Revisi
UU MD3 dan Posisi DPD
Fachrul Razi ; Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah
(DPD);
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas
Indonesia (UI) Depok
|
KOMPAS, 07 Januari 2015
DEMOKRASI di Indonesia mengikuti
konsep trias politica gagasan Montesquieu yang menjelaskan bahwa untuk
tegaknya sebuah negara demokrasi perlu pemisahan kekuasaan negara ke dalam
tiga organ penting, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang),
kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif
(mengadili jika terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Legislatif menentukan
keberlangsungan roda pemerintahan dalam sistem demokrasi. Sistem kelembagaan
legislatif atau parlemen di Indonesia memiliki dua kamar utama, yaitu kamar
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kamar Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua
bilik kamar ini bersatu dalam rumah besar Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
Cikal bakal kelahiran DPD berasal
dari Fraksi Utusan Daerah (FUD) DPR. Kemudian setelah amandemen UUD 1945,
tahun 2004 FUD bermetamorfosis menjadi DPD. Ini adalah sebuah bilik kamar
tersendiri beranggotakan empat orang dari setiap provinsi se-Indonesia yang
mencalonkan diri secara independen—tanpa diusung oleh parpol—dalam pemilu
legislatif. Di dunia internasional anggota DPD lebih populer disebut senator.
Dalam pelaksanaan fungsi dan
peran, DPD tidak memiliki hak dan kewenangan sesuper power DPR, tetapi
setidaknya sebagai lembaga yang baru dilahirkan dari rahim DPR memiliki hak
dan kewenangan hampir sama dengan DPR.
Berdasarkan Pasal 80 UU MD3,
anggota DPR memiliki 11 poin hak dan kewenangan, yaitu mengajukan usul
rancangan undang-undang (RUU), mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, keuangan
dan administratif, pengawasan, mengusulkan program pembangunan daerah
pemilihan, dan melakukan sosialisasi undang-undang.
Adapun hak dan kewenangan DPD
hanya tujuh poin sebagaimana diatur dalam Pasal 257 UU MD3, yaitu mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela
diri, imunitas, protokoler, dan keuangan administratif. Beberapa poin penting
mengenai hak dan kewenangan anggota DPR justru tidak dimiliki anggota DPD.
Revisi
minus DPD
Revisi UU MD3 segera akan berlangsung
di DPR setelah disahkan dalam sidang paripurna.
Revisi UU MD3 ini tidak melibatkan
DPD, padahal menurut perintah UU dan konstitusi DPD harus ikut serta dalam
pembahasan perubahan UU MD3 sesuai amanat konstitusi Pasal 22 D UUD 1945 dan
putusan MK No 92/PUU-X/2012 Tanggal 27 Maret 2013 terkait permohonan
pengujian UU atas UU No 27/2009 tentang MD3 dan UU No 12/2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menelaah lebih jauh, sebenarnya
ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab revisi UU tidak masuk dalam
prolegnas, yaitu keadaan darurat dan bencana, kekosongan hukum, dan konflik.
Apabila kita mencermati kondisi
DPR saat ini, yaitu terbelah menjadi dua kelompok besar Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang saling bertikai, penyatuan
kedua kubu ini perlu revisi UU MD3 tanpa masuk program legislasi nasional
(prolegnas) serta tidak melibatkan DPD.
Konflik internal di DPR antara KIH
dan KMP tidak cukup menjadi dasar revisi UU MD3. Revisi UU harus mengikuti
ketentuan UU No 12/2011 yang antara lain mengharuskan revisi UU harus masuk
prolegnas. Lemahnya dasar revisi UU MD3 jika dipaksakan akan merusak sistem
tata negara.
Menurut hemat saya, terdapat tiga
perlakuan inkonstitusional DPR dalam revisi UU MD3 tanpa melibatkan DPD. Pertama,
kealpaan DPR akan perintah konstitusi dan UU.
Dalam setiap pembahasan UU, DPR
seyogianya mematuhi UU No 12/2011 dan keputusan MK terkait uji materi UU MD3
bahwa pembahasan UU harus dilakukan tripartit di antara pemerintah, DPR, dan
DPD.
Dalam UU dan perintah konstitusi
di atas secara jelas disebutkan, DPD harus dilibatkan dalam revisi UU MD3,
dalam arti positioning DPD tidak meminta untuk dilibatkan.
Oleh karena itu, menurut pendapat
saya, secara jelas ke depan apa pun hasil dari pembahasan UU MD3 tanpa
melibatkan DPD ini bisa tidak sah dan dibatalkan secara hukum.
Kealpaan DPR semestinya tidak
terjadi walaupun alasannya demi mempersatukan KMP dan KIH yang bertikai.
Secara moril DPD mendukung revisi UU MD3 jika itu jalan terbaik untuk bangsa
ke depan, tetapi keterlibatan DPD seharusnya tidak diabaikan begitu saja.
Kedua, adanya upaya pengerdilan
peran dan fungsi DPD. Terkait ketidakterlibatan DPD dalam revisi UU MD3,
menurut pendapat saya, ada upaya pemangkasan peran DPD dalam lembaga
legislatif.
Memang kita harus akui, peran dan
fungsi kelembagaan DPD tidak sekuat posisi DPR yang memiliki peran budgeting
dan mengusulkan RUU. Namun, dalam setiap pembahasan UU, DPD wajib dilibatkan.
Ketiga, menurut pendapat saya,
tidak melibatkan DPD dalam revisi UU MD3 merupakan sebuah bentuk kejahatan
negara (state crime) terstruktur
yang sangat membahayakan sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia ke depan.
Positioning DPD sangat diperlukan, minimal
kehadiran DPD dalam setiap pembahasan RUU untuk memberikan pertimbangan dan
masukan, khususnya terkait dengan daerah.
Ke depan, DPD seharusnya
memperjuangkan positioning sebagai
anak kandung parlemen karena keterlibatan DPD dalam fungsi legislasi, budgeting, dan controlling bisa membantu optimalisasi dalam menyelesaikan RUU
sesuai dengan interval waktu prolegnas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar