Rabu, 21 Januari 2015

Sampai Kapan Jokowi Sandera Polri?

Sampai Kapan Jokowi Sandera Polri?

Imam Syafi’i  ;   Direktur pemberitaan Jawa Pos TV (JTV),
Pernah lolos 12 besar seleksi Kompolnas
JAWA POS, 20 Januari 2015

                                                                                                                       


SECARA akal waras, karir Komjen Pol Budi Gunawan (BG) tamat. Tetapi, Presiden Joko Widodo masih memberikan harapan. ’’Ditunda, bukan dibatalkan,’’ kata Jokowi dalam menyikapi kepastian pelantikan BG sebagai Kapolri.

Ditunda sampai kapan? Jabatan pelaksana tugas (Plt) yang disandang Komjen Pol Badrodin Haiti jelas tidak bisa lama-lama. Logiskah pengangkatan Kapolri baru menunggu kasus BG memperoleh status hukum yang final?

Penyidikan KPK akan terus berjalan hingga vonis. Bila BG mengajukan praperadilan dan menang, belum tentu perkaranya berhenti. KPK bisa saja memperbaiki penyidikan atau mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Kecurigaan terhadap BG memang cukup besar. Dari banyaknya transaksi mencurigakan, bisa timbul lebih dari satu sangkaan.

Kalau BG kemudian diproses di KPK, ditahan, diadili, dan divonis, Jokowi akan cukup lama menunggu BG mendapat status hukum tetap dan mengikat (in kracht van gewijsde). Tengok kasus Irjen Pol Djoko Susilo (DS). Kasus itu meledak ketika KPK menggeledah kantor DS, Korlantas Mabes Polri, 31 Juli 2012. Kasus in kracht pada 4 Juni 2014 atau hampir dua tahun kemudian. DS divonis 18 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 32 miliar.

Katakanlah proses perkara DS dengan BG akan sama panjangnya dan Jokowi setia menunggu penundaan pengangkatan Kapolri definitif, BG waktu in kracht sudah menjelang pensiun. BG kelahiran 11 Desember 1959 dan harus pensiun pada 10 Desember 2017 (pada usia 58 tahun). Itu pun kalau divonis bebas, yang sangat kecil kemungkinannya.

Apakah demi seorang BG, Jokowi akan membiarkan selama itu Polri tersandera? Apakah lazim seorang Plt menjabat sampai dua tahun? Alangkah istimewanya seorang BG. Setelah status tersangka KPK pun, dia tidak dimundurkan dari jabatan kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol). Kalau berpangkat lebih rendah, misalnya AKP atau kombespol yang tersangka, apakah mungkin tetap jadi Kapolsek atau Kapolres?

Akan halnya Komjen Badrodin yang menjadi Plt Kapolri, dia punya keterbatasan wewenang. Badrodin memang merasa bukan Plt, tetapi ’’melaksanakan tugas dan wewenang’’ Kapolri. ’’Jadi, sama dengan Kapolri, tapi pangkatnya berbeda. Kita melaksanakan tugas Kapolri, tetapi tetap Wakapolri,’’ katanya seperti dikutip detikcom (19/1).

Meski begitu, Badrodin tidak mencerminkan sikap seorang Kapolri. Yakni, sesaat setelah sertijab dengan Sutarman, dia mengatakan soal BG. ’’Kita sangat bersyukur kalau dia mengundurkan diri. Tetapi, kan kita tidak bisa paksa itu,’’ kata Badrodin (Jawa Pos, 17/1).

Semestinya, kalau merasa kewenangannya seperti Kapolri, Badrodin bisa memerintah BG mundur, termasuk dari posisi Kalemdikpol. Ketidakberwenangannya dalam mengusulkan anggaran juga akan menjadi soal. Karena pertengahan tahun, anggaran Polri tahun berikutnya mulai disusun. Bisa-bisa anggaran Polri stagnan, padahal situasi pasti berubah.

’’Kontrarevolusi’’

Yang jelas, Polri kita sedang ’’meriang’’. Lembaga itu sebenarnya diselamatkan KPK ketika menetapkan BG sebagai tersangka saat tidak ada yang bisa menghadangnya melaju ke kursi Tribrata-1. Jokowi –orang yang semestinya paling berkuasa di Indonesia– disebut-sebut tidak kuasa menolak pencalonannya sehingga mengirim BG sebagai calon tunggal Kapolri.

DPR juga membiarkan BG lolos, meski sudah tahu KPK menetapkannya sebagai tersangka. DPR seakan melupakan semangat bahwa UU mewajibkan calon Kapolri disetujui DPR agar ada filter apabila presiden salah pilih dan presiden tidak semena-mena dalam berprerogatif.

Prahara ciptaan Jokowi ini makin sulit karena Plt pun harus dimintakan persetujuan DPR. Padahal, pengangkatan BG belum dibatalkan. Badrodin Haiti juga punya problem karena disebut-sebut masuk list rekening gendut seperti halnya BG, meski tuduhan itu sudah dibantah Badrodin. Apakah Jokowi akan tetap cuek dan tidak bertegur sapa dengan KPK (serta PPATK) dalam menentukan Kapolri definitif? Kalau itu dilakukan, Jokowi bisa disebut telah melakukan ’’kontrarevolusi mental’’.

Persoalan yang juga perlu dikoreksi secara tegas adalah profesionalitas Bareskrim dalam menyidik pembesar Polri sendiri. Kalau polisi berpangkat rendah, biasanya mereka lebih cermat. Misalnya, kasus rekening gendut Aiptu Labora Sitorus. Tapi, untuk pengusutan kasus rekening gendut BG, mereka terkesan sangat tidak menunjukkan kualitas reserse yang mumpuni. Karena itu, mudah saja keluar surat Bareskrim bahwa fulus puluhan miliar rupiah di rekening BG tersebut wajar (untuk polisi bergaji Rp 7 juta per bulan).
Alangkah sulit memulihkan kepercayaan kepada Polri kalau penegakan hukum silau kepada ’’bintang’’ seperti ini. Tidak heran, sekalipun BG mengibar-ngibarkan surat ’’bersih’’ itu di DPR, kredibilitasnya tidak terpulihkan. Kualitas penyelidikan Bareskrim tersebut menjadikan alasan kian kuat bahwa KPK memang harus tetap ada!

Persoalan genting lainnya, Jokowi harus segera membebaskan Polri dari situasi krisis ini. Atau, dia memang tidak bisa bergerak cepat karena kalau BG murka bisa mengeluarkan amunisi yang mendelegitimasi kepresidenan Jokowi? Bagaimanapun, kedekatan BG dengan Megawati dan PDIP bisa menyimpan ekses bom waktu bagi Jokowi.

Masa depan BG memang suram. Dia terancam dimiskinkan seperti halnya DS. Sangat sedikit yang bisa dipertahankan BG. Semoga ini tidak berujung pada logika jatsu jatma (jatuh satu jatuh semua)…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar