Jokowi,
Presiden atau Petugas Partai?
Kurniawan Muhammad ; Wartawan Jawa Pos, Magister Ilmu Politik FISIP
Unair
|
JAWA
POS, 19 Januari 2015
MENGAPA
Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu getolnya menyorongkan nama Komisaris
Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri? Mengapa
pula Jokowi seperti acuh tak acuh dengan status tersangka Budi Gunawan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Dalam jumpa
pers Jumat malam lalu (16/1), presiden menyatakan telah mengangkat Komjen
Badrodin Haiti (Wakapolri) sebagai pelaksana tugas (Plt) Kapolri menggantikan
Jenderal Sutarman yang sudah diberhentikan dengan hormat. Selain itu,
presiden menegaskan bahwa dirinya hanya menunda pelantikan Komjen Budi
Gunawan, bukan membatalkan. Bagaimana ini bisa terjadi?
Untuk
menjelaskan semua ini, kita bisa melihatnya dari tiga sisi. Pertama, sisi
historis. Kedua, politis. Ketiga, strategis.
Dari sisi
historis, sudah menjadi rahasia umum, Komjen Budi Gunawan (BG) adalah orang
dekat di lingkaran Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. BG pernah dua kali
menjadi ajudan Megawati, yakni ketika menjadi wakil presiden (1999–2001) dan
presiden (2001–2004). Bahkan, politikus Pramono Anung (mantan Sekjen PDIP)
menyebut BG dengan panggilan ”sahabat saya” (Tempo, 12-18 Januari 2015).
BG mulai
merapat ke Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) pada 2012. Dia waktu itu bersama
dengan Irjen Syafruddin (ajudan JK saat jadi wakil presiden 2004–2009).
Disebut-sebut, Budi-lah yang berperan besar dalam penentuan duet Jokowi dan JK
(Tempo, 12-18 Januari 2015).
Yang menjadi
pertanyaan, ketika BG disorongkan ke DPR sebagai satu-satunya calon Kapolri,
apakah itu atas inisiatif Jokowi sendiri ataukah atas desakan PDIP (baca:
Megawati)? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi berbeda interpretasinya.
Jika penyorongan nama BG benar-benar atas inisiatif Jokowi, itu menjadi
bagian dari hak prerogatif presiden. Tetapi, jika penyorongan nama BG
tersebut atas desakan partai, ini semakin memperkuat ”cita rasa kesan” bahwa
Jokowi bukan hanya seorang presiden. Dia juga adalah petugas partai (seperti
pernah ditegaskan Megawati sebelum Pilpres 2014) yang harus patuh pada
kehendak dan keinginan partai. Kondisi seperti ini tentu bukanlah kondisi
ideal bagi seorang presiden di negara yang menganut sistem presidensial.
Dari sisi
politis, penunjukan BG sebagai calon tunggal Kapolri menyiratkan nuansa
politis yang sangat kental. Pertama, di jajaran perwira tinggi kepolisian
yang berpangkat komjen, setidaknya ada empat figur lain yang dianggap layak
menjadi calon Kapolri. Yakni Komjen Dwi Priyatno (56 tahun), Komjen Badrodin
Haiti, 57; Komjen Putut Eko Bayuseno, 54; dan Komjen Suhardi Alius, 53. Tapi,
mengapa Jokowi langsung memilih BG (bahkan konon tanpa melalui prosedur yang
biasanya) dan seakan menafikan figur-figur yang lain?
Kedua, ketika
BG disorongkan Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri, mengapa proses fit and proper test begitu mulusnya?
Bahkan, mengapa barisan Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen, yang selama
ini berseberangan dengan barisan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), ketika
dihadapkan pada penentuan Kapolri dengan BG sebagai satu-satunya calon,
begitu mudahnya menyetujui? Dari sinilah ”bau politis” itu sangat terasa.
Dalam sejarah
penunjukan Kapolri sejak era reformasi, bukan hal yang baru jika
intrik-intrik yang ujung-ujungnya mengarah ke politik mewarnai. Kita masih
belum lupa bagaimana dulu Presiden Abdurrahman Wahid memaksakan kehendaknya
untuk mengangkat Chairuddin Ismail sebagai Kapolri menggantikan Jenderal
Suroyo Bimantoro. Bahkan, kala itu sempat terjadi konflik politik antara DPR
dan presiden. Bimantoro menolak ketika disuruh mundur oleh Presiden
Abdurrahman Wahid. Dan kala itu Bimantoro disokong DPR secara mayoritas.
Kali ini
konflik berbau politik yang dilatarbelakangi penggantian Kapolri terjadi
bukan antara DPR dan presiden, melainkan DPR dan KPK. Meski KPK sudah
menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi dan transaksi
mencurigakan, DPR justru telah bersepakat menyetujui pelantikan BG sebagai
Kapolri. Akankah kesepakatan itu akan memicu terjadinya pertarungan cicak
versus buaya jilid II? Kondisi seperti ini, menurut hemat penulis, sangat
tidak baik bagi kondusivitas di tubuh Polri.
Dari sisi
strategis, jika Jokowi kelak tetap melantik BG sebagai Kapolri, ini akan
semakin merusak kredibilitas dan integritasnya dalam bidang reformasi hukum.
Dan ini menjadi tidak strategis bagi Jokowi.
Sebelumnya,
menurut penilaian para penggiat antikorupsi dan penegakan hukum, Jokowi sudah
membuat dua langkah blunder di bidang reformasi hukum. Pertama, ketika
memilih politikus PDIP Yasonna Hamonangan Laoly sebagai menteri hukum dan
HAM. Kedua, ketika menunjuk politikus Nasdem M. Prasetyo sebagai jaksa agung
(Jawa Pos, 11 Januari 2015).
Untuk saat ini, kita sedang
menunggu apakah Jokowi tetap akan melantik Komjen BG ataukah berani
membatalkannya. Jika tetap saja akan melantik BG sebagai Kapolri, jangan
disalahkan kalau ada yang menilai Jokowi lebih menjalankan perannya sebagai
petugas partai ketimbang presiden.
Penulis
lantas teringat apa yang pernah ditulis Walter Lippmann di buku klasiknya, Public Opinion. ”Dalam kehidupan politik, tokoh-tokoh yang kita lihat dalam panggung
politik adalah bayangan-bayangan. Dan kita menyusun cerita dari
bayangan-bayangan itu.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar