Menuntut
Ganti Rugi Korban Kecelakaan Pesawat
Tulus Abadi ; Anggota Pengurus Harian YLKI
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Januari 2015
AIR mata keluarga korban Air Asia
QZ8501 hingga kini mung kin belum reda, bahkan makin menganak sungai.
Pasalnya, hingga hampir se minggu setelah Air Asia QZ8501 dinyatakan lost
contact, sebagian besar jasad para korban belum juga ditemukan.Bagaimanapun,
kecelakaan Air Asia QZ8501 merupakan tragedi bagi penerbangan nasional di
penghujung 2014.
Di tengah polemik tentang musabab
terjadinya kecelakaan, yang tak boleh dilupakan ialah nasib keluarga korban
(ahli waris), siapa yang menanggung mereka setelah salah satu anggota
keluarganya menjadi korban? Harap dicatat, di antara korban itu ada yang
menjadi tulang punggung (pencari nafkah keluarga). Sudah cukupkah santunan
yang diberikan manajemen Air Asia terhadap keluarga korban?
Sebagai pengguna jasa penerbangan,
adalah hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
selama menggunakan penerbangan. Bahkan, hak tersebut semenjak praperjalanan
(pembelian tiket), selama perjalanan (on
board), dan juga pascaperjalanan (pengaduan bagasi hilang, dan
lain-lain). Dengan kata lain, Air Asia sebagai maskapai wajib memberikan hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pada konsumennya tanpa kompromi!
Setidaknya, itulah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Penggantian
immateriil
Di sisi lain, walau hanya secara
umum UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, juga mengatur tentang hak calon
penumpang, yakni pemegang izin usaha angkutan udara niaga bertanggung jawab
melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar suku,
agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial (Pasal 118 huruf
e).
Terkait dengan ganti rugi dan
kompensasi, UUPK juga menjamin adanya hak mendapatkan kompensasi dan ganti
rugi bagi konsumen (Pasal 4, UUPK). Bahkan, lebih gamblang, UUPK juga
menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan kerugian yang diderita konsumen akibat menggunakan
barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang
dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang
sejenis atau setara nilainya (Pasal 19 ayat 1).
Dalam konteks yang lebih luas,
merujuk Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menyebutkan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan kepada orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu mengganti kerugian tersebut.
Pertanyaan lebih lanjutnya ialah
seberapa besar ganti ruginya? Dalam konteks menggunakan transportasi umum,
termasuk pesawat, memang sudah dikaver Asuransi Jasa Raharja. Namun, nilai
pertanggungannya sangat kecil, hanya Rp50 juta untuk korban meninggal atau
cacat tetap. Itu pun dalam konteks pesawat, hanya berlaku untuk penerbangan
dalam negeri, sedangkan penerbangan luar negeri atau internasional
(sebagaimana QZ8501), ternyata tidak dikover Jasa Raharja, tetapi pihak
maskapailah yang harus mengasuransikan konsumennya secara mandiri.
Sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pemegangan
izin usaha angkutan udara niaga bertanggung jawab untuk menutup asuransi
dengan pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara yang
dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi (Pasal 118 huruf d).
Kompensasi dan atau ganti rugi
dimaksud harus mengover dua hal, yaitu ganti rugi materiil dan ganti rugi
immateriil. Maskapai tidak cukup hanya memberikan ganti rugi materiil saja
karena pasti nilainya sangat kecil. Namun, setelah korban meninggal, ia
sebagai pencari nafkah, siapa yang menggantikannya untuk menanggung ahli
waris korban? Siapa yang menanggung anak-anaknya yang masih kecil sampai
dewasa? Ganti rugi immateriil menjadi sangat mendesak untuk mengkaver hal
itu. Jadi, kalau hanya merujuk ganti rugi materiil saja, dan atau bahkan Jasa
Raharja (untuk penerbangan domestik), ialah sangat tidak memadai. Pihak
manajemen Air Asia harus menghitung kerugian immateriil secara optimal dan
rasional. Setidaknya, merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub)
No 77 Tahun 2011 bahwa maskapai harus memberikan kompensasi atau ganti rugi
sebesar Rp1,2 miliar-Rp1,4 miliar jika konsumen yang meninggal karena kecelakaan
pesawat. Besaran itu sangat penting untuk menanggung keluarga dan anaknya
yang ditinggal kepala keluarganya yang meninggal karena kecelakaan pesawat
tersebut. Itu pun mungkin belum cukup.
Oleh karena itu, sekali lagi,
maskapai wajib bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi dan atau ganti
rugi secara maksimal kepada ahli waris korban. Jika kemudian manajemen Air
Asia tidak mau memenuhinya, konsumen bisa menuntut ganti rugi secara perdata,
baik secara individual maupun secara berkelompok (gugatan class action). Gugatan semacam itu
dijamin secara kuat oleh UU Perlindungan Konsumen (Pasal 18).
Pengawasan
ketat
Sebagai pengguna jasa angkutan
udara, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
penerbangan. Baik selama praperjalanan, dalam perjalanan, maupun setelah
perjalanan. Konsumen juga berhak atas ganti rugi dan kompensasi jika selama
menggunakan jasa penerbangan dirugikan. Pelaku usaha jasa angkutan udara
wajib memberikan ganti rugi dan kompensasi yang dimaksud. Musibah yang
menimpa Air Asia QZ8501 jelas sangat merugikan konsumen. Bukan hanya harta
benda, melainkan juga jiwa.
Pemerintah sebagai regulator harus
mengawasi secara ketat kepada operator yang dimaksud, apakah sudah memenuhi
hak-hak konsumen korban atau sebaliknya. Pemerintah harus memfasilitasi jika
terjadi sengketa (deadlock) antara
konsumen dan pelaku usaha, serta memberikan sanksi keras jika operator
melakukan pembangkangan regulasi. Lebih dari itu, masyarakat konsumen bisa
melakukan gugatan kepada operator jika merasa belum optimal atas hak-haknya
yang diterima. Jika operator tidak kooperatif, konsumen dan calon konsumen
bisa pula menghukum operator yang dimaksud dengan cara memboikotnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar