Terimakasih
Pak Jokowi, Tetapi…
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
|
DETIKNEWS, 19 Januari 2015
Keputusan
Presiden Jokowi untuk menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri
tentu layak diapresiasi, meski tetap dengan catatan. Apresiasi harus
diberikan karena: keputusan itu diambil di tengah tekanan politik yang pasti
datang dari segala arah mata angin. Saya pernah bekerja di lingkungan istana,
jadi sedikit-banyak saya mengerti bahwa dinamika pengambilan keputusan strategis
di Istana sering rumit, sulit, dan penuh tekanan.
Jangan pernah
membayangkan, karena Presiden adalah the
biggest boss, maka dia pasti bebas dari berbagai tekanan. Justru
sebaliknya, karena posisinya sebagai the
number one, semua tekanan masalah, semua desakan politik itu akan
berujung di pundak sang Presiden. Padahal tidak semua tekanan itu ke arah
yang benar, seringkali juga ke penjuru yang keliru. Maka, seorang
Presiden yang baik adalah: yang punya kemampuan untuk mengambil keputusan
yang benar, dan mampu bertahan dari tekanan yang keliru, meskipun dengan
segala resiko politiknya, yang mungkin saja berakibat fatal.
Kita semua
mafhum, Presiden Jokowi dikepung dari segala arah terkait pergantian Kapolri
ini. Seorang rekan di lingkaran dalam mengatakan, para “broker politik” sedang menagih kontribusinya di Pilpres 2014
kepada Presiden. Cilakanya, tagihan itu berwujud pada pencalonan
Kapolri yang terindikasi kuat bermasalah dalam komitmen pemberantasan
korupsi. Maka, dengan berempati atas besarnya tekanan politik kepada Presiden
Jokowi tersebut, pujian wajib diberikan kepada Beliau ketika memilih
keputusan sejalan dengan harapan publik yang benar, yaitu tidak melantik Budi
Gunawan. Meskipun, tentu saja putusan demikian tetap mengandung masalah.
Kita paham,
dalam pengambilan keputusan yang sarat kepentingan, kebijakan kompromistis
seringkali tidak terhindarkan. Tidak jarang itulah solusi terbaik yang
tersedia di antara semua opsi solusi yang ada. Namun, dengan tetap memberikan
apresiasi atas kebijakan Presiden Jokowi tersebut, izinkan saya memberikan
catatan kritis atas keputusan kompromistis demikian, yang biasanya jauh dari
ideal.
Jika ditarik
mundur ke belakang, seharusnyalah sedari awal Komjen Budi Gunawan tidak
diajukan Presiden Jokowi selaku calon Kapolri. Kita tahu benar, KPK telah
memberikan warna merah kepada calon menteri yang diseleksi Jokowi. Kita juga
mendengar, meski tidak terkonfirmasi karena rahasia, salah satu yang diberi
catatan bermasalah adalah Budi Gunawan. Maka, menjadi persoalan mendasar,
ketika Presiden Jokowi tetap mengusulkan nama yang bersangkutan sebagai calon
tunggal di DPR.
Sehingga,
ketika masalah pencalonan Kapolri ini kemudian menjadi persoalan
politik-hukum yang rumit, terutama setelah KPK menetapkan Budi Gunawan
menjadi tersangka, penyebab utamanya adalah blunder Presiden Jokowi sendiri,
yang tidak mampu lepas dari tekanan politik untuk mengusulkan Komjen Budi
Gunawan. Karena berangkat dari kesalahan mendasar demikian, maka tidak heran
kalau koreksi kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi tetaplah problematik.
Misalnya,
kalau kebijakan ideal yang dilakukan, seharusnya Presiden Jokowi sedari awal
menarik pencalonan Budi Gunawan. Yaitu seketika itu juga saat KPK
menetapkannya menjadi tersangka kasus korupsi. Sehingga Presiden tidak
kemudian terjebak pada dilema kesulitan menarik pencalonan yang bersangkutan
karena DPR sudah terlanjur menyetujui pencalonan Budi Gunawan. Soal penarikan
calon ini pernah terjadi ketika Presiden SBY mengganti pencalonan Panglima
TNI Ryamizard Ryacudu – yang diusulkan Presiden Megawati – sebelum DPR
terlanjur menyetujui. Meskipun situasinya tidak persis sama, poin saya
adalah: penarikan kembali calon pejabat yang diusulkan Presiden ke DPR pernah
terjadi, dan tidak ada persoalan dari sisi hukum tata negara.
Namun, karena
kebijakan itu tidak dilakukan, maka Presiden menjadi lebih sulit untuk
membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan. Karena UU Polri tidak mengatur
penarikan sang calon Kapolri setelah mendapatkan persetujuan DPR.
Pada kondisi
demikian, seharusnya Presiden tegas saja dengan tidak melantik dan
membatalkan pencalonan Budi Gunawan. Toh, secara ketatanegaraan, sebelum ada
penerbitan Keppres dan pelantikan, yang bersangkutan tetap belum Kapolri
definitif, tetapi masih dalam proses pencalonan, yang tentu saja tetap wajar
wajar jika dibatalkan jika ditemukan persoalan mendasar, dalam hal ini adalah
penetapannya sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Apalagi,
sebagai dasar hukum untuk membatalkan pencalonan Budi
Gunwan yang telah disetujui DPR, Presiden Jokowi dapat menggunakan UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalam UU baru
tersebut kewenangan diskresi pejabat lebih diberikan dasar pijak. Pasal 1
angka 9 UU tersebut mengatur, “Diskresi
adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan”. Lebih lengkap tentang apa, bagaimana,
syarat, ruang lingkup dan lain-lain terkait diskresi ini ada dalam Bab 6 UU
tersebut. Berdasarkan kewenangan diskresi itulah, Presiden Jokowi berwenang
mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya aturan penarikan calon kapolri
oleh Presiden setelah adanya persetujuan DPR.
Setelah
membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan, Jokowi mempunyai pilihan lebih
luas untuk langsung mengajukan calon kapolri baru lagi ke DPR, atau tetap
selama beberapa waktu, paling tidak sampai dengan masa pensiun di Oktober
2015, menugaskan Sutarman tetap sebagai Kapolri. Soal Budi Gunawan sendiri
ada pilihan untuk yang bersangkutan lebih fokus kepada kasus hukumnya di KPK
dengan menonaktifkan yang bersangkutan dari jabatannya, sesuai ketentuan yang
ada dalam pasal 12 ayat (1) huruf e UU KPK.
Sedangkan
pilihan Jokowi untuk mengangkat Komjen Badrodin Haiti selaku Pelaksana Tugas
Kapolri sebenarnya menyisakan masalah-masalah ketatanegaraan, yaitu:
Berbeda
dengan pembatalan pencalonan Kapolri oleh Presiden setelah ada persetujuan
DPR yang tidak ada aturannya, maka soal pengangkatan pelaksana tugas Kapolri
sudah diatur dalam UU Polri, dan karenanya Presiden tidak bisa menggunakan kewenangan
diskresi dalam hal ini. Pasal 11 ayat (5) UU Polri mengatur, “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat
memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan
selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dengan aturan
yang jelas demikian, terlihat bahwa kebijakan memberhentikan permanen
Jenderal Sutarman sebagai kapolri lalu mengangkat Badrodin Haiti selaku Plt
Kapolri adalah tindakan yang tidak sesuai dengan UU Polri. Pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri sengaja diatur agak rinci dalam UU, agar institusi
Polri tidak mudah disalahgunakan oleh Presiden. Karena itu, kalaupun
keadaan mendesak dalam Pasal 11 ayat (5) itu yang dijadikan dasar oleh
Presiden Jokowi, harusnya tidak ada pemberhentian permanen pada Sutarman, dan
Badrodin Haiti selaku Plt Kapolri tetap dimintakan persetujuan kepada DPR.
Jika tidak, maka dalam hal pemberhentian Kapolri dan pengangkatan Plt Kapolri
ini, Presiden Jokowi telah melanggar UU Polri. Belum lagi jika ditambah
pertanyaan, bukankah Plt Kapolri yang dipilih, sebagaimana Budi Gunawan, juga
terkait persoalan rekening gendut?
Sebagai
catatan tambahan, meskipun tidak langsung terkait Kapolri, proses
penggantian Kabareskrim Komjen Suhardi Alius kepada
dengan Komjen Budi Waseso juga harus dipaparkan di sini. Tidak sulit
menyimpulkan bahwa pergantian mendadak tersebut adalah akibat dari
gonjang-ganjing pencalonan Budi Gunawan yang bermasalah. Amat
disayangkan, Presiden Jokowi akhirnya menyetujui proses tersebut, yang
berpotensi memperumit koordinasi antara KPK dan Polri yang telah berjalan
baik di era Komjen Suhardi. Jangan sampai pengangkatan Plt Kapolri dan
Kabareskrim tersebut menjadi pintu masuk ketegangan baru antara KPK dan Polri.
Dengan
catatan-catatan kritis demikian, sebaiknya Presiden Jokowi segera melakukan
langkah-langkah perbaikan. Langkah meminta persetujuan pengangkatan Plt
Kapolri kepada DPR mengandung risiko, yaitu jika DPR menolaknya. Saya lebih
memilih dan menyarankan, Presiden tidak hanya menunda pelantikan Budi Gunawan
selaku Kapolri, tetapi secara tegas membatalkannya, lalu memulai lagi proses
seleksi calon Kapolri dari awal. Kali ini libatkan secara penuh bukan hanya
Kompolnas dan Mabes Polri, tetapi juga KPK dan PPATK. Pastikan semua proses
berlangsung secara transparan, akuntabel dan benar.
Proses
pemilihan Kapolri baru tersebut harus segera dilakukan. Tidak baik membiarkan
institusi sepenting Polri dipimpin oleh Plt terlalu lama. Apalagi saat ini
soliditas Polri dapat terganggu karena seakan-akan ada tiga orang bintang
empat di mabes, yaitu: Jendral Sutarman yang baru akan pensiun di bulan
Oktober, Plt Kapolri Badrodin Haiti dan Calon Kapolri Terpilih Budi Gunawan.
Maka mempercepat proses terpilihnya Kapolri definitif adalah kewajiban
Presiden Jokowi.
Itulah apresiasi,
catatan-catatan kritis dan masukan saya. Semoga Presiden Jokowi, yang saya
pilih dalam Pilpres 2014 lalu, terus dikaruniai kesehatan dan kekuatan untuk
memimpin bangsa ini dan memilih Kapolri yang jelas-jelas bersih dari korupsi.
Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar