MA,
Mahkamah Amnesia
Khairul Fahmi ; Dosen HTN;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi
(Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2017
ALIH-ALIH
berharap Mahkamah Agung (MA) akan menjaga kewibawaan hukum, yang ia lakukan
justru menginjak hukum produknya sendiri. Betapa tidak, setelah Peraturan
Tatib DPD No 1/2017 dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, pimpinan
DPD yang dipilih merujuk Tatib tersebut justru tetap dipandu sendiri oleh
Wakil Ketua MA dalam pengambilan sumpahnya. Sikap lembaga pelaku kekuasaan
kehakiman tertinggi tersebut amat sulit diterima, kecuali bila akal sehat
ditanggalkan.
Dengan
bersikap demikian, MA pada dasarnya bukan tengah turut menyelesaikan krisis
politik di DPD, melainkan malah memperparah keadaan. Bagaimanapun, sikap itu
akan berujung pada munculnya dualisme kepemimpinan DPD. Ada pimpinan DPD yang
dipilih berdasarkan Peraturan Tatib No 1/2014 dengan masa jabatan selama 5
tahun sejak dilantik 2014 yang hingga kini masih sah. Pada saat yang sama,
juga ada pimpinan DPD yang dipilih berdasarkan Tatib yang sudah dinyatakan
batal, tetapi tetap diambil sumpahnya. Pada ranah itu, MA menjadi bagian dari
makin kompleksnya persoalan yang mengitari institusi para senator itu.
Asumsi yang terbangun
Apabila
tindakan yang dilakukan MA dibaca dalam perspektif lembaga itu, bisa saja
putusan pengujian Peraturan DPD No 1/2017 ditempatkan secara terpisah dari
sikap MA untuk tetap memandu sumpah pimpinan baru DPD. Dalam arti, putusan
pengujian hanya dianggap berkaitan dengan keabsahan norma hukum semata, yakni
putusan itu sebatas berimplikasi terhadap ketidakberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan. Sementara itu, proses pemilihan pimpinan baru DPD yang
didasarkan pada peraturan yang telah dibatalkan diposisikan sebagai masalah
lain lagi. Hal mana, jika terdapat pihak-pihak yang merasa proses pemilihan
yang telah dilakukan tidak sah, upaya hukum tersedia untuk mempersoalkannya.
Adapun tugas MA untuk memandu proses pengucapan sumpah pimpinan DPD sesuai
Pasal 260 ayat (6) UU No 17/2014 tetap harus dilaksanakan.
Apabila
asumsi tersebut benar, MA sesungguhnya tengah mengalami kepribadian yang
tercabik. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua sikap yang saling bertolak
belakang malah diambil. Terlepas apakah MA berpandangan bahwa jika terdapat
masalah dalam pergantian pimpinan DPD tersedia mekanisme hukum untuk
mengujinya, tetapi melantik orang yang secara nyata mengangkangi putusan MA
merupakan tindakan keliru. Bahkan, MA telah bertindak seperti orang yang
tengah lupa ingatan. Langkah yang ditempuh MA tentu akan menjadi preseden
buruk. Lembaga yang seharusnya memberi contoh ihwal bagaimana hukum
dihormati, malah mengebiri putusan sendiri. Dengan langkah itu, MA
sesungguhnya tengah memerankan apa yang dalam pepatah Minangkabau disebut
sebagai tungkek mambaok rabah (tonggat yang membawa jatuh). Kalau bukan
sedang mengalami kepribadian yang terkoyak, sikap yang dipertontonkan MA
setidaknya memberi pesan kepada publik bahwa lembaga itu mendelegitimasi
putusan yang diproduksinya sendiri.
Bisa
saja, putusan pengujian Peraturan DPD No 1/2017 dianggap sebagai produk gagal
sehingga putusan itu tidak perlu dihormati. Jika benar demikian, MA
barangkali tengah mengidap penyakit aneh yang disulit dipahami dengan nalar
sehat. Lebih jauh, inkonsistensi sikap MA juga potensial dipengaruhi faktor
nonteknis hukum. Ada kemungkinan pertarungan politik di DPD dengan
mengerahkan segala sumber daya dan uang, juga mengalir sampai ke MA. Lagi
pula, berbagai pengalaman praktik suap yang diduga melibatkan hakim maupun
pegawai MA sebelumnya memperkuat sangkaan bahwa hal yang sama pun dapat
terjadi di balik irasionalitas sikap MA. Faktor jejaring mafia yang sampai ke
dalam Mahkamah Agung kiranya juga turut memuluskan anomali yang ditampilkan.
Atas semua asumsi-asumsi yang mungkin terbangun itu, hal paling krusial yang
tengah menimpa MA ialah hilangnya rasa malu. Rasa malu untuk menelikung
mandat konstitusi, malu menjilat ludah sendiri, dan malu kepada para pencari
keadilan sudah mati. Ketika rasionalitas telah hanyut dan rasa malu pun
dibunuh, tugas konstitusional menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana
dimaktubkan dalam Pasal 24 UUD 1945 dengan mudah diabaikan. Dalam situasi
itu, lembaga ini telah terjerembap menjadi monster bagi kewibawaan hukum dan
keadilan itu sendiri.
Nasib negara hukum
Pengalaman
ini tentu akan jadi pertaruhan eksistensi negara hukum. Apakah negara ini
masih akan dikelola dengan menempatkan hukum sebagai panglima (rechtsstaat)
atau menggesernya menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Bagaimanapun negara
hukum hanya mungkin tumbuh bila dijaga institusi yang bersih dan tepercaya.
Negara hukum hanya bisa terpelihara jika keteladanan dalam mematuhi,
melaksanakan, dan menghormati hukum dicontohkan para penyelenggara negara,
terutama penegak hukum. Sebaliknya, negara hukum akan lumpuh, bahkan runtuh
bila orang-orang yang diamanahi sebagai penjaga justru bak musang berbulu
ayam. Bila punggawa hukum sendiri yang telah berkhianat, tingkat kepercayaan
pada hukum akan turun ke titik paling rendah. Sebagai konsekuensinya,
pembangkangan demi pembangkangan akan terus terjadi, terutama oleh
penyelenggara negara. Demi alasan merebut atau mempertahankan kekuasaan,
hukum akan selalu dipermainkan. Pada saat yang sama, penegak hukum tunamoral
pun dengan mudah dibeli dan dikendalikan. Akhirnya, hukum pun kalah, kalah
karena perangai penegaknya sendiri.
Kita
tentu masih berharap situasi akan berbalik jadi lebih baik, situasi di mana
hukum kembali dihormati. Namun, bisakah mimpi itu menjadi nyata? Sulit memang
untuk menjawabnya sebab tidak ada lagi teori yang mampu memberi penjelasan
memadai. Semua konsep yang diajarkan di berbagai fakultas hukum sudah buntu.
Kalau bukan dengan reformasi total Mahkamah Agung, mungkin kita hanya bisa
berdoa semoga MA segera pulih dari amnesianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar