Minggu, 04 Januari 2015

Sekolah Perdamaian

Sekolah Perdamaian

John de Santo  ;  Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta;
Pemerhati Masalah Perdamaian
KOMPAS, 02 Januari 2015
                                                
                                                                                                                       


DARI mata para astronot, Planet Bumi sangat indah. Menggelantung tenang di tengah samudra kegelapan yang bisu tak bertepi bersama planet-planet lain. Bumi adalah satu-satunya planet yang menjanjikan kehidupan, harapan, dan kerinduan. ”Watak bumi memang damai,” ujar Yuri Gagarin, kosmonot Rusia yang pertama kali ke luar angkasa dengan pesawat roket Vostok I.
Akan tetapi, mengapa bumi yang berwatak damai ini semakin bergolak?  Mengapa banyak negara menguras sumber daya untuk membangun institusi-institusi militer dan mesin-mesin perang, tetapi mengabaikan sekolah atau pusat-pusat perdamaian untuk melestarikan bumi dan peradabannya?

Perlu kita akui, sejak peristiwa 9/11, bumi kita seolah tidak habis-habisnya dirundung krisis. Ada krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup, krisis kebudayaan, krisis nilai-nilai kemanusiaan, dan krisis perdamaian.

Jurang kaya dan miskin semakin lebar. Konflik masih terjadi di mana-mana. Nyawa orang-orang yang tidak berdosa, termasuk nyawa anak-anak sekolah yang sedang merajut masa depan, meregang sia-sia. Bumi yang
kecil dengan peradaban yang semakin tua ini tetap saja memendam prasangka, kebencian, intoleransi terhadap perbedaan, dan keinginan untuk menyelesaikan berbagai persoalan melalui kekerasan.

Terus dirundung krisis

Dari rentang sejarah peradaban umat manusia selama 4.000 tahun, hanya ada 268 tahun yang damai (Personnel Journal, 2013). Selama kurun waktu itu, ada 8.000 perjanjian yang telah dibuat dan dilanggar.

Bahkan, di Benua Eropa tercatat 286 kali perang selama 300 tahun terakhir. Akankah generasi sekarang menambah panjang rentang waktu konflik dalam sejarah peradaban umat manusia di bumi?

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mencapai perdamaian dunia jika ada visi bersama tentang perdamaian itu. Visi bersama ini, hemat penulis, dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pusat-pusat perdamaian di seluruh dunia. Melalui pendidikan, pikiran orang dapat bertumbuh dan terbuka terhadap berbagai sumber wacana dan pengetahuan yang mencerahkan.

Hanya dalam konteks sekolah perdamaian, dapatlah dikembangkan langkah-langkah untuk membangun perdamaian, seperti dialog, demokratisasi, keadilan sosial, solidaritas terhadap kemanusiaan, dan kesederhanaan hidup.

Pertama, melalui dialog, generasi muda belajar tentang watak kekerasan yang selalu menawarkan jalan pintas yang tidak menjamin perdamaian abadi. Sebab, kekerasan adalah anak kandung  kemarahan dan rasa dendam. Kekerasan, pada akhirnya, hanya akan melahirkan kekerasan lain. Sementara melalui dialog, orang belajar tentang disiplin diri, memandang sebuah persoalan dari berbagai sudut tinjauan, mengembangkan seni mendengarkan, dan mengupayakan solusi jangka panjang yang menguntungkan semua pihak.

Kedua, demokratisasi merupakan materi yang harus dikembangkan dalam sekolah perdamaian. Demokratisasi merupakan manifestasi dari keinginan sebagian besar masyarakat dunia. Masyarakat dunia mengharapkan suaranya didengarkan oleh penguasa. Mereka juga mengharapkan cara-cara legal dan tanpa kekerasan untuk menyingkirkan pejabat-pejabat korup yang hanya menggunakan jabatan untuk memperkaya diri.

Ketiga, perdamaian tak mungkin tercapai tanpa keadilan. Seorang dokter tidak mungkin dapat menyembuhkan pasiennya dengan mengabaikan luka bernanah di kaki pasien itu. Meskipun keadilan sempurna adalah sebuah utopia, paling tidak
ada upaya-upaya konkret dari pemerintah negara-negara di dunia untuk mengurangi penderitaan rakyatnya akibat persoalan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan.

Keempat, dalam rangka keadilan sosial, sekolah perdamaian perlu mengedepankan pula topik tentang kesederhanaan hidup. Generasi muda perlu dibimbing untuk mewaspadai ideologi materialistik dan konsumeristik yang semakin membelenggu dunia. Mereka perlu kritis terhadap kekuatan ekonomi dan semua industri periklanan yang berlomba-lomba mempromosikan gagasan tentang bagaimana orang ditentukan oleh apa yang dimilikinya.

Kesederhanaan hidup membantu orang untuk belajar menguasai diri dan mengambil sikap moderasi dalam hal konsumsi. Hidup ini tidak sekadar memiliki dan mengonsumsi.

Kelima, solidaritas terhadap kemanusiaan merupakan topik lain yang perlu diajarkan di dalam sekolah perdamaian.

Generasi muda perlu disadarkan bahwa dalam rangka perdamaian dunia, dedikasi dan kepatuhan seharusnya dilakukan berdasarkan standar-standar universal. Bahwasanya kita harus siap sedia untuk bahu-membahu membangun kesejahteraan dunia. Sikap apatis hanya akan menyuburkan egosentrisme dan chauvinisme sempit.

Perdamaian sejati

Tujuan utama sekolah perdamaian adalah pengembangan pengetahuan yang memungkinkan eksplorasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia, lingkungan hidup, kejahatan struktural, kebebasan, semangat anti kekerasan, kepedulian sosial, respek terhadap diri sendiri, empati, dan toleransi.

Sekolah perdamaian merupakan tempat paling ideal bagi anak-anak muda untuk mengasah kemampuan menilai perasaan pribadi, sarana untuk bernegosiasi, dan untuk melakukan kompromi.

Visi yang ingin dicapai sekolah perdamaian adalah perdamaian sejati, yang ditandai oleh hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat dalam satu bangsa dan masyarakat antarbangsa. Prasangka dan permusuhan digantikan oleh rasa aman akibat terpenuhinya kesejahteraan sosial dan ekonomi serta pengakuan terhadap persamaan hak-hak politik semua orang sebagai warga dari suatu negara tertentu, sekaligus sebagai manusia yang bermartabat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar