Orang harus
belajar membenci dan jika mereka dapat belajar membenci, mereka dapat diajari
untuk mencintai. Karena cinta, datang secara lebih natural ke hati manusia
dibandingkan dengan kebencian." Begitu kata Nelson Mandela (1918-2013).
Dan, begitu semestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar