Kamis, 08 Januari 2015

Jender dan Otonomi Daerah

Jender dan Otonomi Daerah  

Irfan Ridwan Maksum  ;   Guru Besar Ilmu Administrasi;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI
KOMPAS,  08 Januari 2015

                                                                                                                       


ISU jender merupakan isu yang penting dalam pengelolaan sebuah negara-bangsa. Isu ini di Indonesia pun dikelola melalui berbagai macam kebijakan.
Sejumlah pihak, termasuk penyusun UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal pembagian urusan pemerintahan meyakini otonomi daerah juga melibatkan aspek jender. Disebutkan dalam UU itu bahwa pemberdayaan perempuan merupakan domain urusan yang dapat didesentralisasikan kepada daerah otonom sebagai urusan wajib yang tak menyangkut pelayanan dasar. Artinya, daerah otonom wajib mengatur dan mengurus soal tersebut.

Sebagaimana diketahui, narasi otonomi adalah keberagaman. Konsekuensinya, praktik pemberdayaan perempuan antardaerah akan berbeda-beda norma perlakuannya. Jika hal itu terjadi, amatlah riskan sebagai sebuah negara-bangsa modern. Oleh karena itu, hal ini patut dikaji secara serius.

Narasi jender

Dalam otonomi, empat narasi mencuat terkait dengan pemberdayaan perempuan. Pertama, sejak otonomi merupakan nilai penting yang jadi dasar bahwa daerah otonom memiliki ruang yang luas di luar bidang-bidang luar negeri, pertahanan dan keamanan, agama, yustisi, dan moneter. Jender adalah subyek dari otonomi daerah dalam hal ini.

Kedua, narasi bahwa persoalan perempuan di dunia ini tak boleh dibeda-bedakan. Perempuan punya hak-hak yang sama, bahkan ada kesetaraan jender.

Ketiga, narasi bahwa negara di tingkat lokal dan nasional adalah identik. Oleh karena itu, dalam soal jender, daerah otonom harus tunduk dan mengacu norma-universal.

Keempat, mengurus pemberdayaan perempuan adalah hal yang kompleks dan berujung dibutuhkannya sejumlah sumber daya. Sejumlah pihak menyadari bahwa karena membutuhkan biaya, harus ditumbuhkan komitmen yang tinggi, harus ada kesadaran penuh sejumlah pihak, dan sering kali menyebabkan saling lempar tanggung jawab.

Narasi pertama dan kedua bertolak belakang. Jika daerah otonom diberi kebebasan sesungguhnya, ini berakibat pemberdayaan perempuan beragam antardaerah. Jika diinginkan sesuatu yang standar, semestinya harus dengan sentralisasi atau—penghalusnya—dekonsentrasi. Pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus soal ini.

Unit pusat tersebut harus memastikan kebijakan nasional efektif sehingga harus memiliki tangan-tangannya di daerah (dekonsentrasi). Pemberdayaan perempuan harus diurus oleh birokrasi dengan instansi vertikal menjangkau pelosok RI dan dana sepenuhnya dari APBN jika ingin terjaga standar yang sama.

Banyak pihak mengartikan narasi sentralisasi sebagai hal yang membahayakan karena otoritarianisme. Padahal, era Indonesia kini bukan otoritarianisme, melainkan demokrasi. Pemberdayaan perempuan yang berbeda juga antardaerah dinilai jelek oleh para pengusung kesetaraan jender.

Narasi ketiga dan keempat juga saling bertolak belakang. Narasi ketiga adalah narasi utopis karena amat berpijak pada norma hukum, tidak terlalu memperhatikan kondisi empiris. Sebaliknya, narasi keempat, diusung menekankan segi praktis-implementatif, tidak terlalu mementingkan idealisme.

Narasi ketiga menganggap bahwa tidak perlu dipertentangkan pembagian urusan soal pemberdayaan perempuan karena dapat dibantu dengan perangkat hukum yang diacu oleh beberapa unit tersebut. Namun, penganjur narasi ini lupa bahwa apabila otonomi dilakukan, birokrasi lokal memiliki atasan politisi lokal. Adakalanya praktik otonomi menyatakan sulit mewujudkannya karena ruang tafsir lokal besar terhadap soal pemberdayaan perempuan ini. Pihak-pihak penganjur otonomi akan berkata, ”Apalah artinya otonomi jika kearifan lokal tidak tertampung.”

Narasi keempat adalah narasi yang bersifat pragmatis, tetapi menuntut pembagian urusan yang jelas. Dalam kadar sekecil apa pun terdapat ruang otonomi dalam pemberdayaan perempuan. Karena itu, harus diberi wadah yang pasti sehingga sumber dayanya pun jelas. Narasi ini memungkinkan pula di samping unit daerah otonom diperlukan instansi vertikal jika memang bidang ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Ketakjelasan akan membawa lempar tanggung jawab dan yang berbahaya adalah memicu perilaku-koruptif. Umumnya yang kecil akan dimainkan oleh yang besar. Korban dalam urusan proyek pemberdayaan perempuan umumnya aktor-aktor yang lemah.

Pilihan narasi

Keempat narasi di atas saling berhubungan satu sama lain. Keempatnya membentuk segi empat narasi. Dalam kondisi empiris, melalui proses argumentasi sejumlah pihak pengusung, baik dengan retorika berdasarkan fakta logis maupun empati, ia saling memengaruhi dengan misi pokok bahwa pemberdayaan perempuan harus makin baik. Ketertinggalan perempuan Indonesia dapat saja dipicu akibat tak jelasnya kompleksitas negara mengatur dan mengurus soal ini.

Urusan ini mengandung penyalahgunaan implementasi dalam berbagai proyek pemberdayaan perempuan karena sinergitas elemen pusat-daerah amat rentan akibat tidak jelasnya tanggung jawab. Misi dalam pemberdayaan perempuan pun makin lemah karena kuatnya kompleksitas negara dalam mengelolanya. Formalitas pemberdayaan perempuan sangat kuat.

Sudah saatnya rincian material dipikirkan oleh Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam soal ini. Jika dimungkinkan, tidak ada otonomi dalam soal pemberdayaan perempuan sehingga instansi vertikal didorong dengan nuansa demokratisasi nasional.

Jika hal tertentu perlu melibatkan daerah otonom, jalankan dengan tugas perbantuan, yakni tanggung jawab dan pendanaan dari pusat. Adapun peran pemda sebatas membantu dengan sumber daya manusia dan organisasinya. Niscaya jika taat asas, pengelolaan isu jender akan berefek positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar