Aparat
Negara Pembangkang Hukum
Hasrul Halili ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(UGM)
|
KOMPAS, 01 April 2017
Wherever law ends, tyranny begins
John Locke
Ibu Patmi, warga Kendeng yang melakukan aksi kolektif,
wafat. Perempuan pejuang itu menjadi ”tumbal” ambisi pendirian pabrik milik
PT Semen Indonesia di Rembang dan pabrik semen lainnya di Kendeng.
Ruang publik pun riuh, ramai memperbincangkan berbagai
aspek yang berkelindan dari peristiwa itu, baik dari sudut sosial, politik,
maupun hukum. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah soal hukum, yaitu
ditemukannya fakta mengenai pemutarbalikan makna atas putusan peninjauan
kembali (PK) Mahkamah Agung secara semena-mena.
Amar putusan PK yang membatalkan izin pembangunan pabrik
dimanipulasi pengertiannya oleh Gubernur Jawa Tengah, menjadi peluang baru
pendirian, dengan penyempurnaan dokumen adendum analisis mengenai dampak
lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan/rencana pemantauan lingkungan
(Kompas, 21/2/2017).
Jika benar terjadi pemutarbalikan makna, hal tersebut
merupakan masalah serius, terutama terkait kepatuhan aparat negara terhadap
putusan pengadilan. Dengan kata lain, tindakan tersebut menunjukkan banalitas
pembangkangan hukum, yang ironisnya, justru dilakukan oleh aparat negara yang
semestinya memberikan contoh yang baik dalam ketaatan terhadap hukum.
Dalam konteks demokrasi modern, pembangkangan terhadap
hukum dikenal sebagai pembangkangan sipil (civil disobedience), tetapi dalam
makna positif. Pembangkangan sipil adalah penolakan terhadap hukum tertentu
suatu negara dan tindakan tersebut merupakan bentuk protes yang diekspresikan
secara nir-kekerasan.
Sejarah mencatat Henry David Thoreau sebagai perintis
gerakan pembangkangan sipil. Pada 1846, Thoreau menolak membayar pajak
sehingga dirinya dimasukkan ke bui, sampai ada seseorang yang membantunya
dengan membayar pajaknya. Thoreau menulis Civil Disobedience (Thoreau, 1849)
dan gagasannya menginspirasi para pemimpin gerakan anti-kekerasan seperti
Gandhi dan Martin Luther King Jr.
Thoreau menyatakan keberatan membayar pajak, antara lain,
pertama, tidak ingin pajak yang diberikannya kepada negara digunakan untuk
agresi militer. Saat itu Amerika sedang memulai konflik dengan Meksiko.
Kedua, sebagai abolitionist—pendukung gerakan anti-perbudakan—ia tidak
inginpajaknya digunakan untuk mendanai program pemerintah yang melanggengkan
perbudakan.
Singkat kata, walaupun pembangkangan sipil dianggap
melawan hukum, perbuatan tersebut mempunyai basis moral yang kokoh dan karena
itu diapresiasi positif. Lalu, bagaimana halnya dengan pembangkangan hukum
yang dilakukan aparat negara? Berbalik dengan aksi pembangkangan sipil,
tindakan tersebut sangat negatif karena berpotensi meruntuhkan prinsip utama
rule of law.
Sebagaimana diketahui, prinsip rule of law ditegakkan di
atas beberapa pilar, yaitu: adanya pemerintahan yang tunduk pada hukum,
kesetaraan perlakuan di hadapan hukum, tatanan dan hukum yang kokoh,
penerapan secara efektif-prediktif mekanisme keadilan, serta jaminan
perlindungan atas hak asasi manusia.
Memutarbalikkan makna putusan PK secara serampangan jelas
menunjukkan iktikad buruk, di mana pada kondisi demikian, aparat yang
mengelola pemerintahan menunjukkan indikasi tidak merasa punya kewajiban
tunduk dan terikat pada putusan pengadilan dan lebih jauh lagi bisa secara
eksesif melecehkan hak asasi manusia yang seharusnya dimiliki oleh warga,
dalam kasus ini adalah hak warga Kendeng.
Melecehkan hukum
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat
berbagai contoh pembangkangan aparat negara terhadap putusan pengadilan yang
patut dicemaskan karena tidak saja melecehkan prinsip rule of law, tetapi
juga memberikan pesan buruk kecontohan mengenai ketaatan terhadap hukum oleh
aparatur negara.
Beberapa tahun lalu, misalnya, Kementerian Kesehatan
menolak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang pada intinya memerintahkan
Kementerian Kesehatan membuka daftar nama susu formula berbakteri hasil
penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dalih penelitian dilakukan
perguruan tinggi yang mempunyai jaminan kebebasan akademik.
Ilustrasi lain, pada tahun yang berbeda, misalnya, kasus
penolakan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap putusan
Komisi Informasi Pusat (KIP) atas permohonan yang diajukan oleh Indonesia
Corruption Watch (ICW) mengenai 17 nama pemilik ”rekening gendut”.
Putusan KIP pada intinya menyatakan bahwa daftar informasi
17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya dikategorikan
sebagai informasi yang wajar dibuka kepada publik.
Penolakan untuk melaksanakan putusan MA oleh Kementerian
Kesehatan, ke-emoh-an Polri merealisasikan putusan KIP, dan terakhir
pemelintiran makna atas putusan PK oleh Gubernur Jawa Tengah adalah rangkaian
kejadian yang meneguhkan mengenai berulangnya perilaku pembangkangan hukum
oleh institusi atau aparat negara.
Perilaku ini, jika dibiarkan terus-menerus, tidak hanya
akan mendelegitimasi wibawa hukum secara umum, tetapi juga bisa menyemai
ketidakpercayaan publik pada kewenangan pengadilan (judicative power) untuk menghukum siapa pun yang bersalah, tak
terkecuali lembaga/aparat negara sekalipun.
Dan, bersemainya ketidakpercayaan publik yang disebabkan
oleh praktik pembangkangan hukum aparat negara adalah pertanda buruk untuk
demokrasi yang berkeadilan, disebabkan rule
of law telah tergantikan oleh kekuatan tiranik yang tak menghormati
hukum.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar