Senin, 03 April 2017

Gerakan Massa

Gerakan Massa
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 01 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Chiang Kai-shek (1887-1975), pemimpin Republik China (nasionalis), tergusur tahun 1949. Sang jenderal lalu melanjutkan pemerintahan nasionalis di Pulau Formosa (Taiwan). Seandainya Chiang Kai-shek tahu bagaimana menggerakkan massa atau setidaknya menyalakan terus semangat nasionalisme yang dicetuskan penyerbuan Jepang, mungkin ia akan dikenal di China sebagai tokoh reformis. Karena tidak tahu menggerakkan massa, sejarah menorehkan ia terusir ke luar China daratan.

Begitulah analisis filsuf Eric Hoffer (1898-1983) dalam buku klasiknya, The True Believer (1951), yang kemudian terbit dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Gerakan Massa (Yayasan Obor Indonesia, 1988). Politik dan massa memang tidak bisa dipisahkan. Partai politik mustahil menjauh dari massa. Terlebih lagi di era pemilihan langsung seperti sekarang, massa jadi bagian paling lekat dengan politik.

Kata Hoffer, salah satu daya tarik gerakan massa adalah tawarannya untuk menggantikan harapan pribadi. Gerakan massa biasanya dituding menghipnotis pengikutnya dengan harapan bahwa mereka akan melihat masa depan yang gilang-gemilang, sementara menggelapkan nikmat masa kini. Bagi orang yang kecewa, masa kini sudah rusak dan sulit diperbaiki.

Seperti kasus di China, merujuk Hoffer, kegagalan memahami gerakan massa membuat kelompok nasionalis terpental dari pucuk pimpinan nasional, lalu tersingkir dari China daratan ke Pulau Formosa. Kelompok komunis memenangi pertarungan dan menguasai China (daratan) sampai sekarang ini. Republik China (nasionalis) pun terpental di Taiwan setelah China dikuasai Republik Rakyat China (komunis).

Gerakan massa kembali marak akhir-akhir ini. Aksi massa turun ke jalan menjadi cara untuk menekan pemerintah. Gara-gara kasus Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta nonaktif) yang kini tengah diadili kasus penodaan agama, gelombang aksi massa yang menuntut penuntasan kasus itu berulang kali menyita perhatian publik. Diawali pada 14 Oktober 2016, aksi massa lalu menjadi rutin dengan kode ”nomor cantik”, seperti Aksi 411 (4 November 2016), 212 (2 Desember 2016), dan 313 (31 Maret 2017). Persoalan Basuki itu tak bisa dilepaskan dengan pertarungan Pilkada DKI Jakarta yang bakal memasuki putaran kedua, 19 April. Ada juga doa bersama di Monas (18 November 2016), Parade Bhinneka Tunggal Ika (19 November 2016), dan aksi 412 (4 Desember 2016).

Dalam sejarah negeri ini, massa adalah elemen terpenting dalam gerakan politik. Tan Malaka paling piawai soal aksi massa. Tahun 1926, di tempat persembunyian di Singapura, ia menerbitkan buku Massa Actie. ”Bila semboyan dan tuntutan sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa,” tulis Tan Malaka, yang banyak memengaruhi tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Sejarah Bung Karno juga selalu terkait dengan massa. Sebagai orator ulung, Bung Karno menjadi pembangkit semangat massa. Pidato tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI), seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, mampu menghipnotis massa. Soerjopranoto, tokoh SI lainnya, bahkan mampu menggerakkan pemogokan buruh pabrik awal 1920-an sehingga dia dijuluki ”Raja Pemogokan”. Tokoh-tokoh kiri yang bermula dari SI Merah, seperti Semaun, juga pembakar semangat massa.

Tokoh dan ulama besar Syekh Yusuf al-Makassari (1628-1699) sampai diasingkan ke beberapa negara karena selalu membangun ikatan sekaligus mendidik massa. Setelah diketahui membangun komunitas dan pengaruh terhadap umat Islam India dan jemaah haji yang mampir di tempat pembuangan di Ceylon (Sri Lanka), Syekh Yusuf diasingkan lagi ke Cape Town, Afrika Selatan. Lagi-lagi di sana ia memengaruhi massa yang justru melahirkan enklave Macassar. Syekh Yusuf justru menjadi inspirasi bagi Bapak Afrika Selatan Nelson Mandela. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun tak goyah diguncang kudeta tahun 2016 antara lain karena dukungan aksi massa.

Politik memang tidak jauh dari faktor massa. Begitu juga selama zaman pergerakan nasional. Aksi massa fenomenal pertama adalah rapat akbar di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, sebulan setelah proklamasi kemerdekaan RI. Di bawah penjagaan ketat pasukan Jepang, Bung Karno cuma berpesan agar tetap percaya pada pimpinan nasional dan massa agar pulang dengan tenang. Namun, aksi massa (mahasiswa) pula yang ikut menjatuhkan Bung Karno dari kursi presiden semasa kemelut politik sepanjang pertengahan dan akhir tahun 1960-an.

Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, gerakan massa dan mahasiswa dibungkam tak berkutik, misalnya gerakan mahasiswa tahun 1974 dan 1977/1978. Namun, sejarah berulang. Soeharto lengser setelah dilanda aksi massa pada 1998 setelah krisis ekonomi. Aksi massa, menurut Tan Malaka, bukanlah tindakan segerombolan orang yang anarkis. Kata Bung Karno, kalau tidak revolusioner namanya aksi massal (massale actie). Gerakan massa ternyata jadi senjata ampuh di zaman kolonial, rezim-rezim otoriter, atau ketika sistem demokrasi mandul.

Hari ini, negeri ini berkeras untuk keluar dari pusaran masalah yang terus membelit setelah reformasi: konflik politik-sosial, ujian kebinekaan, kemiskinan, kepemimpinan, ketahanan bangsa, penegakan hukum, demokrasi kebablasan, dan korupsi yang sudah keterlaluan. Andai kata gerakan massa terus menguras energi bangsa, segala problem akut di atas makin sulit dibenahi. Kitalah—negeri dan bangsa ini—yang terus merugi dan membuang-buang waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar