Konglomerasi
Media dan Revisi UU Penyiaran
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi
Informasi,
Kantor Staf Presiden
|
KOMPAS, 01 April 2017
Saat ini DPR sedang merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran. Revisi diharapkan dapat memperkuat media sebagai pilar
keempat demokrasi, bukan malah sebaliknya.
Berbagai masukan dan kritik diperlukan untuk memperkuat UU
Penyiaran ini ke depan. Lebih penting lagi, media yang menjadi anak kandung
reformasi harus menjamin hak publik untuk memperoleh dan memproduksi
informasi.
Tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberikan dampak
luas pada kebebasan berekspresi dan berorganisasi di Indonesia, termasuk
kebebasan pers. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahkan menjamin kebebasan
media dan informasi bagi warga negara. Dua kebijakan dikeluarkan untuk
meregulasi media, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor
32/2002 tentang Penyiaran.
Dalam perkembangannya, media penyiaran menjadi industri
media yang sulit dikontrol. Kebijakan media dianggap gagal mengatur penyiaran
sebagai sebuah industri.Pembuat kebijakan dan negara sebagai regulator gagal
memberikan batasan yang jelas antara monopoli dan oligopoli. Absennya
kebijakan khusus untuk mengatur aspek komersial dari penyiaran, menjadi
faktor ekspansi dan konglomerasi media penyiaran.
Perkembangan lainnya adalah kecenderungan partisan dari
media penyiaran karena mengikuti kepentingan politik pemilik media.Akibatnya,
informasi yang diberikan disesuaikan dengan selera dan politik pemilik
sekaligus mengabaikan obyektivitas. Pemberitaan yang tidak berimbang ini
menghilangkan hak publik mendapatkan informasi.Faktanya, saat ini beberapa
konglomerasi media dimiliki para pimpinan partai politik.
Mereka tak hanya memiliki perusahaan media massa dengan
berbagai bentuk, mulai dari cetak, penyiaran, hingga portal berita daring.
Mereka memiliki kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Konsentrasi
kepemilikan media di tangan beberapa kelompok media besar telah menciptakan
situasi di mana media berkolusi dengan kepentingan bisnis dan politik yang
mendegradasi kualitas jurnalisme.
Dalam draf revisi UU Penyiaran buatan DPR, muncul tambahan
pasal tentang ”lembaga penyiaran khusus" yang membolehkan setiap partai
politik memiliki stasiun televisi.Pasal 103 draf itu menyatakan, lembaga
penyiaran khusus merupakan lembaga penyiaran nonkomersial yang didirikan dan
dimiliki oleh lembaga negara, kementerian, partai politik, atau pemerintah
daerah.
Lembaga penyiaran khusus partai dikhawatirkan membuat
media penyiaran menjadi ajang propaganda. Televisi yang dimiliki partai
politik juga dikhawatirkan bisa menjadi media provokator pemecah belah. Kasus
pembantaian di Rwanda menjadi pelajaran bagaimana provokasi media radio
menyulut pembantaian massal antarsuku.
Revisi UU Penyiaran
Agar fungsi media sebagai fondasi demokrasi dan menjamin
hak informasi publik, maka revisi UU Penyiaran harus fokus pada beberapa hal
strategis. Pertama, pembatasan yang jelas untuk mencegah terjadinya monopoli
dan komersialisasi media.
Pengaturan khusus harus dibuat oleh pemerintah karena
pemilik media menggunakan frekuensi milik publik sehingga tidak boleh
dibiarkan bebas memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri, baik dengan motif
bisnis maupun motif politik.
Monopoli media jelas bertentangan dengan UU Penyiaran yang
sudah mengakomodasi prinsip-prinsip penyiaran demokratis melalui keragaman
kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi (diversity of
content).MenurutKoalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), draf
revisi yang ada saat ini sarat dengan pasalpasal pembelaan terhadap korporasi
dan melegalkan konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran, jauh dari upaya
memberdayakan penyiaran publik dan komunitas penyiaran.
Draf yang ada juga melegalkan praktik pemindahtanganan
kepemilikan yang berdampak pada jual beli frekuensi lewat jual beli saham.Ini
jelas melanggar prinsip frekuensi sebagai milik publik. Revisi UU Penyiaran
juga menunjukkan keberpihakan pada orientasi komersial penyiaran dengan
memuat ketentuan bahwa porsi iklan spot paling tinggi 40 persen dari setiap
waktu tayang program. Ini merupakan peningkatan luar biasa dibandingkan
dengan UU Penyiaran No 32/2002 yang menetapkan 20 persen. Sementara untuk
iklan layanan sosial nonkomersial tidak diatur dengan jelas.
Draf revisi juga melanggengkan ”monopoli Jakarta” atas
konten media dengan menyatakan bahwa Sistem Siaran Jaringan (SSJ)adalah
opsional, bukan kewajiban lembaga penyiaran. Demokratisasi penyiaran berarti
sebuah antonim dari kata sentralisasi. Karena itu, SSJ adalah sebuah
kewajiban agar juga sejalan dengan visi ”Indonesia sentris” dan Nawacita,
yaitu membangun ”informasi publik” dari pinggiran dan daerah-daerah terluar.
Kedua, dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran dinyatakan
bahwa fungsi pengawasan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Independen
(KPI). Perlunya memperkuat wewenang KPI agar lembaga ini menjadi independen
tidak lagi di bawah struktur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Selama ini kewenangan KPI untuk memberikan sanksi pada pelanggar UU Penyiaran
kelewat lemah.KPI hanya dapat menjatuhkan sanksi teguran. Karena itu, KPI
perlu mendapat wewenang memidanakan pelanggar UU Penyiaran.
Ketiga, memperkuat TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran
publik dengan membuat RUU tentang Radio-Televisi Republik Indonesia (RTRI)
sesuai Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kominfo. Di tengah
komersialisasi dan dominasi televisi swasta dan asing, penguatan dan
pemberdayaan TVRI dan RRI menjadi langkah strategis agar kepentingan bangsa
sampai ke masyarakat tanpa kepentingan partisan dan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar