Respons
Kita Pascabencana
Reza Indragiri Amriel ;
Anggota
World Society of Victimology,
Anggota Tim Penulis Buku Membantu
Anak Pulih dari Trauma Bencana
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2015
Persepsi
manusia tentang bencana memang sangat subjektif. Itu sebabnya, ambil misal,
seorang mahasiswa bernama sapaan Cia bisa mengirim pesan haru-biru tentang
kecelakaan pesawat AirAsia, tatapi absen berkomentar satu kata atau bahkan
satu simbol pun di akun Facebook-nya.
Subjektivitas
itu pula yang contoh lain mendorong seorang petinggi lembaga negara sampai
memasang ikon kedukaan AirAsia, tetapi tidak pernah mendisplai ikon kesedihan
bencana lain sebagai foto Blackberry-nya. Subjektivitas sedemikian rupa pada
dasarnya manusiawi. Namun respons-respons subjektif itu juga yang kemudian
memantik sinisme dari sesama masyarakat.
Orang-orang
mulai saling membandingkan perbedaan reaksi terhadap satu bencana dan bencana
lain. Media massa tidak luput dari sorotan itu. Reportase panjang dan
dramatis bertubi-tubi tentang AirAsia dihidangkan ke pemirsa. Sepintas tidak
ada perbedaan dengan liputan mereka mengenai musibah-musibah lainnya.
Namun,
bila diamati lebih jauh, hanya pada kejadian AirAsia semua media elektronik
menayangkan breaking news dengan
frekuensi luar biasa tinggi. Wajar, itu karena pada peristiwa inilah otoritas
berwenang lebih intens melakukan konferensi pers, dan media memburu itu.
Puncaknya,
manakala serpihan tubuh pesawat serta jasad penumpang ditemukan, berbagai
kalangan termasuk media menyampaikan iklan khusus berisikan ungkapan duka
cita terhadap para korban kecelakaan pesawat AirAsia. Iklan serupa anehnya
tidak terlihat saat Pasar Klewer Solo hangus dalam api, Banjarnegara luluh
lantak dalam timbunan tanah longsor, serta Bandung remuk dalam sapuan angin
dan banjir.
Kemalangan
di daerah-daerah itu seolah sudah berakhir. Pekerja sosialnya seakan kalah
perkasa. Kerugian para korban seperti telah terganti. Ada yang mengaitkan
perbedaan-perbedaan di atas dengan nasionalisme. Satu bencana memakan korban
orang asing, sementara bencana lain sebatas menewaskan orang lokal, sehingga
liputan media pun lebih mengglobal.
Pihak
lain menyebut sentimen primordialistik sebagai biang keladi pembeda derajat simpati
khalayak. Lainnya mengutarakan alasan klasik, bahwa masyarakat Indonesia pada
dasarnya gampang lupa dan mudah terpesona oleh sesuatu yang baru. Apa pun
itu, sulit disanggah bahwa kemasan tayangan yang ditampilkan media
berkontribusi besar terhadap pembentukan persepsi pemirsa serta proses-proses
psikologis mereka pada tahap berikutnya.
Dengan
asumsi bahwa segala bencana mendatangkan kesedihan yang sama dan kita semua
memanjatkan doa maupun harapan kebaikan terhadap para korban tanpa kecuali
media terlihat berhasil mengekspos kecelakaan AirAsia ke dalam acara-acara
yang lebih teatrikal ketimbang yang mereka lakukan terhadap tragedi-tragedi
lainnya. Bukan semata tangis histeris keluarga korban yang direkam seperti
yang sudah-sudah.
Analisis
bisnis penerbangan Tony Fernandes (Chief
Executive Air Asia), telaah ilmiah-populer tentang awan cumulonimbus,
keterlibatan teknologi yang dikerahkan armada bala bantuan, serta dominannya
sosok Wakil Presiden Jusuf Kalla selama tahap pencarian berlangsung yang kemudian
digantikan Presiden Joko Widodo setelah korban mulai ditemukan, semuanya
adalah beberapa bahan baku yang sukses diadon menjadi hidangan siap santap.
Saya
gunakan kata “sukses” karena tayangan demi tayangan itu yang mengunci
masyarakat untuk terus bergelut dengan perasaan mereka sejak pertama kali
kabar hilang kontaknya pesawat AirAsia QZ8501 disebar media. Fenomena betapa
publik “terhipnosis” oleh warta tentang serba-serbi kepiluan Air Asia
membuktikan tesis Marc Trussler dan Stuart Soroka.
Melalui
penelitian eksperimen, Trussler dan Soroka menyimpulkan bahwa kendati
kebanyakan orang mengklaim lebih menginginkan informasi positif, namun
faktanya mereka secara inheren lebih tertarik mengikuti berita-berita
negatif. Berdasarkan teori tersebut, bisa dipahami bahwa kejadian Air Asia
mengandung berbagai sudut kepiluan yang lebih atraktif untuk membebat afeksi
penonton.
Demikian
pula, klimaks berupa hancurnya pesawat dan tewasnya seluruh penumpang
menjadikan pemberitaan tentang AirAsia sungguh-sungguh sesuai dengan simpulan
Trussler dan Soroka tadi, bahwa kecanduan pemirsa akan berita buruk
terpuaskan pada momen puncak sekaligus episode akhir liputan tentang kejadian
maskapai milik pengusaha Malaysia itu.
Pembelajaran
Derasnya
ulasan berita tentang kecelakaan pesawat AirAsia hari-hari belakangan ini
memantik beberapa persoalan. Pertama, simpulan Trussler dan Soroka mengenai
negativity bias membuat pandangan bahwa jurnalis perlu intensif berlatih
menghasilkan warta-warta kebaikan menjadi rekomendasi yang tidak tepat guna.
Karena
pada kenyataannya masyarakat sendiri lebih menantikan kabar-kabar yang penuh
horor dan depresif, maka awak media tentu terdorong untuk mampu bekerja
efektif mengenyangkan publik akan rasa lapar kolektif mereka tersebut. Kedua,
merujuk pada banyak studi, pengaruh pemberitaan media mengenai rentetan
bencana tidak berhenti pada uluran simpati masyarakat kepada para korban.
Semakin
sering kabar tentang bencana yang media wartakan, semakin tinggi pula keluhan
psikosomatis yang akan pemirsa derita. Efek sedemikian rupa berlangsung
melalui mekanisme vicarious trauma atau vicarious anxiety. Artinya, tanpa
harus mengalami langsung situasi bencana, di kalangan masyarakat dapat
mewabah gangguan kesehatan “hanya” karena menyimak berita di media cetak dan
elektronik.
Di
situ terjadi semacam perambatan perasaan terguncang, yakni dari lokasi
bencana ke tempat-tempat lain di mana sekian banyak orang mengikuti
perkembangan situasi bencana tersebut. Membawa hasil riset di atas ke Tanah
Air, epidemi pascabencana menjadi ancaman yang nyata bagi Indonesia.
Statistik
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan jumlah peristiwa
bencana yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada Agustus 2014 tercatat
972 bencana di Indonesia. September 2014, angka kejadian meningkat ke 1.027.
Bulan Oktober 2014, 1.096. Dan naik ke 1.305 pada November 2014.
Apabila
peningkatan jumlah kejadian tersebut diikuti dengan kian gencarnya
pemberitaan, maka vicarious trauma juga semakin potensial dialami pemirsa.
Ini, pada gilirannya, dapat berpengaruh antara lain terhadap produktivitas
kerja masyarakat serta kesiapan negara dalam mengongkosi kebutuhan masyarakat
akan biaya pemeliharaan kesehatan.
Ketiga,
sebegitu dahsyatnya efek media terhadap reaksi psikologis masyarakat, membuat
saya mengernyitkan kening membayangkan kemurnian rasa belasungkawa masyarakat
saat berhadapan dengan bencana. Bagaimana mungkin menaiknya berita tentang
Air Asia dan menghilangnya berita tentang bencana-bencana lainnya di Tanah
Air? Atau dalam manifestasi lain bagaimana mungkin berpijarnya kedukaan
publik terkait Air Asia justru (seakan) memadamkan simpati terhadap para
korban pada beraneka tragedi lainnya?
Bagaimana
mungkin simpati terhadap korban bencana ini dan bencana itu bisa berlangsung
seperti anak neraca yang tidak pernah mencapai kesetimbangan? Sebagai proses
psikologis, reaksi semacam itu sekali lagi lumrah belaka. Namun, saya
berharap pertanyaan retoris barusan mendorong kita untuk lebih jujur: apa
sesungguhnya unsur dalam bencana yang membuat ketenangan hati kita pecah
berserak digantikan oleh kesedihan yang berderai air mata? Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar