Revolusi
Mental Belum Terjadi
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS, 08 Januari 2015
MENUTUP tahun 2014 dan membuka tahun 2015, kita wajib
mengingatkan Presiden Jokowi: revolusi mental belum terjadi secara sistemik
dan struktural. Semoga dia dan kabinetnya tidak lupa pada janjinya yang
dicatat kuat-kuat di benak rakyat.
Gagasan revolusi mental versi Jokowi yang semula nyaring
sebelum dan selama Pemilu Presiden 2014 kini nyaris tak terdengar lagi.
Begitu pula dengan Trisakti. Mungkin Jokowi menganggap rakyat sudah cukup
”sakti” dan mampu berjalan sendiri
untuk mewujudkan dua gagasan besar itu. Bukankah neoliberalisme melarang
negara untuk hadir dalam kehidupan masyarakat sehingga pasar lebih leluasa
berkuasa? Namun, benarkah Jokowi adalah presiden neolib?
Benar, Jokowi bukan ideolog, melainkan pengusaha. Ideolog
adalah penggagas, penafsir, dan pelaksana ideologi (cita-cita besar gagasan)
untuk mewujudkan masyarakat bermartabat: adil, sejahtera, berkebudayaan tinggi, dan
berperadaban. Tokoh-tokoh seperti Bung Karno (penggali Pancasila), Bung Hatta
(pencetus ekonomi berorientasi kekeluargaan/kerakyatan atau koperasi), Bung
Sjahrir (penggagas sosialisme kerakyatan ala Indonesia), serta Ki Hadjar
Dewantara (penggagas dan pelaksana pendidikan berbasis kebangsaan/kerakyatan)
adalah ideolog.
Adapun pengusaha adalah sosok wirausaha (entrepreneur) yang tumbuh dalam
tradisi dan kultur peniagaan. Pengusaha lebih berkaitan dengan dunia
pragmatis daripada ideologis. Kata-kata kunci yang selalu melekat antara
lain: keterampilan, modal, manajemen, trust, hukum permintaan dan penawaran,
rabat, laba, konsinyasi, grosir, eceran, margin keuntungan, pemasaran, titik
impas, konsumen, industri, dan ekonomi. Karena itu, Jokowi lebih fasih bicara
soal ekonomi dan bisnis daripada revolusi kebudayaan.
Dengan melihat latar belakang Jokowi, kita tak lantas
pesimistis terkait dengan pelaksanaan revolusi mental dan Trisakti. Apalagi
menilai bahwa dua gagasan itu ibarat
kapur barus yang telah menyublim dan
menguap. Jokowi punya tangki pemikir yang sangat paham revolusi mental dan
Trisakti.
Kebudayaan ideologi lebih mengutamakan nilai-nilai ideal
dan mendasar serta bersifat jangka panjang daripada kepentingan jangka
pendek/pragmatis seperti keuntungan material. Revolusi mental bicara tentang
kesadaran etis dan etos yang membentuk serta membangun perilaku etis dan
produktif. Adapun Trisakti bicara pentingnya kedaulatan politik, kemandirian
ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.
Keruh di hulu
Revolusi mental dan Trisakti yang diusung JKW-JK sesungguhnya bicara tentang pentingnya
martabat bangsa yang dibangun melalui tiga hal mendasar: integritas,
komitmen, dan kapabilitas. Gagasan ini sangat relevan di tengah kondisi bangsa
yang secara sadar meninggalkan atau tidak menganggap penting martabat.
Indikatornya antara lain gampang dilihat pada perilaku masif para
penyelenggara negara yang oportunistis dan gemar korupsi serta sangat
terlatih mengingkari konstitusi.
Kondisi keruh di tingkat hulu menimbulkan bakteri dan
penyakit mental di tingkat hilir (masyarakat) yang melakukan copy paste atas
perilaku tercela penyelenggara negara. Masyarakat pun, pinjam istilah
budayawan Kuntowijoyo, berperilaku sangat permisif (serba boleh) demi meraih
cita-cita untuk kaya, meraih sebanyak mungkin kenikmatan dan syukur terkenal.
Mentalitas instan, lebih mengutamakan hasil daripada
pencapaian nilai melalui proses, sangat dominan. Kebenaran, kebaikan, dan
keindahan sebagai cerminan moralitas, etika, estetika, dan logika dilabrak
tanpa permisi demi gumpalan keuntungan material atau kenikmatan.
Lihatlah, misalnya, industri televisi yang cenderung
mengumbar perilaku asal untung, asal mencapai rating tinggi, dan asal meraup
banyak iklan. Materi acara apa pun dijadikan komoditas asal memenuhi hasrat
untuk menciptakan sensasi hiburan yang laku. Semua jadi tontonan. Tak
disadari perilaku gelap mata industri hiburan di televisi ini hanya
melahirkan kedangkalan berpikir dan selera serta menyuburkan mentalitas
instan yang menyembah pragmatisme.
Celakanya, saat ini industri hiburan di televisi telah
menggantikan institusi keluarga, sekolah, agama, politik, budaya, masyarakat, dan negara sebagai pusat
orientasi nilai warga masyarakat, terutama generasi muda. Pemerintah dan
penyelenggara negara cenderung diam dan menganggap seolah tak ada masalah.
Memang kadang muncul teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia, tetapi hal itu
tidak memberikan perubahan signifikan.
Para penyelenggara pemerintahan dan negara layak merasa
memiliki dosa kebudayaan dengan membiarkan kondisi buram itu terus
berlangsung. Mereka berdosa secara kultural karena membiarkan publik diterkam
para predator kebudayaan.
Bagaimana revolusi mental bisa dilangsungkan jika
menghadapi para penguasa modal industri hiburan di televisi saja pemerintah
dan penyelenggara negara tidak mampu? Kenapa harus menyerah pada liberalisme
hanya takut dianggap tidak demokratis? Esensi demokrasi adalah melakukan
penguatan masyarakat sipil, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun
budaya. Bukan membiarkan masyarakat lepas, permisif tanpa kendali.
Negara wajib menginisiasi berbagai program yang secara
kultural sangat strategis untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni industri
hiburan di televisi yang cenderung dekaden. Bukankah pemerintahan Jokowi dan
JK didukung masyarakat intelektual, pendidik, pengusaha, seniman, budayawan,
rohaniwan, dan sumber potensial lainnya? Mereka dapat dilibatkan untuk
menciptakan dan mewujudkan strategi kebudayaan.
Jokowi yang gemar bicara soal ekonomi kreatif dan industri
kreatif mestinya sangat peduli pada soal ini. Manusia Indonesia menjadi
kreatif jika punya martabat, karakter, identitas, jati diri. Ini semua sedang
lenyap sehingga bangsa ini menjadi kurang terhormat, tidak mandiri, tidak
produktif, dan cenderung hanya menjadi bangsa konsumtif yang menyembah pada
copy paste.
Jika Bung Karno berapi-api bilang, ”Revolusi belum selesai!”, Bung Jokowi selayaknya juga bilang, ”Revolusi mental belum terjadi! Semoga
saya tidak lupa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar