Kamis, 01 Januari 2015

Revitalisasi Fungsi Unas

                                           Revitalisasi Fungsi Unas

Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
JAWA POS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya memastikan ujian nasional (unas) 2015 tetap dilaksanakan. Meski tetap diselenggarakan, skema unas 2015 akan dimodifikasi. Salah satu perubahan yang pasti dilakukan adalah revitalisasi fungsi unas. Mendikbud Anies Baswedan menegaskan, unas 2015 hanya akan difungsikan sebagai pemetaan pemerataan mutu pendidikan (Jawa Pos, 30/12).

Dengan demikian, unas tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa. Revitalisasi fungsi unas jelas menjadi kabar gembira bagi stakeholder pendidikan. Dengan memfungsikan unas untuk pemetaan mutu pendidikan, penentuan kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah. Kebijakan Kemendikbud itu sekaligus menjadi tantangan bagi guru.

Pertanyaannya, sudah siapkah guru menilai siswa dengan penuh tanggung jawab? Pertanyaan itu wajib dijawab secara jujur oleh guru. Sebab, di tengah situasi masyarakat yang cenderung saling tidak percaya (low trust), keputusan apa pun menjadi perdebatan. Rasanya, sudah waktunya kita percaya pada kemampuan guru. Para guru pasti siap mengambil alih otoritas untuk menentukan kelulusan siswa dengan cara penilaian yang otentik (authentic assessment).

Penilaian otentik meniscayakan guru menilai apa yang seharusnya dinilai, menilai dari banyak aspek, dan menilai dari berbagai sumber. Sejauh ini, guru telah memiliki pengalaman menilai secara otentik melalui ulangan harian, penugasan, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Para guru juga terbiasa menilai sikap dan perilaku siswa melalui kegiatan observasi. Dari perspektif teori evaluasi pendidikan, penilaian otentik jelas lebih kredibel daripada hasil unas. Syaratnya, para guru menilai siswa dengan penuh kejujuran.

Ditegaskan Kemendikbud, unas selanjutnya digunakan untuk memetakan mutu sekolah, pembelajaran guru, capaian siswa, dan dukungan orang tua. Berdasar hasil unas itulah, pemerintah memetakan mutu pendidikan di seluruh penjuru tanah air. Kemendikbud berjanji memberikan penghargaan kepada sekolah yang berhasil. Sedangkan sekolah yang belum mencapai target akan memperoleh pembinaan secara intensif.

Persoalan yang kini dihadapi Kemendikbud adalah waktu pelaksanaan unas yang semakin dekat. Jika merujuk tahun sebelumnya, umumnya unas SMA dan SMP dilaksanakan April. Artinya, Kemendikbud hanya memiliki waktu tiga bulan untuk menyiapkan unas. Persoalan waktu tersebut harus diperhitungkan secara cermat. Sebab, masih segar dalam ingatan publik karut-marut pelaksanaan unas 2013.

Gara-gara mismanajemen, unas 2013 tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Kasus itu begitu kompleks, mulai keterlambatan pencetakan, kendala pengiriman soal, kebocoran soal, hingga jual beli kunci jawaban. Problem itu masih ditambahi dengan berbagai kasus yang menunjukkan praktik ketakjujuran (dishonesty). Ironisnya, problem ketakjujuran selalu melibatkan kepala sekolah, guru, dan siswa. Publik pun mengenang unas 2013 sebagai yang terburuk sepanjang sejarah.

Jika tidak ingin karut-marut unas 2013 terulang, Kemendikbud harus menyiapkan kebutuhan logistik dengan baik. Untuk itu, Kemendikbud harus berpacu dengan waktu. Mereka tidak boleh lagi banyak berwacana. Termasuk wacana mengganti nama unas dengan evaluasi nasional (enas). Apalagi jika pergantian itu sekadar nama. Ibaratnya hanya berganti baju.

Sebelumnya, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga mewacanakan rancangan kriteria kelulusan unas 2015 dengan komposisi 50:50. Wacana itu jelas tidak produktif di tengah persiapan dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa, dan orang tua dalam menghadapi unas. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan unas pasti kebingungan jika terlalu banyak wacana.

Harus diakui, wacana penggantian unas menjadi enas sangat positif sepanjang digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan. Tapi, jika masih dijadikan sebagai salah satu kriteria dalam penentuan kelulusan, ujian itu akan tetap menjadi beban bagi siswa. Bahkan, beban itu tidak hanya dirasakan siswa, melainkan juga orang tua, guru, dan kepala sekolah. Sebab, tingkat kelulusan siswa selalu dijadikan alat untuk membangun citra sekolah.

Yang menarik, unas juga menjadi perhatian pejabat publik seperti presiden, menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan pimpinan dinas pendidikan. Mereka menaruh perhatian karena tingkat keberhasilan unas dapat digunakan sebagai alat pencitraan. Karena itu, banyak kepala daerah yang memerintahkan kepada dinas pendidikan untuk meningkatkan kelulusan siswa. Kepala dinas pendidikan pun memerintahkan kepala sekolah untuk menyukseskan unas. Perintah dinas pendidikan itu ditindaklanjuti kepala sekolah dengan membentuk tim sukses unas. Bermula dari sanalah berbagai kasus ketakjujuran yang menyertai unas.

Rasanya, Mendikbud penting untuk diingatkan bahwa unas adalah produk politik. Unas merupakan kesepakatan politik pemerintah dan pihak legislatif sehingga harus dilaksanakan. Alokasi biaya untuk unas dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga disiapkan setiap tahun. Alasan itulah yang selalu dikemukakan pemerintah saat merespons tuntutan penghapusan unas.

Karena merupakan produk politik, untuk menghapus unas, pasti dibutuhkan lobi-lobi politik. Pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomi pasti kehilangan jika program yang menyedot anggaran ratusan miliar itu dihapus. Di tengah problem politik itulah, keputusan Mendikbud untuk merevitalisasi fungsi unas layak diapresiasi. Kini tantangan Mendikbud adalah meyakinkan presiden, wakil presiden, pihak legislatif, dan dinas pendidikan bahwa revitalisasi fungsi unas merupakan langkah terbaik demi masa depan pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar