Revitalisasi
Fungsi Unas
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 31 Desember 2014
KEMENTERIAN
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya memastikan ujian nasional
(unas) 2015 tetap dilaksanakan. Meski tetap diselenggarakan, skema unas 2015
akan dimodifikasi. Salah satu perubahan yang pasti dilakukan adalah
revitalisasi fungsi unas. Mendikbud Anies Baswedan menegaskan, unas 2015
hanya akan difungsikan sebagai pemetaan pemerataan mutu pendidikan (Jawa Pos, 30/12).
Dengan
demikian, unas tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa.
Revitalisasi fungsi unas jelas menjadi kabar gembira bagi stakeholder
pendidikan. Dengan memfungsikan unas untuk pemetaan mutu pendidikan,
penentuan kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah. Kebijakan Kemendikbud
itu sekaligus menjadi tantangan bagi guru.
Pertanyaannya,
sudah siapkah guru menilai siswa dengan penuh tanggung jawab? Pertanyaan itu
wajib dijawab secara jujur oleh guru. Sebab, di tengah situasi masyarakat
yang cenderung saling tidak percaya (low
trust), keputusan apa pun menjadi perdebatan. Rasanya, sudah waktunya
kita percaya pada kemampuan guru. Para guru pasti siap mengambil alih
otoritas untuk menentukan kelulusan siswa dengan cara penilaian yang otentik
(authentic assessment).
Penilaian
otentik meniscayakan guru menilai apa yang seharusnya dinilai, menilai dari
banyak aspek, dan menilai dari berbagai sumber. Sejauh ini, guru telah
memiliki pengalaman menilai secara otentik melalui ulangan harian, penugasan,
ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Para guru juga terbiasa
menilai sikap dan perilaku siswa melalui kegiatan observasi. Dari perspektif
teori evaluasi pendidikan, penilaian otentik jelas lebih kredibel daripada
hasil unas. Syaratnya, para guru menilai siswa dengan penuh kejujuran.
Ditegaskan
Kemendikbud, unas selanjutnya digunakan untuk memetakan mutu sekolah,
pembelajaran guru, capaian siswa, dan dukungan orang tua. Berdasar hasil unas
itulah, pemerintah memetakan mutu pendidikan di seluruh penjuru tanah air.
Kemendikbud berjanji memberikan penghargaan kepada sekolah yang berhasil.
Sedangkan sekolah yang belum mencapai target akan memperoleh pembinaan secara
intensif.
Persoalan
yang kini dihadapi Kemendikbud adalah waktu pelaksanaan unas yang semakin
dekat. Jika merujuk tahun sebelumnya, umumnya unas SMA dan SMP dilaksanakan
April. Artinya, Kemendikbud hanya memiliki waktu tiga bulan untuk menyiapkan
unas. Persoalan waktu tersebut harus diperhitungkan secara cermat. Sebab,
masih segar dalam ingatan publik karut-marut pelaksanaan unas 2013.
Gara-gara
mismanajemen, unas 2013 tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Kasus itu
begitu kompleks, mulai keterlambatan pencetakan, kendala pengiriman soal,
kebocoran soal, hingga jual beli kunci jawaban. Problem itu masih ditambahi
dengan berbagai kasus yang menunjukkan praktik ketakjujuran (dishonesty). Ironisnya, problem
ketakjujuran selalu melibatkan kepala sekolah, guru, dan siswa. Publik pun
mengenang unas 2013 sebagai yang terburuk sepanjang sejarah.
Jika
tidak ingin karut-marut unas 2013 terulang, Kemendikbud harus menyiapkan
kebutuhan logistik dengan baik. Untuk itu, Kemendikbud harus berpacu dengan
waktu. Mereka tidak boleh lagi banyak berwacana. Termasuk wacana mengganti
nama unas dengan evaluasi nasional (enas). Apalagi jika pergantian itu
sekadar nama. Ibaratnya hanya berganti baju.
Sebelumnya,
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga mewacanakan rancangan kriteria
kelulusan unas 2015 dengan komposisi 50:50. Wacana itu jelas tidak produktif
di tengah persiapan dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa, dan orang tua
dalam menghadapi unas. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan unas pasti
kebingungan jika terlalu banyak wacana.
Harus
diakui, wacana penggantian unas menjadi enas sangat positif sepanjang
digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan. Tapi, jika masih dijadikan sebagai
salah satu kriteria dalam penentuan kelulusan, ujian itu akan tetap menjadi
beban bagi siswa. Bahkan, beban itu tidak hanya dirasakan siswa, melainkan
juga orang tua, guru, dan kepala sekolah. Sebab, tingkat kelulusan siswa
selalu dijadikan alat untuk membangun citra sekolah.
Yang
menarik, unas juga menjadi perhatian pejabat publik seperti presiden,
menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan pimpinan dinas pendidikan. Mereka
menaruh perhatian karena tingkat keberhasilan unas dapat digunakan sebagai
alat pencitraan. Karena itu, banyak kepala daerah yang memerintahkan kepada
dinas pendidikan untuk meningkatkan kelulusan siswa. Kepala dinas pendidikan
pun memerintahkan kepala sekolah untuk menyukseskan unas. Perintah dinas
pendidikan itu ditindaklanjuti kepala sekolah dengan membentuk tim sukses
unas. Bermula dari sanalah berbagai kasus ketakjujuran yang menyertai unas.
Rasanya,
Mendikbud penting untuk diingatkan bahwa unas adalah produk politik. Unas
merupakan kesepakatan politik pemerintah dan pihak legislatif sehingga harus
dilaksanakan. Alokasi biaya untuk unas dari anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) juga disiapkan setiap tahun. Alasan itulah yang selalu
dikemukakan pemerintah saat merespons tuntutan penghapusan unas.
Karena merupakan produk politik, untuk menghapus unas, pasti dibutuhkan
lobi-lobi politik. Pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomi pasti
kehilangan jika program yang menyedot anggaran ratusan miliar itu dihapus. Di
tengah problem politik itulah, keputusan Mendikbud untuk merevitalisasi
fungsi unas layak diapresiasi. Kini tantangan Mendikbud adalah meyakinkan
presiden, wakil presiden, pihak legislatif, dan dinas pendidikan bahwa
revitalisasi fungsi unas merupakan langkah terbaik demi masa depan pendidikan
nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar