Sampai
Kapan Jokowi Sandera Polri?
Imam Syafi’i ; Direktur pemberitaan Jawa Pos TV (JTV),
Pernah lolos 12 besar seleksi Kompolnas
|
JAWA
POS, 20 Januari 2015
SECARA akal
waras, karir Komjen Pol Budi Gunawan (BG) tamat. Tetapi, Presiden Joko Widodo
masih memberikan harapan. ’’Ditunda, bukan dibatalkan,’’ kata Jokowi dalam
menyikapi kepastian pelantikan BG sebagai Kapolri.
Ditunda
sampai kapan? Jabatan pelaksana tugas (Plt) yang disandang Komjen Pol
Badrodin Haiti jelas tidak bisa lama-lama. Logiskah pengangkatan Kapolri baru
menunggu kasus BG memperoleh status hukum yang final?
Penyidikan
KPK akan terus berjalan hingga vonis. Bila BG mengajukan praperadilan dan
menang, belum tentu perkaranya berhenti. KPK bisa saja memperbaiki penyidikan
atau mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Kecurigaan
terhadap BG memang cukup besar. Dari banyaknya transaksi mencurigakan, bisa
timbul lebih dari satu sangkaan.
Kalau BG
kemudian diproses di KPK, ditahan, diadili, dan divonis, Jokowi akan cukup
lama menunggu BG mendapat status hukum tetap dan mengikat (in kracht van gewijsde). Tengok kasus
Irjen Pol Djoko Susilo (DS). Kasus itu meledak ketika KPK menggeledah kantor
DS, Korlantas Mabes Polri, 31 Juli 2012. Kasus in kracht pada 4 Juni 2014 atau hampir dua tahun kemudian. DS
divonis 18 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 32
miliar.
Katakanlah
proses perkara DS dengan BG akan sama panjangnya dan Jokowi setia menunggu
penundaan pengangkatan Kapolri definitif, BG waktu in kracht sudah menjelang
pensiun. BG kelahiran 11 Desember 1959 dan harus pensiun pada 10 Desember
2017 (pada usia 58 tahun). Itu pun kalau divonis bebas, yang sangat kecil
kemungkinannya.
Apakah demi
seorang BG, Jokowi akan membiarkan selama itu Polri tersandera? Apakah lazim
seorang Plt menjabat sampai dua tahun? Alangkah istimewanya seorang BG.
Setelah status tersangka KPK pun, dia tidak dimundurkan dari jabatan kepala
Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol). Kalau berpangkat lebih rendah,
misalnya AKP atau kombespol yang tersangka, apakah mungkin tetap jadi
Kapolsek atau Kapolres?
Akan halnya
Komjen Badrodin yang menjadi Plt Kapolri, dia punya keterbatasan wewenang.
Badrodin memang merasa bukan Plt, tetapi ’’melaksanakan tugas dan wewenang’’
Kapolri. ’’Jadi, sama dengan Kapolri, tapi pangkatnya berbeda. Kita
melaksanakan tugas Kapolri, tetapi tetap Wakapolri,’’ katanya seperti dikutip
detikcom (19/1).
Meski begitu,
Badrodin tidak mencerminkan sikap seorang Kapolri. Yakni, sesaat setelah
sertijab dengan Sutarman, dia mengatakan soal BG. ’’Kita sangat bersyukur
kalau dia mengundurkan diri. Tetapi, kan kita tidak bisa paksa itu,’’ kata
Badrodin (Jawa Pos, 17/1).
Semestinya,
kalau merasa kewenangannya seperti Kapolri, Badrodin bisa memerintah BG
mundur, termasuk dari posisi Kalemdikpol. Ketidakberwenangannya dalam
mengusulkan anggaran juga akan menjadi soal. Karena pertengahan tahun,
anggaran Polri tahun berikutnya mulai disusun. Bisa-bisa anggaran Polri
stagnan, padahal situasi pasti berubah.
’’Kontrarevolusi’’
Yang jelas,
Polri kita sedang ’’meriang’’. Lembaga itu sebenarnya diselamatkan KPK ketika
menetapkan BG sebagai tersangka saat tidak ada yang bisa menghadangnya melaju
ke kursi Tribrata-1. Jokowi –orang yang semestinya paling berkuasa di
Indonesia– disebut-sebut tidak kuasa menolak pencalonannya sehingga mengirim
BG sebagai calon tunggal Kapolri.
DPR juga
membiarkan BG lolos, meski sudah tahu KPK menetapkannya sebagai tersangka.
DPR seakan melupakan semangat bahwa UU mewajibkan calon Kapolri disetujui DPR
agar ada filter apabila presiden salah pilih dan presiden tidak semena-mena
dalam berprerogatif.
Prahara
ciptaan Jokowi ini makin sulit karena Plt pun harus dimintakan persetujuan
DPR. Padahal, pengangkatan BG belum dibatalkan. Badrodin Haiti juga punya
problem karena disebut-sebut masuk list rekening gendut seperti halnya BG,
meski tuduhan itu sudah dibantah Badrodin. Apakah Jokowi akan tetap cuek dan
tidak bertegur sapa dengan KPK (serta PPATK) dalam menentukan Kapolri definitif?
Kalau itu dilakukan, Jokowi bisa disebut telah melakukan ’’kontrarevolusi
mental’’.
Persoalan
yang juga perlu dikoreksi secara tegas adalah profesionalitas Bareskrim dalam
menyidik pembesar Polri sendiri. Kalau polisi berpangkat rendah, biasanya
mereka lebih cermat. Misalnya, kasus rekening gendut Aiptu Labora Sitorus.
Tapi, untuk pengusutan kasus rekening gendut BG, mereka terkesan sangat tidak
menunjukkan kualitas reserse yang mumpuni. Karena itu, mudah saja keluar
surat Bareskrim bahwa fulus puluhan miliar rupiah di rekening BG tersebut
wajar (untuk polisi bergaji Rp 7 juta per bulan).
Alangkah
sulit memulihkan kepercayaan kepada Polri kalau penegakan hukum silau kepada
’’bintang’’ seperti ini. Tidak heran, sekalipun BG mengibar-ngibarkan surat
’’bersih’’ itu di DPR, kredibilitasnya tidak terpulihkan. Kualitas
penyelidikan Bareskrim tersebut menjadikan alasan kian kuat bahwa KPK memang
harus tetap ada!
Persoalan
genting lainnya, Jokowi harus segera membebaskan Polri dari situasi krisis
ini. Atau, dia memang tidak bisa bergerak cepat karena kalau BG murka bisa
mengeluarkan amunisi yang mendelegitimasi kepresidenan Jokowi? Bagaimanapun,
kedekatan BG dengan Megawati dan PDIP bisa menyimpan ekses bom waktu bagi
Jokowi.
Masa depan BG
memang suram. Dia terancam dimiskinkan seperti halnya DS. Sangat sedikit yang
bisa dipertahankan BG. Semoga ini tidak berujung pada logika jatsu jatma (jatuh satu jatuh semua)… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar