Minggu, 04 Januari 2015

Respons Kita Pascabencana

                                      Respons Kita Pascabencana

Reza Indragiri Amriel  ;   Anggota World Society of Victimology,
Anggota Tim Penulis Buku Membantu Anak Pulih dari Trauma Bencana
KORAN SINDO,  02 Januari 2015

                                                                                                                       


Persepsi manusia tentang bencana memang sangat subjektif. Itu sebabnya, ambil misal, seorang mahasiswa bernama sapaan Cia bisa mengirim pesan haru-biru tentang kecelakaan pesawat AirAsia, tatapi absen berkomentar satu kata atau bahkan satu simbol pun di akun Facebook-nya.

Subjektivitas itu pula yang contoh lain mendorong seorang petinggi lembaga negara sampai memasang ikon kedukaan AirAsia, tetapi tidak pernah mendisplai ikon kesedihan bencana lain sebagai foto Blackberry-nya. Subjektivitas sedemikian rupa pada dasarnya manusiawi. Namun respons-respons subjektif itu juga yang kemudian memantik sinisme dari sesama masyarakat.

Orang-orang mulai saling membandingkan perbedaan reaksi terhadap satu bencana dan bencana lain. Media massa tidak luput dari sorotan itu. Reportase panjang dan dramatis bertubi-tubi tentang AirAsia dihidangkan ke pemirsa. Sepintas tidak ada perbedaan dengan liputan mereka mengenai musibah-musibah lainnya.

Namun, bila diamati lebih jauh, hanya pada kejadian AirAsia semua media elektronik menayangkan breaking news dengan frekuensi luar biasa tinggi. Wajar, itu karena pada peristiwa inilah otoritas berwenang lebih intens melakukan konferensi pers, dan media memburu itu.

Puncaknya, manakala serpihan tubuh pesawat serta jasad penumpang ditemukan, berbagai kalangan termasuk media menyampaikan iklan khusus berisikan ungkapan duka cita terhadap para korban kecelakaan pesawat AirAsia. Iklan serupa anehnya tidak terlihat saat Pasar Klewer Solo hangus dalam api, Banjarnegara luluh lantak dalam timbunan tanah longsor, serta Bandung remuk dalam sapuan angin dan banjir.

Kemalangan di daerah-daerah itu seolah sudah berakhir. Pekerja sosialnya seakan kalah perkasa. Kerugian para korban seperti telah terganti. Ada yang mengaitkan perbedaan-perbedaan di atas dengan nasionalisme. Satu bencana memakan korban orang asing, sementara bencana lain sebatas menewaskan orang lokal, sehingga liputan media pun lebih mengglobal.

Pihak lain menyebut sentimen primordialistik sebagai biang keladi pembeda derajat simpati khalayak. Lainnya mengutarakan alasan klasik, bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya gampang lupa dan mudah terpesona oleh sesuatu yang baru. Apa pun itu, sulit disanggah bahwa kemasan tayangan yang ditampilkan media berkontribusi besar terhadap pembentukan persepsi pemirsa serta proses-proses psikologis mereka pada tahap berikutnya.

Dengan asumsi bahwa segala bencana mendatangkan kesedihan yang sama dan kita semua memanjatkan doa maupun harapan kebaikan terhadap para korban tanpa kecuali media terlihat berhasil mengekspos kecelakaan AirAsia ke dalam acara-acara yang lebih teatrikal ketimbang yang mereka lakukan terhadap tragedi-tragedi lainnya. Bukan semata tangis histeris keluarga korban yang direkam seperti yang sudah-sudah.

Analisis bisnis penerbangan Tony Fernandes (Chief Executive Air Asia), telaah ilmiah-populer tentang awan cumulonimbus, keterlibatan teknologi yang dikerahkan armada bala bantuan, serta dominannya sosok Wakil Presiden Jusuf Kalla selama tahap pencarian berlangsung yang kemudian digantikan Presiden Joko Widodo setelah korban mulai ditemukan, semuanya adalah beberapa bahan baku yang sukses diadon menjadi hidangan siap santap.

Saya gunakan kata “sukses” karena tayangan demi tayangan itu yang mengunci masyarakat untuk terus bergelut dengan perasaan mereka sejak pertama kali kabar hilang kontaknya pesawat AirAsia QZ8501 disebar media. Fenomena betapa publik “terhipnosis” oleh warta tentang serba-serbi kepiluan Air Asia membuktikan tesis Marc Trussler dan Stuart Soroka.

Melalui penelitian eksperimen, Trussler dan Soroka menyimpulkan bahwa kendati kebanyakan orang mengklaim lebih menginginkan informasi positif, namun faktanya mereka secara inheren lebih tertarik mengikuti berita-berita negatif. Berdasarkan teori tersebut, bisa dipahami bahwa kejadian Air Asia mengandung berbagai sudut kepiluan yang lebih atraktif untuk membebat afeksi penonton.

Demikian pula, klimaks berupa hancurnya pesawat dan tewasnya seluruh penumpang menjadikan pemberitaan tentang AirAsia sungguh-sungguh sesuai dengan simpulan Trussler dan Soroka tadi, bahwa kecanduan pemirsa akan berita buruk terpuaskan pada momen puncak sekaligus episode akhir liputan tentang kejadian maskapai milik pengusaha Malaysia itu.

Pembelajaran

Derasnya ulasan berita tentang kecelakaan pesawat AirAsia hari-hari belakangan ini memantik beberapa persoalan. Pertama, simpulan Trussler dan Soroka mengenai negativity bias membuat pandangan bahwa jurnalis perlu intensif berlatih menghasilkan warta-warta kebaikan menjadi rekomendasi yang tidak tepat guna.

Karena pada kenyataannya masyarakat sendiri lebih menantikan kabar-kabar yang penuh horor dan depresif, maka awak media tentu terdorong untuk mampu bekerja efektif mengenyangkan publik akan rasa lapar kolektif mereka tersebut. Kedua, merujuk pada banyak studi, pengaruh pemberitaan media mengenai rentetan bencana tidak berhenti pada uluran simpati masyarakat kepada para korban.

Semakin sering kabar tentang bencana yang media wartakan, semakin tinggi pula keluhan psikosomatis yang akan pemirsa derita. Efek sedemikian rupa berlangsung melalui mekanisme vicarious trauma atau vicarious anxiety. Artinya, tanpa harus mengalami langsung situasi bencana, di kalangan masyarakat dapat mewabah gangguan kesehatan “hanya” karena menyimak berita di media cetak dan elektronik.

Di situ terjadi semacam perambatan perasaan terguncang, yakni dari lokasi bencana ke tempat-tempat lain di mana sekian banyak orang mengikuti perkembangan situasi bencana tersebut. Membawa hasil riset di atas ke Tanah Air, epidemi pascabencana menjadi ancaman yang nyata bagi Indonesia.

Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan jumlah peristiwa bencana yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada Agustus 2014 tercatat 972 bencana di Indonesia. September 2014, angka kejadian meningkat ke 1.027. Bulan Oktober 2014, 1.096. Dan naik ke 1.305 pada November 2014.

Apabila peningkatan jumlah kejadian tersebut diikuti dengan kian gencarnya pemberitaan, maka vicarious trauma juga semakin potensial dialami pemirsa. Ini, pada gilirannya, dapat berpengaruh antara lain terhadap produktivitas kerja masyarakat serta kesiapan negara dalam mengongkosi kebutuhan masyarakat akan biaya pemeliharaan kesehatan.

Ketiga, sebegitu dahsyatnya efek media terhadap reaksi psikologis masyarakat, membuat saya mengernyitkan kening membayangkan kemurnian rasa belasungkawa masyarakat saat berhadapan dengan bencana. Bagaimana mungkin menaiknya berita tentang Air Asia dan menghilangnya berita tentang bencana-bencana lainnya di Tanah Air? Atau dalam manifestasi lain bagaimana mungkin berpijarnya kedukaan publik terkait Air Asia justru (seakan) memadamkan simpati terhadap para korban pada beraneka tragedi lainnya?

Bagaimana mungkin simpati terhadap korban bencana ini dan bencana itu bisa berlangsung seperti anak neraca yang tidak pernah mencapai kesetimbangan? Sebagai proses psikologis, reaksi semacam itu sekali lagi lumrah belaka. Namun, saya berharap pertanyaan retoris barusan mendorong kita untuk lebih jujur: apa sesungguhnya unsur dalam bencana yang membuat ketenangan hati kita pecah berserak digantikan oleh kesedihan yang berderai air mata? Allahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar