Minggu, 04 Januari 2015

Buyarnya Impian Negara Palestina

Buyarnya Impian Negara Palestina

Musthafa Abd Rahman  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 02 Januari 2015
                                                
                                                                                                                       


PRESIDEN Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Rabu (31/12), menandatangani nota permintaan Palestina bergabung dengan 22 organisasi internasional. Hal ini dilakukan sehari setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menolak mengadopsi draf resolusi Palestina yang meminta pendudukan Israel di tanah Palestina diakhiri dalam tiga tahun ke depan.

Resolusi yang diusulkan Jordania itu gagal memenuhi syarat minimum sembilan suara dari 15 anggota DK PBB setelah Nigeria mengubah sikap dan menolak draf resolusi itu. Hanya delapan negara yang mendukung, yakni Perancis, Luksemburg, Chad, Cile, Argentina, Jordania, Rusia, dan Tiongkok.

Adalah tewasnya Menteri Palestina Urusan Pemantauan Permukiman Yahudi Ziad Abu Ein (55) di tangan tentara Israel, 10 Desember lalu dekat kota Ramallah, Tepi Barat, yang mendorong Palestina bertaruh lagi melancarkan perang diplomasi melawan Israel di forum DK PBB untuk mendapatkan hak bagi berdirinya negara Palestina.

Pertemuan pemimpin Palestina di Ramallah, 14 Desember, memutuskan mengajukan lagi draf resolusi bagi berakhirnya pendudukan Israel di atas tanah sebelum perang Arab-Israel 1967, sebagai balasan atas tewasnya Abu Ein.
Almarhum Pemimpin Palestina Yasser Arafat sesungguhnya mendeklarasikan negara Palestina di Aljazair pada 1988. Saat itu, 135 negara dari berbagai belahan bumi langsung mengakui negara Palestina. Namun, deklarasi itu tidak didukung Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel. Itulah yang membuat negara Palestina hanya berada di atas kertas.

Perubahan sikap negara-negara Eropa belakangan ini untuk mengakui negara Palestina membangkitkan harapan politik Palestina untuk mewujudkan impian itu. Adalah Swedia yang memulai mengakui negara Palestina pada Oktober lalu, disusul parlemen Inggris, Perancis, Irlandia, dan Luksemburg.

Pada 17 Desember 2014, parlemen Uni Eropa ikut mendukung jika ada anggota UE yang mengakui negara Palestina.

Palestina berharap Spanyol, Inggris, Irlandia, dan Perancis segera menyusul Swedia dalam mengakui negara Palestina. Hal itu dijawab oleh parlemen empat negara itu yang mendahului pemerintah mereka untuk mengakui negara Palestina.

Kebangkitan

Palestina melihat gerakan parlemen sejumlah negara Eropa utama mengakui negara Palestina merupakan sebuah kebangkitan hati nurani bangsa-bangsa Eropa dalam memihak perjuangan yang menjadi hak dari sebuah bangsa.
Juru bicara Pemerintah Palestina, Ehab Bessaiso, menyebut sedikitnya tiga alasan tentang strategisnya hubungan Palestina dengan Eropa. Pertama, Eropa dan Palestina memiliki titik temu geografis, yakni sama- sama bertepi ke laut Mediterania. Kedua, Palestina sangat bergantung kepada Eropa dalam perdagangan dan industri.

Ketiga, Eropa memiliki kapasitas politik dalam berandil atas penyelesaian isu-isu strategis konflik Israel-Palestina. Di antaranya isu perbatasan, permukiman Yahudi, pengungsi Palestina, dan kota Jerusalem Timur.

Sementara perunding senior Palestina, Saeb Erekat, dalam sebuah dokumen tentang perjuangan rakyat Palestina mengatakan, pengakuan masyarakat internasional melalui PBB tentang hak rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri sesungguhnya merupakan penerjemahan dari berbagai resolusi Majelis Umum (MU) PBB.

Semua resolusi tersebut menegaskan, hak rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri dan mendirikan negara independen yang berdaulat. Resolusi MU PBB Nomor 2672 juga menegaskan menghormati hak-hak rakyat Palestina adalah bagian penting menuju tercapainya perdamaian adil dan abadi di Timur Tengah.

Menurut Erekat, tidak ada hak bagi Israel atas tanah tahun 1967 dan hal itu sejalan dengan Resolusi DK PBB No 242 yang menegaskan tidak dibenarkan menguasai tanah orang lain dengan kekuatan.

Bagi Abbas, tak ada pilihan kecuali harus bertaruh di DK PBB atau bergabung dengan organisasi internasional. Abbas sejak Kesepakatan Oslo 1993 terus terlibat dalam perundingan dengan Israel, tetapi sampai saat ini gagal mewujudkan negara Palestina.

Padahal, rakyat Palestina hanya ingin mendirikan negara di atas wilayah seluas 22 persen dari sisa keseluruhan tanah historis Palestina. Wilayah itu adalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan kota Jerusalem Timur. Sisa tanah 22 persen itu pun kini semakin mengecil akibat gencarnya pembangunan permukiman Yahudi di atas tanah Palestina itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar