Kamis, 08 Januari 2015

Revisi UU MD3 dan Posisi DPD

Revisi UU MD3 dan Posisi DPD  

Fachrul Razi  ;   Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Depok
KOMPAS,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


DEMOKRASI di Indonesia mengikuti konsep trias politica gagasan Montesquieu yang menjelaskan bahwa untuk tegaknya sebuah negara demokrasi perlu pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga organ penting, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (mengadili jika terjadi pelanggaran atas undang-undang).

Legislatif menentukan keberlangsungan roda pemerintahan dalam sistem demokrasi. Sistem kelembagaan legislatif atau parlemen di Indonesia memiliki dua kamar utama, yaitu kamar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kamar Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua bilik kamar ini bersatu dalam rumah besar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Cikal bakal kelahiran DPD berasal dari Fraksi Utusan Daerah (FUD) DPR. Kemudian setelah amandemen UUD 1945, tahun 2004 FUD bermetamorfosis menjadi DPD. Ini adalah sebuah bilik kamar tersendiri beranggotakan empat orang dari setiap provinsi se-Indonesia yang mencalonkan diri secara independen—tanpa diusung oleh parpol—dalam pemilu legislatif. Di dunia internasional anggota DPD lebih populer disebut senator.

Dalam pelaksanaan fungsi dan peran, DPD tidak memiliki hak dan kewenangan sesuper power DPR, tetapi setidaknya sebagai lembaga yang baru dilahirkan dari rahim DPR memiliki hak dan kewenangan hampir sama dengan DPR.
Berdasarkan Pasal 80 UU MD3, anggota DPR memiliki 11 poin hak dan kewenangan, yaitu mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU), mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, keuangan dan administratif, pengawasan, mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan, dan melakukan sosialisasi undang-undang.

Adapun hak dan kewenangan DPD hanya tujuh poin sebagaimana diatur dalam Pasal 257 UU MD3, yaitu mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, dan keuangan administratif. Beberapa poin penting mengenai hak dan kewenangan anggota DPR justru tidak dimiliki anggota DPD.

Revisi minus DPD

Revisi UU MD3 segera akan berlangsung di DPR setelah disahkan dalam sidang paripurna.

Revisi UU MD3 ini tidak melibatkan DPD, padahal menurut perintah UU dan konstitusi DPD harus ikut serta dalam pembahasan perubahan UU MD3 sesuai amanat konstitusi Pasal 22 D UUD 1945 dan putusan MK No 92/PUU-X/2012 Tanggal 27 Maret 2013 terkait permohonan pengujian UU atas UU No 27/2009 tentang MD3 dan UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Menelaah lebih jauh, sebenarnya ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab revisi UU tidak masuk dalam prolegnas, yaitu keadaan darurat dan bencana, kekosongan hukum, dan konflik.

Apabila kita mencermati kondisi DPR saat ini, yaitu terbelah menjadi dua kelompok besar Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang saling bertikai, penyatuan kedua kubu ini perlu revisi UU MD3 tanpa masuk program legislasi nasional (prolegnas) serta tidak melibatkan DPD.

Konflik internal di DPR antara KIH dan KMP tidak cukup menjadi dasar revisi UU MD3. Revisi UU harus mengikuti ketentuan UU No 12/2011 yang antara lain mengharuskan revisi UU harus masuk prolegnas. Lemahnya dasar revisi UU MD3 jika dipaksakan akan merusak sistem tata negara.

Menurut hemat saya, terdapat tiga perlakuan inkonstitusional DPR dalam revisi UU MD3 tanpa melibatkan DPD. Pertama, kealpaan DPR akan perintah konstitusi dan UU.

Dalam setiap pembahasan UU, DPR seyogianya mematuhi UU No 12/2011 dan keputusan MK terkait uji materi UU MD3 bahwa pembahasan UU harus dilakukan tripartit di antara pemerintah, DPR, dan DPD.

Dalam UU dan perintah konstitusi di atas secara jelas disebutkan, DPD harus dilibatkan dalam revisi UU MD3, dalam arti positioning DPD tidak meminta untuk dilibatkan.

Oleh karena itu, menurut pendapat saya, secara jelas ke depan apa pun hasil dari pembahasan UU MD3 tanpa melibatkan DPD ini bisa tidak sah dan dibatalkan secara hukum.

Kealpaan DPR semestinya tidak terjadi walaupun alasannya demi mempersatukan KMP dan KIH yang bertikai. Secara moril DPD mendukung revisi UU MD3 jika itu jalan terbaik untuk bangsa ke depan, tetapi keterlibatan DPD seharusnya tidak diabaikan begitu saja.

Kedua, adanya upaya pengerdilan peran dan fungsi DPD. Terkait ketidakterlibatan DPD dalam revisi UU MD3, menurut pendapat saya, ada upaya pemangkasan peran DPD dalam lembaga legislatif.

Memang kita harus akui, peran dan fungsi kelembagaan DPD tidak sekuat posisi DPR yang memiliki peran budgeting dan mengusulkan RUU. Namun, dalam setiap pembahasan UU, DPD wajib dilibatkan.

Ketiga, menurut pendapat saya, tidak melibatkan DPD dalam revisi UU MD3 merupakan sebuah bentuk kejahatan negara (state crime) terstruktur yang sangat membahayakan sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia ke depan.
Positioning DPD sangat diperlukan, minimal kehadiran DPD dalam setiap pembahasan RUU untuk memberikan pertimbangan dan masukan, khususnya terkait dengan daerah.

Ke depan, DPD seharusnya memperjuangkan positioning sebagai anak kandung parlemen karena keterlibatan DPD dalam fungsi legislasi, budgeting, dan controlling bisa membantu optimalisasi dalam menyelesaikan RUU sesuai dengan interval waktu prolegnas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar